Bab I [Bagian Enam]

5 2 21
                                    

Ketika kubuka mataku, aku melihat pohon. Tanganku meraba daun-daun kering dan tanah. Mencium bau pinus dan bau sesuatu yang aku tak yakin apa karena baunya sangat... sangat tipis, sangat samar, tetapi yakin bukan dari sesuatu yang menyenangkan.

Mimpi? Pikirku. Aku bangkit dan membersihkan daun kering dari celanaku. Melihat sekeliling, hanya ada pohon dan kabut.

Kuputuskan untuk berjalan lurus. Tidak ada alasan khusus, sebagian besar tindakanku memang tidak memiliki alasan yang sangat bermakna, tetapi kupikir hanya itu yang bisa kulakukan untuk saat ini, kabut benar-benar mengganggu penglihatan, jadi kemana pun itu sudah pasti berbahaya. Juga, tidak ada jaminan tidak ada hal-hal aneh yang akan muncul kalau aku berdiri terus disana. Jadi, kenapa tidak? Sambil meraba kedepan dan menghindari pepohonan, aku terus berjalan ke depan selama satu jam, atau mungkin lebih, sulit memperkirakan waktu di dalam mimpi.

Sejauh ini aku masih hidup—masih belum terbangun, tidak bertemu hal-hal berbahaya seperti misalnya saja: harimau lapar, serangga karnivora super besar, atau anjing gila. Tetapi bau itu semakin kuat, samar-samar baunya tercium seperti bangkai. Itu, jelas-jelas pertanda buruk. Kuperkirakan aku sudah semakin dekat dengan sumber bau tersebut. Ini bisa berarti dua hal; tidak bagus karena objek bau busuk biasanya bukan dari sesuatu yang keren dan oke. Tidak bagus juga karena, hey, bangkai seperti apa yang dibuang seseorang di tengah hutan berkabut begini?

Tubuhku mulai kelelahan, aku bahkan sudah tidak melangkah karena saat ini aku hanya menyeret kakiku untuk terus bergerak. Berita buruk lainnya, bau bangkainya semakin parah sampai-sampai aku yakin kalau tidak sedang bermimpi hidungku pasti akan terasa sakit dan aku pasti sudah pingsan sekarang. Kendatipun begitu, aku tetap terseok-seok menuju ke suatu tempat yang baunya seperti tempat sampah maha besar. Detik berikutnya terasa lebih berat dari sebelumnya. Ketika akhirnya kupikir aku akan berhenti berjalan saja dan menunggu sesuatu terjadi, aku terjerembab dan jatuh. Anehnya, aku tidak menghantam tanah. Aku malah jatuh ke tumpukan tubuh-tubuh terkoyak dan berdarah-darah.

•••

Aku terbangun dan membentur kepala seseorang.

Sontak, aku membungkuk dan memegang keningku sambil mengaduh dan mengusap-usapnya, berharap sakitnya berkurang. Kudengar sumpah serapah pelan dari orang yang kepalanya kubentur, lalu mengangkat pandangan dan mendapati tamu keluarga Callahan sedang memegangi keningnya dan menatapku dengan tatapan menuduh.

"Kau senang menyundul orang saat bangun tidur, ya?" katanya dengan nada mengejek.

Aku mengernyitkan hidungku, merasa tak senang. "Menyusup ke tempat seorang perempuan yang sedang tidur hanya dilakukan oleh orang cabul, kau tahu itu?"

"Sialan, siapa yang kau sebut cabul?" Dia mengangkat sebelah alisnya, menatapku dengan aneh. "Kau tidur sambil teriak-teriak Tuan Puteri, kupikir ada kejadian yang berkaitan dengan sesuatu seperti hampir terbunuh atau apa."

"Sayang sekali, kataku sinis. Kau pasti kecewa karena aku baik-baik saja, ya?

Sebelum pemuda itu sempat menjawab, ada bunyi debuman di dekat pintu kamar. Kemudian muncul Zeke yang berdiri terengah-engah. "Nyx aku dengar—" Zeke terhenti saat matanya menemukan sosok si tamu yang berdiri di samping tempat tidurnya. Oh, oh, tidak.

"Raphael!" Raungnya marah. Raut wajahnya mengeras. Kemudian tiba-tiba dia sudah berdiri di depan Raphael, bersiap untuk menghajarnya. Raphael melompat mundur dan memasang kuda-kuda dengan sama cepatnya. Aku tidak sempat berpikir tentang apa pun, di detik itu juga, aku sudah lompat dari kasur dan berdiri di tengah-tengah dua pemuda bernafsu membunuh sambil merentangkan tangan ke arah keduanya. Jangan salah paham. Aku biasanya tidak keberatan menonton adegan adu jotos super berbahaya, tapi aku jelas tidak suka sahabatku pukul-pukulan dengan seseorang yang kuda-kudanya saja membuatku resah.

Oneironaut [The Stone of Mons]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang