Bab I [Bagian Empat]

23 2 10
                                    

Aku mengerang dan mengacak rambut hitamku. Rasa pening itu masih belum hilang juga. Ketika aku bangun Bara sudah tidak ada di kamarku dan beberapa menit yang lalu dia memanggilku dari lantai bawah untuk sarapan, kugulingkan tubuhku di atas kasur dan membenamkan wajahku ke bantal. Aku mengerang lagi, tidak mau beranjak dari kasur, apa lagi berangkat sekolah.

"Aku ingin pingsan saja seharian," gumamku pada diri sendiri.

Aku bisa mendengar langkah kaki Bara di atas lantai kayu dan berhenti di depan kamarku. Pintu kamar berderit pelan dan terbuka. Aku menoleh untuk mendapati Bara, yang menguap lebar dengan rambut hitam yang masih berantakan.

"Ada apa?" tanyanya. Matanya masih bengkak karena mengantuk.

Kubenamkan lagi wajahku ke bantal, dan mengerang. Bara berjalan ke arah kasurku, kemudian dia duduk di pinggir kasur dan membelai rambutku dengan sayang. Rasanya enak sekali. Bara dari dulu memang sangat dewasa, ibu bilang saat aku lahir dia mengajukan diri untuk menjagaku saat kedua orang tua kami sedang bertugas, padahal saat itu umurnya masih empat tahun. Kemudian ada periode dimana usiaku sudah mampu mengingat, terutama saat aku mengalami shock dan depresi, tiap malam dia akan datang ke kamarku dan mengelus kepalaku sambil bersenandung sampai aku tidur.

"Ada sesuatu yang perlu aku tahu? Kau mau cerita?" tanyanya lagi, aku menggeleng sekali dan memalingkan wajahku untuk menatapnya. Dia berhenti membelai rambutku dan memandangku (dan menguap) dengan penasaran. Mata hijaunya yang sama seperti mataku menyelidiki wajahku dengan kekhawatiran yang tidak ditutup-tutupi.

"Kenapa tanganmu berhenti?" Aku merajuk.

Bara tertawa geli, mengecup keningku, kemudian dia mengacak rambutku. "Kau merayuku supaya bisa bolos, eh? Sana, bersiap-siaplah. Aku sudah menghangatkan sup daging, setelah itu kuantar kau ke sekolah," katanya, lalu seperti tersadar dia menambahkan, "malam ini aku ada pekerjaan, menginaplah di rumah Zeke."

Aku mengernyitkan kening, Bara dan ibuku tak pernah sekali pun membiarkanku tinggal di rumah sendirian apabila mereka tak berada di rumah, padahal dia tahu betul aku menguasai Jeet Kune Do dan Shironji Kempo dengan sangat baik. Singkatnya, aku termasuk golongan manusia yang cukup mematikan.

"Kenapa?" Aku merengut. "Maksudku, aku tujuh belas tahun, satu malam tanpa ada yang mengasuhku tak bakal membunuhku, Bar."

Dia menatapku seperti sedang menimbang-nimbang. Kemudian akhirnya dia berkata, "Karena kau perempuan, Nyx."

•••

Jarak dari rumahku ke Maspeth high school kurang lebih 5.5 mil. Di sepanjang perjalanan kami menyanyikan bagian ref lagu-lagu legenda dari band-band populer seperti The beatles, Queen, Green Day sampai Led Zeppelin. Sesekali aku bercerita tentang hal-hal konyol yang terjadi di sekolah, dan Bara mendengarkanku sampai tertawa terpingkal-pingkal. Ketika sampai di depan gerbang masuk Maspeth, seperti biasa, Bara mengecup wajahku dengan kecupan basahnya yang bau. Jadi, aku memukul perutnya dan buru-buru keluar dari mobil. Sambil mengelap wajahku dengan ujung lengan kausku, aku melambai padanya yang tertawa geli di depan kemudi. Bara membalas lambaianku dan kemudian mengemudikan mobilnya menjauhi gerbang Maspeth.

Aku baru saja menutup pintu lokerku ketika seseorang menepuk bahuku.

"Hei," sapanya. Dia adalah sahabatku, Zeke, yang nyengir dengan mata berbinar-binar. Aku membalasnya dengan memutar-mutar mataku dan mulai berjalan mengabaikan sapaannya.

"Ramah, seperti biasanya," sindirnya.

"Sinis, seperti biasanya," balasku. Aku melirik sekelompok gadis yang merapat di salah satu loker sambil memelototi aku. "Serius, bung, kau harus berhenti jadi cowok populer kalau tetap mau jadi sobatku. Aku sudah capek menghadapi cewek-cewek sintingmu itu. Aku tidak bisa menghajar bokong mereka karena mereka cewek." Aku membuat tanda kutip menggunakan tanganku.

Zeke tertawa. "Memangnya, kau bukan, cewek?" sahutnya sambil meniruku membuat tanda kutip menggunakan tangannya.

"Brengsek kau."

Dia tertawa makin kencang. Aku mendengus dan mulai berjalan. Zeke mengekoriku dan mulai mengoceh tentang adiknya yang paling bungsu, Timothy, mengusili pekerjaannya, katanya. Aku tersenyum dan mendengus pelan. Tim itu anak kecil yang sangat imut. Dia selalu minta digendong tiap kali aku main ke rumah keluarga Callahan. Bocah itu akan memintaku untuk main di kamarnya. Kemudian dia akan mempresentasikan gambar-gambar yang dia buat di taman kanak-kanak. Beberapa diantaranya adalah gambar aku dan dia. Kemudian ada beberapa gambar Zeke berwajah jahat dengan tanduk setan mungil di kepalanya. Gambar Octavian—adik Zeke yang lebih tua dari Tim—sedang memegang buku. Gambar Victoria yang tersenyum dengan ibunya. Beberapa gambar ayahnya yang sedang tertawa (Paman William agak mirip Zeke, dia tertawa bahkan di waktu-waktu yang menurut orang lain tidak lucu). Dan banyak gambar desa dengan rumah-rumah beratap merah khas anak-anak.

Aku dan Zeke tergelak di sepanjang koridor, mendebat tentang gambar setan Zeke yang di buat Tim, kuabaikan pelototan yang mengarah padaku hingga kami sampai di ruang kelas pertama kami, dan langsung diberondong anak-anak cewek.

Zeke, harus kuakui memang cakep, dia tinggi, tubuhnya ramping tetapi berotot seperti tubuh perenang, rambutnya hitam kecoklatan dengan mata sebiru langit, bulu mata yang panjang dan tebal, pandai, supel, dan kocak (aku benci membicarakan ini, bagaimana bisa dia lahir dan mendapatkan semua yang bagus-bagus?). Zeke semacam ditakdirkan untuk menjadi role model Cowo-cakep-sempurna-favorit-semua-cewek. Bayangkan kau hidup dengan laki-laki ganteng yang bisa membuatmu tertawa terpingkal-pingkal setiap hari. Cewek mana yang mampu menolak masa depan seperti itu?

Aku terdorong oleh kekacauan itu dengan beberapa sikutan di rusuk dan bahu. Aku mengaduh sambil sesekali balas menyikut dan dihadiahkan pelototan oleh mereka. Setelah beberapa kali lagi main sikut, akhirnya aku sampai di kursiku di belakang kelas. Melemparkan tasku ke bawah meja dan duduk. Tepat pada saat itu, guru kami, Sherman si Pemarah, datang sambil menggebukkan map ke atas meja keras-keras dan meneriaki semua orang untuk duduk dan tutup mulut.

•••

Oneironaut [The Stone of Mons]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang