Bab II [Bagian Tiga]

5 1 0
                                    

Aku sedang duduk berselonjor di sofa di depan televisi. Sekarang baru pukul sebelas lewat lima dan aku tidak bisa menemukan saluran yang tidak menayangkan acara ibu-ibu.

"Kau lebih mirip pengangguran daripada anak sekolah yang sedang sakit," ujar Zeke yang sedari tadi memperhatikanku menggonta-ganti saluran televisi. "Kau ini sebenarnya terlahir sebagai aktris kan?"

Aku menatapnya dengan kaget. "Ya ampun, ketahuan ya? Sekarang kau menyesal? Mau pulang?"

"Mana mungkin. Mengasuh bayi itu hobiku."

Aku melayangkan remot teve dengan cepat ke arah kepalanya. Dia menghindar sambil terkekeh, aku mendecih sambil menyipitkan mata. "Sayang sekali, yang tadi itu dimaksudkan untuk melubangi kepalamu."

Masih sambil terkekeh, Zeke berdiri dari sofa tunggal tempat dia duduk.

"Mau kemana kau?"

"Dapur. Sebentar lagi jam makan siang." Zeke melemparkan remote teve kepadaku yang aku tangkap dengan sebelah tangan.

"Ibuku sepertinya membuat sesuatu yang berhubungan dengan tomat."

"Kau masih pilih-pilih makanan?" tanyanya dengan nada meremehkan.

"Cuma tomat!" protesku.

"Dasar bayi," ujarnya seraya meninggalkan ruangan.

"Sudah kubilang, cuma tomat!"

Zeke menghilang dibalik dinding. Aku kembali berjuang mencari saluran televisi yang tidak menampilkan acara masak, gossip, atau drama sampai kepalaku sakit. Setelah sekitar 15 menit, aku melempar remote teve dan melenggang ke kamarku karena kepalaku makin lama makin terasa sakit saja. Langkahku terhenti ketika aku melewati pintu ruang baca yang terbuka.

Itu aneh.

Ibuku telah mencuci otak seluruh anggota keluarga di rumah ini untuk selalu menutup pintu ruangan apa pun setelah kami melaluinya.

Aku baru saja akan menutup pintu kayu ruang baca ketika mataku menangkap rambut perak Raphael di depan rak buku yang menghadap ke pintu. Melangkah masuk ke dalam ruang baca, kudapati tangan kanannya terangkat menopang buku tebal bersampul kulit cokelat milik ayahku.

"Sedang apa kau disitu?"

Dengan tenang, dia berbalik dan menatapku. "Tidak banyak," jawabnya sambil menggedikan bahu. "Aku sedang melakukan pengecekan terhadap ruang baca mencurigakan yang penuh dengan buku resep masakan. Kau tahu? Untuk mencari tahu kalau-kalau ada resep lasagna yang bisa meledak."

Kukatupkan mulutku hingga kedua bibirku membentuk sebuah garis. Kemudian berjalan kearahnya dan mengambil buku yang ada ditangannya dengan anggun. "Resep lasagna yang bisa meledak? Kalau aku tidak salah ingat," kataku dan berjalan ke arah seberang rak, "nah, ini dia tuan, buku yang anda cari." Kudorong sebuah buku ensiklopedia bergambar kedadanya sambil tersenyum dan menggertakan gigi.

Aku berjalan melewatinya dan menaruh kembali buku ayahku di rak tempat Raphael mengambilnya. Kudengar suara kekehan Raphael dan segera berbalik menghadapnya dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Kutatap dia sambil mengangkat sebelah alisku. Dia tersenyum, melipat kedua tangannya di depan dada, dan mengangkat sebelah alisnya.

"Kau, sepertinya ada yang salah dengan kepalamu."

"Benarkah?" jawab Raphael dengan nada main-main.

"Ya. Kau terus-terusan menertawakan hal-hal yang sama sekali tidak lucu!"

"Bagimu," ujarnya. Kemudian melanjutkan, "bagiku kau lucu."

Aku terdiam dan menyipit. Hah? Orang ini mabuk ya?!

"Kau gampang tersulut. Itu lucu."

Setelah mengatakan itu, Raphael melambaikan ensiklopdia bergambar yang kuberikan dan membawanya seraya meninggalkan ruang baca.

Aku bisa merasakan sirkuit di kepalaku berdengung, jadi aku mengejarnya untuk mencari masalah.

•••

"Hei!"

Raphael tetap berjalan sambil memikul ensiklopedia di pundaknya.

"Kubilang." Kugapai tangannya dan membuatnya menghadapku. "HEI!" Kuteriakan kata itu tepat di wajahnya.

Kami ada di pinggir jalan. Hanya beberapa rumah dari rumahku. Ya, aku mengejarnya sampai sejauh ini. Zeke pasti akan marah besar kalau tahu aku meninggalkan rumah, apalagi dia sudah menghangatkan lauk untuk makan siang. Tapi aku sudah setengah sinting, yah, dari dulu aku sudah setengah sinting, hanya saja, kali ini aku sudah terpancing. Jadi sekalian saja kutantang cowok ini adu jotos. Senyum di wajahnya menambah semangatku untuk bergelut.

"Kau galak."

"Kau meremehkanku."

Raphael mengangguk-angguk seperti sedang berpikir. "Yah memang."

Aku meluncurkan tinjuku tepat di wajahnya, dan dia menahan tinjuku dengan telapak tangannya. Aku memang berekspektasi dia akan memblok seranganku. Sejak awal aku tahu Raphael seorang petarung, maka dari itu aku sengaja meladeninya. Tidak berhenti sampai disitu, aku meluncurkan serangan berikutnya, kutendang bagian samping kaki kananya. Dia melompat mundur.

Raphael tertawa terbahak-bahak. Matahari membuat rambut peraknya berkilat-kilat. Aku memiringkan kepalaku bingung.

Yah, sepertinya dia memang gila. Pikirku.

Kemudian tawanya menghilang, senyum tipis menghiasi wajahnya. Seketika aku merinding. Matanya menatapku lurus-lurus. Sekarang aku tahu bagaimana rasanya ditargetkan untuk dimangsa.

"Kau benar-benar galak."

Aku balas menyeringai. Belum pernah sekalipun dalam hidupku aku merasa setakut ini ketika menghadapi seseorang. Kurendahkan tubuhku untuk memasang kuda-kuda. Kutarik napasku dan kuembuskan perlahan. Kutatap dia, dan kuangkat sebelah alisku.

Ayo, serang aku.

•••

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 09, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Oneironaut [The Stone of Mons]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang