35 | Pengakuan dan Baku Hantam

58 5 0
                                    

"Kenapa tidak menungguku?" tanya Iqbal dengan nada kesal. Ilana masih tergeming di tempatnya. Ada ketakutan yang menghantuinya. tatapan Iqbal mungkin sangat mengerikan saat ini, sampai dia bersuara sekeras itu dengan penuh emosi. Bagaimana Ilana bisa menghadapi wajah rupawan itu tanpa merasa bersalah?

Iqbal mendesah. Mengerti situasi, dia pun mencoba mengendalikan diri dan bersikap lebih lembut pada Ilana. Dia meraih bahu Ilana dan memintanya untuk memandangnya.

"Aku di sini, La. Kenapa kau terus berlari pergi." Ilana tidak bisa menjawab, perasaannya campur aduk. Ilana marah karena Iqbal mengabaikannya, kesal karena harus menunggu lama, takut karena berfikir Iqbal akan meninggalkannya, dan malu karena dia sudah melakukan hal bodoh untuk menyakitinya.

Ilana hanya bisa menangis untuk menunjukkan segala emosinya. Iqbal yang menyadari kekalutan Ilana kemudian membimbingnya ke dalam pelukannya. Ilana menangis di sana.

Tangisnya pun mereda, Ilana mengangkat wajahnya. Matanya sembab, dan kantung gelap di bawah matanya begitu mengerikan. Ilana sepertinya menjalani hari yang berat beberapa hari ini. Iqbal berusaha bersikap manis, mengusap sisa air mata Ilana dan membimbingnya ke mobilnya.

"Aku sudah membeli beberapa makanan untuk kamu makan. Aku yakin kamu lapar. Sebentar," katanya, membungkuk untuk mengambil bungkusan kertas di jok belakang. Iqbal memberikan bungkusan itu pada Ilana.

Perlahan Ilana membuka bungkusan itu. Sebuah burger dengan isian keju, segelas minuman dan sekantong fried fries ukuran sedang. Ilana langsung menyantapnya tanpa berkomentar.

"Maaf tidak memasakkanmu kali ini," katanya. Mata Ilana tiba-tiba dipenuhi air mata. Kalimat itu menusuknya tepat di hati. Ilana tahu kebiasaan Iqbal. Pemuda itu selalu memberikannya perhatian-perhatian kecil, dan entah kenapa Ilana kini merasa itu hal yang manis. Ilana pun menahan air matanya agar tidak jatuh.

"Kau mau aku melakukan apa?" tanya Iqbal tiba-tiba, Nadanya terdengar serius.

Ilana menghentikan kegiatan santapnya dan menyingkirkan sisa makanannya. Dia terdiam cukup lama, sampai akhirnya dengan helaan putus asa Ilana berkata, "Mungkin kau harus melupakanku."

Bersamaan dengan kalimat terakhirnya itu, Ilana meloloskan air bening dari matanya. Dia pun buru-buru menghapusnya.

"Aku tahu pasti banyak yang kau pikirkan. Terlepas dari kebenaran gossip itu, aku memintamu untuk berhenti menyakiti dirimu sendiri."

Iqbal terkejut. Sungguh, itu bukan jawaban yang ingin dia dengar. Dia hanya ingin Ilana melakukan pembelaan untuk dirinya sendiri, atau setidaknya dia membuat penyangkalan agar Iqbal mempercayainya. Namun, kenapa dia justru menginginkan perpisahan setelah dia melakukan kesalahan atas dirinya sendiri?

"Tidak mau!" tolak Iqbal. "Kau tidak bisa membuat keputusan sepihak hanya karena sebuah gossip. Bagaimana aku bisa mempercayai orang lain jika aku bisa mendapatkan jawaban yang tepat dari kekasihku sendiri? Lalu menurutmu, untuk apa aku repot-repot menjemputmu kalau aku tidak yakin akan hubungan ini?" Ilana tergeming. Dia tersenyum kecil. Jawaban itu sudah cukup membuatnya lega.

"Apa salah jika aku mempercai kekasihku sendiri?" tanyanya lagi. Ilana menggeleng, Dan saat itulah air bening dari matanya benar-benar keluar tanpa dia tahan. Dia merasa malu sekaligus bahagia.

Menyadari reaksi kekasihnya, Iqbal kemudian menarik Ilana ke dalam dekapnya lagi. Iqbal bertanya-tanya, sudah berapa banyak air mata yang Ilana keluarkan hari ini? Hatinya pasti sangat terluka. Namun dia senang, karena akhirnya Ilana kembali padanya.

***

Iqbal langsung pulang setelah selesai mengantar Ilana. Saat langkahnya menapak ruang keluarga, dia mendapati kehadiran Inno di sana. Hatinya tiba-tiba panas.

"Kau sudah mengantarnya?" tanya Nesya pada Iqbal yang melewatinya.

"Sudah," jawabnya dengan nada dingin. Tubuhnya lenyap di balik pintu.

Dari balik pintu kamar Iqbal dapat mendengar sedikit percakapan pasangan kekasih itu.

"Bagaimana di Jogja kemarin? Kabar Pamanmu baik 'kan?" tanya Nesya penasaran, merujuk pada perjalanan Inno yang berlangsung sepekan itu.

"Alhamdulillah baik. Justru terlihat semakin bugar sekarang," jawab Inno.

"Kapan-kapan ajak aku ke sana ya,. Kenalin aku ke, keluargamu yang di Jogja. Nanti kita bisa sekalian jalan-jalan deh, Pasti seru." Inno tersenyum, dia mengangguk setuju. Membuat Nesya semakin antusias untuk segera mewujudkan keinginannya.

Iqbal yang mendengar obrolan basi itu menjadi gerah. Dia tidak tahan melihat kakaknya terus-menerus dibodohi oleh Inno. Laki-laki itu, apa benar mengunjungi pamannya di Jogja, atau dia membuat kesempatan di waktu yang sama hanya agar dia bisa menemui Ilana dengan bebas?

Iqbal membuka pintu kamarnya dengan tiba-tiba, membuat dua pasangan yang sedang duduk santai di depan TV itu menoleh ke arahnya.

"Aku perlu bicara. Apa Ka Inno punya waktu?" tanyanya, kemudian keluar apartemen. Inno mengikutinya di belakang. Di taman apartemen, Iqbal menghentikan langkahnya.

"Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Inno, memulai pembicaraan.

Iqbal mengambil napas. Kemudian dia langsung meluncurkan kalimat yang menyesak di rongga dadanya.

"Apa kau masih mencintai Ilana?" tanya Iqbal. Inno tergeming, mimik wajahnya berubah, namun dengan segera dia mengendalikan dirinya.

"Kau ini bicara apa?" kilahnya, tertawa menyindir.

Iqbal mengulanginya lagi. "Apa kau mencintai Ilana?"

Inno tidak menjawab. Namun, dari diamnya Iqbal bisa mengambil kesimpulan. Bahwa ternyata benar kecurigaannya, dia masih menaruh rasa pada mantan kekasihnya itu.

"Pasti bukan hal mudah untuk saling melupakan. Kalian sudah saling mengenal cukup lama. Dibandingkan denganku, mungkin hanya sebatas ujung jari. Andai aku menyadarinya sejak lama, mungkin aku akan berpikir dua kali untuk mendekatinya. Namun aku tidak menyesal, karena akhirnya dia membuka hatinya untukku, menjadikan aku miliknya dan merelakan masa lalunya. Aku merasa menjadi laki-laki paling bahagia saat itu. Sampai, aku sadar dia tidak pernah lari jauh untuk benar-benar melepaskan masa lalunya," bebernya panjang lebar.

Sekonyong-konyong Inno tertawa. "Kau bicara apa? Aku benar-benar tidak mengerti. Apa kau sedang mabuk?" tanyanya membuat tatapan curiga.

Iqbal mencibir. "Beginikah caramu mengakui kebenaran? Dengan melempar masalah dan menuduh orang yang mencurigaimu sedang mabuk?" tanyanya heran. "Kamu lihat ini baik-baik. Aku yakin kamu pasti mengenal dirimu sendiri." Iqbal menunjukkan sebuah foto dari ponselnya, foto Inno dan Ilana di depan sebuah pintu hotel. Inno terbeliak. Dia tidak bisa mengelak lagi.

"Kalian bertemu kemarin malam. Aku tidak tahu apa yang kalian lakukan di tempat seperti itu. Meski kali ini aku berusaha berfikiran positif, namun aku tidak yakin apa hal seperti ini hanya akan terjadi sekali. Ka, tolong jawab aku dengan jujur, apa kau masih mencintainya?" desak Iqbal.

"Ya, aku masih mencintainya," jawab Inno akhirnya.

Telapak tangan Iqbal terkepal. Dadanya bergemuruh. Amarahnya memuncak. Iqbal sudah berusaha sebisanya mungkin untuk menahan diri. Dan dengan entengnya Inno mengakui kebenaran itu. Tidakkan dia sadar, seberapa banyak orang yang terluka, hanya karena pengakuan itu?

Tanpa peringatan sebuah bogem mentah melayang di wajah Inno. Dia tersungkur jatuh. Dan tak sampai di situ, Iqbal menduduki perutnya dan memukulnya dengan membabi-buta.

"Kenapa orang sepertimu bisa hidup? Seharusnya kau mati saja. Apa kamu tidak tahu bagaimana perasaan kakakku? Kenapa kau setega ini?"

"Aku sudah berusaha!" Inno menahan pukulan Iqbal. "Awalnya aku kira aku sudah bisa melupakannya, namun aku salah. Setelah kembali bertemu dengannya, ternyata dia masih menjadi sesuatu yang spesial bagiku. Terlebih apa yang kami miliki dan mengikat kami," jelasnya. Iqbal mengernyit.

"Apa yang kalian miliki?" tanya Iqbal dengan nada mendesak.

***

Sisa Lara (Tahap Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang