Vote dulu yak.
“Oy bangsat, bangun lo pada! Atau mau gue bakar hidup-hidup?” teriak Raya kepada ketiga pria itu.
Dengan gerakan gugup dan takut, ketiga pria itu bangun dengan susah payah. Berjalan mendekat dan berdiri di depan gadis yang baru saja menghajar mereka.
“Lo…” Raya menunjuk ketiga pria itu satu-satu. “Kalau gue ada dengar kalian baru dihajar sama gue, jangan harap kalian bisa hidup keesokan harinya. Kalian ngertikan maksud gue?”
Ketiga laki-laki itu kompak mengangguk. Terlihat semangat, karna sepertinya penderitaan mereka akan berhenti sampai di sini. Mereka hanya cukup bertobat, dan diam. Maka mereka yakin, Raya tidak akan melakukan sesuatu kepada mereka.
Raya tersenyum lebar. “Bagus,bagus. Pinter ternyata kalian. Oh satu lagi, lo pada jangan ngebully dia lagi. Kalau gue, bolehlah kalian bully sekali-kali. Itupun kalau memang sudah bosan hidup” Raya terbahak-bahak. Gila lo Ray, ck.
^^^
Raya dan Beny keluar dari kelas kosong itu, setelah ia merapikan tampilannya seperti semula.
Raya sedari tadi berjalan menunduk, menuju ruang makan. Sedangkan Beny, ia masih bingung dengan sikap gadis itu. Apa sebenarnya alasan Raya, hingga mau berpura-pura seperti sekarang, dan diterima di bully oleh satu sekolahan.
Dukkk
Raya terjatuh. Bokong indahnya nyeri, karna harus bertabrakan dengan lantai koridor. Ia sepertinya baru saja menabrak sesuatu.
Mendongakkan kepalanya, Raya melihat tiga orang laki-laki yang berseragam sama dengannya, sedang memandang Raya dengan tatapan yang berbeda-beda.
Dari ketiga laki-laki itu, Raya kenal dua orang. Will dan Arip. Tapi tidak dengan laki-laki satunya, yang punya badan jauh lebih besar di bandingkan kedua pria itu.
Bukan, ini bukan besar karna gemuk. Tapi laki-laki yang di posisi tengah itu memiliki bahu lebar, plus dengan badan bidang, yang Raya bisa yakinkan, itu hasil dari ngegym setiap hari. Belum lagi tinggi laki-laki itu yang mencapai sekitar 190 cm, membuat Raya semakin terlihat kecil, karna hanya cuma punya tinggi 156 cm, mengikuti gen Mamanya yang pendek.
Untuk pertama kalinya, Raya merasa teritimidasi, hanya karna ukuran tubuh. Tidak seperti biasanya. Mungkin, Raya teritimidasi karna aura gelap yang terpancar dari tubuh pria itu.
Raya kembali tersadar, laki-laki itu memakai seragam yang sama dengannya. Dan itu berati, laki-laki besar itu masih SMA, sama seperti dirinya. Walau kenyataanya, tubuh laki-laki itu, tidak seperti tubuh anak laki-laki SMA seperti biasanya.
Raya bersiul dalam hati, saat mendapati wajah laki-laki itu yang cukup tampan, atau tampan sekali? Entahlah. Raya bisa melihat ada sedikit keturunan Korea, Jerman dan Bandung. Raya tertawa dalam hati, untuk daerah terakhir. Bisa-bisanya.
“Lah, malah bengong lo” ucap Arip, sambil menyentil dahi mengkilapnya Raya.
Raya mengerjabkan matanya. Tersadar akan lamunanya.
“Minggir lo! Ngehalangin jalan kita aja” kesal Will.
Mengangguk, Raya menundukan kepalanya. “Maaf” cicitnya penuh penghayatan.
Raya dan Beny langsung menyingkir, memilih berdiri tepat di atas got, dan membiarkan ketiga laki-laki itu untuk lewat.
Heran. Sudah tau koridor sekolah mereka tidak sebesar itu. Bisa-bisanya jalan bersisihan begitu. Sudah kayak orang mau lomba makan kerupuk.
“Sudah, jangan dilihatin lagi Ray” Beny mengintrupsi lamunan gadis itu.
Mengerjabkan matanya kembali, Raya bertanya maksud perkataan laki-laki itu lewat matanya.
“Itu Bima. Jangan di lihatin begitu. Dia jauh lebih beringas daripada kedua temannya” peringat Beny.
Raya mengangguk mengerti. Rasa penasarannya akan sesosok Bima akhirnya terjawab sudah. Tidak ingin memikirkannya lagi, Raya segera menarik Beny menuju ruang makan. Ia sudah kelaparan berat.
^^^
“Lo siapa?” Raya tersentak ke belakang, saat ia baru saja masuk ke dalam kamarnya.
Matanya mengerjab, memastikan kebenaran dari penglihatannya.
Di sana, di atas tempat tidurnya, ada sesosok laki-laki yang bernama Bima, yang saat ini sedang bersandar pada tempat tidurnya.
Seketika tubuhnya langsung merinding. Walau strong begini, Raya masih tetap takut sama hantu. Dan sekarang, Bima tampak seperti sesosok itu. Bagaimana laki-laki itu bisa masuk ke dalam kamarnya? Jelas ia mengingat sudah mengunci kamarnya tadi pagi, dan di pastikan kunci kamarnya tetap aman berada di tas sekolahnya.
“Bagaimana lo bisa masuk?” Raya bertanya ngeri.
Bima menunjuk arah balkon kamarnya menggunakan dagu.
“Jadi lo siapa?” tanya lagi mengulangi pertanyaanya.
“Ha? Maksudnya?” Raya terlihat bingung.
“Lo siapa? Pakai jampi apa?”
Raya membelalakan matanya. Jampi? Apalagi ini.
“Kenapa lo buat gue kepikiran lo terus? Padahal gue baru lihat lo hari ini” jujur Bima.
Raya semakin bingung. Masa dia cuma bernafas aja tadi sudah buat anak orang langsung kepikiran dan tertarik?
Iya, tertarik. Tertarik nyari masalah padanya.
“Ngggggg… maksudnya bagaimana? Aku enggak ngerti” tanya Raya nerd, dan bukan Raya biasanya.
“Tampilan lo, memang beneran begini?” Bima menunjuk tampilannya dari atas sampai bawah.
Raya mengangguk. Masih belum mengerti.
“Tapi kenapa gue enggak ilfil lihat lo. Lo terlihat menjijikan padahal” jujur Bima kembali.
Bangsat. Raya mengumpat dalam hati.
Apa sebenarnya rencana laki-laki yang berada di depannya ini.
Mempermainkannya? Kalau begitu, Bima menang. Karna sampai sekarang, Raya masih belum mengerti arti semua ucapan laki-laki itu.
“Sudahlah!!!” seru Bima pada akhirnya. Laki-laki itu segera turun dari atas tempat tidur, dan berjalan menuju Raya berdiri. Mendekati gadis itu, hingga membuat Raya mundur beberapa langkah.
Dari jarak 10 cm ini, Raya hanya bisa melihat ke arah dada bidang Bima. Ia sama sekali tidak berani untuk mengdongakkan kepalanya, untuk melihat ekspresi laki-laki itu.
Bima menunduk, mensejajarkan wajahnya dengan wajah Raya, hingga jarak yang tadinya 10 cm, kini berubah menjadi 3 cm.
Raya mengerjabkan matanya, berusaha agar kedua korneanya tidak tiba-tiba juling.
Nafas dingin dan segar karna penyegar mulut yang Bima gunakan, menghantam wajah Raya, membuatnya semakin gugup.
“Mana kunci kamar lo” ucap Bima, yang masih belum menjauhkan wajahnya.
Gugup, Raya semakin menundukan wajahnya, untuk mengambil kunci kamarnya dari saku seragamnya. Tindakan gadis itu berakibat fatal, karna yang terjadi, keningnya menubruk persis bibir Bima, dan secara tidak langsung, Bima sedang mengeCup kening gadis itu.
Raya semakin memundurkan tubuhnya walau percuma, karna yang terjadi, lengan atasnya malah menyenggol knop pintu.
“Aw…” ringisnya.
“Nakal sih dibilangin” Bima terkekeh. “Sudah, mana sini kunci lo, biar gue gandakan. Enggak usah drama” ucap Bima.
Bangke. Dibilang drama? Drama mana yang berkorban seperti ini, hingga sampai luka lagi. Desis Raya dalam hati.
“Kuncinya buat apa?” Raya menyerahkan kunci kamarnya, dan sesekali gadis itu meringis.
“Enggak dengar ya? Buat gue gandakan” kesal Bima.
“Iya, tapi buat apa di gandakan?” tanyanya kembali.
“Buat apa lagi, kalau bukan buat biar gue bisa masuk kamar lo dengan leluasa” jelas Bima tersenyum miring.
“Masuk kamar aku? Kenapa? Di sini enggak ada barang mahal” jawab Raya.
“Lo kata gue maling?” kesal Bima.
Raya mengiyakan, tapi dalam hati. Mana berani Raya nerd melakukan hal itu. Bisa-bisa, pengorbanannya beberapa hari yang lalu akan menjadi sia-sia.
“Ya buat mastiin perasaan gue lah. Kalau mau gue berhenti, cabut itu jampi-jampi lo” desis Bima.
Raya tiba-tiba ngeblank. Masih belum bisa memikirkan apa-apa.
Sebenarnya Bima si raksasa ini makhluk dari mana? Kok main tuduh Raya ngejampi.
KAMU SEDANG MEMBACA
AZAB (DREAME)
Teen FictionFOLLOW DULU, BARU BACA. JANGAN LUPA VOTE DAN COMMENTNYA. CERITA MASIH COMPLATED Cerita dari novel Kaluna. Boleh dibaca terpisah. Raya itu tipe bad girl yang selalu menjadi pembully. Papanya, Afka selalu mengajarkan bahwa ia tidak boleh lembek. Namu...