SATU

38.6K 2K 47
                                    


Moza

"MBAK, mau pulang bareng nggak?" pertanyaan Cleo—juniorku di kantor—membuyarkan lamunan panjangku.

Kuputar kursi putarku demi menatap lawan bicara, yang kini tengah melangkah menuju meja kerjaku. Cleo sudah tampak lebih rapi daripada saat rapat yang begitu alot dengan Mr. Hadrian lima belas menit yang lalu. "Nggak, Cleo, saya pulang nanti saja. Err..., masih ada pekerjaan yang harus saya selesaikan."

Cleo tampak tak percaya, dahinya mengernyit mendengar jawabanku. "Mbak itu bener-bener workaholic, ya. Padahal kurasa setelah rapat yang membuat mesin mana pun mengeluarkan asap panas, seharusnya kita butuh istirahat."

Aku terkekeh mendengar jawabannya, sebelum kalimat Cleo menyerap dengan sempurna. Workaholic? Aku mendesah. Kata itu selalu saja membuatku teringat akan Ibu. Beliau sering mengucapkan kata itu setiap kali ada tetangga yang menanyakan kenapa hingga detik ini anak sulungnya belum juga memutuskan untuk berumah tangga.

"Sudahlah, Cleo, pulang saja duluan. Sebelum hujan semakin deras," pintaku, setengah mengusirnya.

Suasana hatiku selalu saja memburuk setiap kali mengingat kejadian itu. Walaupun ya..., Ibuku bukan jenis Ibu penuntut yang terus menanyakan calon suami, meskipun tahun depan usiaku sudah menginjak kepala tiga. Justru karena Ibu selalu diam, aku merasa semakin bersalah.

Empat tahun lalu, saat mendapat kabar bahwa aku diterima bekerja di kantor ini, aku sangat bersyukur. Bukan hanya karena seleksinya yang begitu ketat, tapi juga karena akhirnya aku memiliki alasan untuk keluar dari rumah. Bukan, sama sekali bukan karena aku ingin kebebasan dalam artian buruk, tapi karena aku ingin bebas dari rasa bersalahku terhadap Ibu.

"Saya akan cari tempat kos yang nggak jauh dari kantor, Bu. Saya janji akan jaga diri dengan baik, dan selalu pulang setiap akhir pekan." Aku berusaha meyakinkan Ibu yang tampak masih belum bisa juga memercayai kata-kataku. Bahkan sedari tadi kulihat Ibu terus melirik Ayah, mencoba mencari bantuan.

"Moza sudah 25 tahun, Bu, dia pasti bisa jaga diri," Ayah akhirnya bersuara juga. Sejak awal aku meminta untuk berbicara serius pada kedua orangtuaku di ruang keluarga, sampai akhirnya kupaparkan permintaanku beserta alasan kuat yang mendukung, beliau memang memilih diam, berbeda dengan Ibu yang sejak awal sudah bereaksi tak setuju.

"Baiklah, tapi janji sama Ibu kamu akan selalu mengabari Ibu setiap hari."

Ibu akhirnya setuju melepasku. Tentu saja, aku menepati semua janjiku, menelepon Ibu setiap pagi sebelum pergi ke kantor, dan malam hari sebelum beranjak tidur. Tak lupa, aku pun selalu pulang setiap Sabtu sore, dan keluargaku selalu menyambut antusias kepulanganku. Seolah, kami seperti tak bertemu selama bertahun-tahun.

Sampai akhirnya... semuanya berubah.

Adikku—Mollie, setahun kemudian memutuskan untuk menikah. Saat mendengar kabar itu via telepon, aku sama sekali tidak terkejut. Aku tahu hari itu akan datang. Hari di mana aku mengizinkan adikku melangkahiku dalam hal pernikahan. Mollie dan kekasihnya—Edgar, memang sudah lama berpacaran, sejak mereka duduk di bangku SMA. Wajar bila akhirnya mereka memutuskan untuk naik jenjang. Dan sungguh, aku bersyukur adikku mendapatkan laki-laki yang dicintai dan mencintainya.

Kupikir setelah Mollie menikah, Ibu akan mengejarku dengan pertanyaan yang sebelumnya tak pernah beliau sampaikan, tapi nyatanya tidak. Ibu masih sama. Tidak ada yang berubah sedikit pun dari sikapnya. Beliau masih menyayangiku sebagai putri sulungnya. Dan lagi-lagi, semua itu membuat perasaan bersalahku membengkak. Hingga akhirnya kuputuskan untuk mengurangi kepulanganku.

Tentu saja berubahnya keputusanku tidak berjalan mulus di awal. Ibu sering meneleponku, dan sesering itu pula aku mengabaikannya. Aku selalu punya cara untuk menghadapi sikap Ibu yang itu. Biasanya, setelah beliau menghubungiku tiga sampai empat kali, barulah aku menelponnya satu jam kemudian. Kuberi alasan bahwa aku sedang sangat sibuk dengan pekerjaan hingga tak tahu ada panggilan masuk. Dan ketika pembicaraan mulai menjurus pada pertanyaan, "Kapan pulang?", maka aku akan berkata, "Saya usahakan ya, Bu. Pekerjaan menumpuk, nggak bisa saya tinggal."

TAKE ME HOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang