Arco
SETIBANYA di rumah, Papa menyambutku dengan kabar buruk. Beliau mengatakan, ada sedikit masalah terjadi di kantor cabang kami yang ada di Balikpapan. "Dua orang karyawan terlibat pencurian barang, begitu dugaan sementaranya. Tadi Papa sudah dikabari kalau mereka telah diamankan pihak berwajib, tapi Papa rasa kamu juga tetap harus memantau langsung ke sana."
Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengiyakan perintah Papa. Bukan hanya karena aku ingin mendengar dan melihat secara langsung apa yang terjadi di kantor cabang kami yang ada di Kalimantan Timur itu, tapi karena aku nggak ingin bertemu Moza besok.
Setelah kejadian di coffeeshop tadi, kurasa Moza dan Attar telah menjadi sepasang kekasih lagi. Dan aku yakin, aku nggak akan sanggup melihat rona bahagia Moza. Aku tahu, aku benar-benar pengecut yang nggak bisa menerima kenyataan. Ketahuilah, aku bisa, hanya saja aku butuh waktu lebih banyak. Seminggu kurasa cukup untuk menghindari gadis itu.
"Kapan aku harus berangkat, Pa?"
"Besok pagi. Penerbangan pertama."
***
KEJADIAN pencurian ini ternyata lebih rumit dari dugaanku. Karena bukan hanya melibatkan dua orang karyawan, tapi juga warga yang tinggal nggak jauh dari area kantor. Aku dibuat terkejut dengan beberapa warga yang memenuhi bagian depan kantor. Untung saja, mereka nggak mengenali mobil yang kugunakan, dan sopir yang menjemputku dari bandara bisa langsung mengarahkan mobil ini ke bagian belakang.
Setelah masuk melalui pintu belakang, aku langsung disambut dengan Herwansyah—Kepala Keamanan di sini, dan atasan-atasan yang lain. Tanpa membuang waktu, kuminta Herwansyah menjelaskan padaku bagaimana bisa barang keluar tanpa surat shipping list atau get list. Bukankah sejak dulu aturan itu nggak pernah berubah?
"Benar, Sir, hingga kejadian kemarin, bahkan detik ini, semuanya selalu berjalan sesuai dengan prosedur. Kalau tidak ada shipping list atau get list, kami tidak mengizinkan mobil membawa barang dalam bentuk apa pun keluar."
Kusandarkan punggungku pada sandaran kursi, namun mataku nggak melepaskan pria berusia sekitar empat puluh tahunan itu. Dia tampak takut-takut saat menjelaskan. Membuatku menaruh curiga padanya.
"Lalu, Pak Herwansyah, bagaimana ceritanya truk boks yang digunakan salah seorang karyawan itu bisa keluar tanpa menggunakan dua surat itu?" kuusahakan pertanyaanku terdengar santai, aku nggak ingin menekan pria di hadapanku ini.
"Maaf, Sir, saya tidak mengetahui bagaimana persisnya kejadian tersebut, karena saat itu saya sedang berada di luar kota. Yang jelas, waktu barang itu keluar, tidak ada suratnya."
Aku menghela napas sejenak. Kecurigaanku semakin besar saja. "Dan... bisa ada yang menjelaskan pada saya dengan kejadian di depan? Warga-warga itu?"
"Mmm... begini, Sir," seorang laki-laki yang kutaksir usianya lebih muda dariku angkat bicara. "Maaf, sebelumnya, saya Romi—kepala gudang di sini," jelasnya. Setelah kuminta untuk melanjutkan, dia berkata, "Pencurian ini bukan hanya melibatkan dua orang pegawai—yang salah satunya merupakan karyawan gudang, tapi juga anak dari salah seorang warga itu."
Romi pun menjelaskan bahwa setelah barang itu keluar dari kantor, salah seorang pegawai mendatangi rumah salah seorang warga—yang biasanya menyediakan pick up jasa angkutan. Warga tersebut langsung setuju dan meminta anaknya untuk membantu memindahkan barang yang ada di mobil boks, lalu mengantarnya ke alamat yang diminta karyawan kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAKE ME HOME
RomanceMoza Sybil Abieza 'Kosongkanlah hatimu, lalu kembalilah jatuh cinta.' Aku benar-benar tak menyangka kalimat itu berhasil memengaruhiku selama puluhan tahun. Membuatku memutuskan untuk sendiri, dan menolak semua perhatian yang laki-laki tujukan padak...