EMPAT

16.9K 1.4K 27
                                    


Arco

SEJAK pertama kali melihatnya, aku tahu ada yang berbeda dengan gadis itu. Jarang sekali seseorang mendapatkan tiga paket lengkap sekaligus. Ya, Moza memiliki ketiganya; wajah yang cantik, otak cerdas, dan sifat yang mudah bergaul. Nggak heran pegawai-pegawai di kantor ini selalu bersikap baik padanya. Malah, terkadang, beberapa kali aku mendengar pegawai laki-laki diam-diam membicarakannya.

Herannya, aku nggak pernah melihat Moza tertarik pada salah satu dari mereka. Apa Moza sudah memiliki kekasih? Tapi, selama enam bulan aku bekerja di perusahaan ini, aku nggak pernah melihat seorang lelaki pun menjemputnya. Dia selalu saja pulang jalan kaki seorang diri.

Pernah sekali aku mengikutinya. Tentu saja tanpa sepengetahuan gadis itu. Jangan salah sangka dulu, aku sama sekali nggak memiliki niat buruk, aku melakukannya hanya untuk melindungi Moza. Dengan wajah cantik dan tubuh sesempurna itu, membuatku mengkhawatirkan gadis itu. Aku takut ada yang berniat jahat padanya.


***


TEPAT ketika kulihat gadis berambut hitam—sepekat kopi itu—melangkah melewati ruanganku, aku buru-buru menyambar tas dan jasku. Kali ini, aku harus menyapanya. Bang Had bilang, aku nggak bisa selamanya hanya memerhatikan gadis itu diam-diam, aku perlu bertindak.

"Moz, baru pulang?" tanyaku, sebisa mungkin membuat suaraku terdengar santai. Sial, kenapa menyapa begini saja, aku sudah gugup?

Langkah Moza terhenti, yang lantas juga menghentikan goyangan rambut ikal sebahunya itu. Dia menatapku hanya dalam beberapa detik, lalu menunduk dan menjawab, "Ya, Sir."

Apa kalian bisa mendengar suaranya? Merdu sekali—yang sumpah mati, membuat kakiku terasa lemas seketika. Andai saja aku bukan laki-laki, mungkin aku akan membiarkan tubuhku lunglai ke lantai.

"Mau bareng?" tiba-tiba saja, tanpa sepenuhnya kusadari, kuucapkan ajakan itu. Ya, Tuhan... bagaimana ekspresiku tadi? Apa wajahku terlihat bodoh? Uh, gadis ini selalu saja berhasil membuatku bertingkah tolol.

"Oh, nggak." Moza langsung menolak, membuatku kembali mengangkat wajah. "Hm..., maksud saya, nggak usah, Sir. Kos saya nggak jauh dari sini. Sepuluh menit jalan kaki sudah sampai."

"Begitu, ya?" Aku kecewa mendengarnya, tapi aku tahu aku nggak bisa berbuat apa-apa. "Ya sudah, kalau begitu, kita ke depan sama-sama." Semoga aja dia nggak menolak yang satu ini.

Harapanku terkabul. Gadis itu mengangguk setuju.

Nggak ada pembicaraan apa-apa selama kami berada di lift. Moza berdiri dengan tangan bersedekap, dan pandangan lurus ke depan. Dia sepertinya benar-benar nggak tertarik padaku. Sementara aku sendiri, sejak tadi sudah berusaha menahan diri untuk nggak memandangnya.

Demi Tuhan, dia benar-benar memesona hari ini. Roknya yang hanya sebatas lutut, memamerkan kaki putih jenjang miliknya, meskipun kali ini aku sedikit kecewa karena Moza menggunakan model atasan yang menutupi tengkuknya—yang sering kali di hari-hari sebelumnya, membuatku nggak bisa teralihkan dari bagian tubuhnya yang satu itu.

Dan demi Tuhan lagi, aku nggak boleh terus-menerus memandanginya begini, bisa-bisa dia kabur. Aku nggak ingin itu terjadi, terlebih setelah hari ini dia justru ketakutan setiap melihatku.

Denting lift membuat tubuh Moza refleks menegak. Aku nggak tahu persisnya kenapa. Sepertinya, gadis itu sedang memikirkan sesuatu, sehingga bunyi sepelan apa pun jadi mengejutkannya seperti itu. Dan benar saja, setelah keluar dari lift, Moza kembali melangkah dalam diam, kulihat ekspresi wajahnya kembali tegang. Ah, Moza, apa yang sedang mengganggu pikiranmu?

TAKE ME HOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang