TUJUH

21K 1.5K 74
                                    


Arco

INI adalah kegilaan pertama yang kulakukan. Meminta seorang gadis yang telah menjadi milik seseorang—terlebih sahabatku sendiri, menjadikanku sebagai miliknya. Aku sepenuhnya sadar bahwa aku nggak seharusnya senekat ini. Tapi, aku sudah nggak sanggup lagi memendam perasaan ini sendirian. Moza harus mengetahuinya. Persetan, bila kenyataannya dia nggak bisa menerimaku.

Rasa lega menyerbu masuk ke rongga dadaku tepat ketika kalimat itu berhasil kusampaikan pada Moza. Seingatku, aku nggak pernah selega ini selama enam bulan terakhir yang kulalui.

"... Apalagi saat ini kamu sudah menjadi milik teman baik saya. Attar." Moza tampak terkejut mendengar kalimatku ini.

...

...

...

Namun, keterkejutan Moza nggak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan keterkejutanku saat gadis itu mengatakan, "Saya dan Attar nggak punya hubungan apa pun, Arco. Kita hanya teman baik saat ini."

"Jadi, kamu...?"

Moza menggeleng. "Kami sepasang kekasih. Tapi, dulu sekali."

Aku nggak bisa menahan diri untuk nggak mengembuskan napas lega. Ya, Tuhan... benarkah yang dia katakan? Tidakkah ini berarti bahwa aku memiliki kesempatan? Sekecil apa pun itu.

Nggak mau membuang waktu, aku lantas mengucapkan kalimat pertama yang terpikir di kepalaku setelah mengetahui bahwa gadis ini bukanlah gadis berstatus: off limits. "Kalau begitu, kamu bisa menjawab permintaan saya?"

"Nggak," katanya tegas. Sontak tubuhku menegang. Aku yakin, penolakannya itu juga berimbas pada wajahku—yang bisa jadi menjadi pucat pasi. "Nggak, sampai kamu jelasin sama saya apa yang sebenarnya terjadi."

Apa maksudnya? Ugh, Moz, haruskah kamu meminta saya memutar otak setelah kamu menghempaskan saya dengan penolakanmu? Namun, nggak urung, aku terus berpikir, mencari tahu maksud dari kalimat gadis itu.

Apa jangan-jangan... dia ingin aku menjelaskan tentang awal mula aku jatuh hati padanya?

Kutarik napas dalam-dalam, lalu berujar, "Saya jatuh cinta sama kamu sejak pertama kali kita bertemu." Nggak ada gelengan yang kudapat, berarti memang itulah yang ingin Moza dengar.

"Di ruang rapat? Saat Mr. Soedirja memperkenalkan pewaris tunggal SIL?" tanyanya ragu-ragu.

Aku tersenyum. "Sudah saya duga kamu nggak ingat bagian yang itu," kataku pelan, seolah berkata pada diriku sendiri. "Bukan, Moz, kita pernah bertemu sebelum rapat itu. Sehari sebelumnya—di hari yang sama saya tiba di Indonesia, saya memutuskan untuk langsung ke kantor, tapi saat itu saya masih terlalu jet lag. Jadi, saya sengaja mampir ke coffeeshop dulu, dan saat itulah kita bertemu."

Moza lagi-lagi tampak terkejut. Bibirnya membulat. Sungguh, aku menyukai ekspresi gadisku ini—yang entah bagaimana, berhasil mengundang niat untuk melakukan hal yang sama berulang-ulang, demi melihat ekspresi wajahnya itu.

"Saat saya memesan kopi, kamu melintas. Detik itu, saya merasa dunia berhenti berputar. Semua suara melenyap. Fokus saya hanya pada gadis yang membuat jantung saya berdegup lebih cepat. Terlebih ketika gadis itu menoleh, dan tersenyum pada saya."

Pernahkah kalian mendengar kutipan ini, 'Have you ever just looked at someone and thought, "I really love you". They're just talking or humming or watching a movie or reading a book or laughing or something, and there's something about them in that moment that makes you think, "I just really love you."'?

TAKE ME HOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang