Moza
HUJAN masih sama seperti saat kami memutuskan untuk mampir di kedai kopi, tapi aku bersikeras untuk pulang. Attar tentu saja tak setuju, dia lantas mengingatkanku pada perjanjian; duduk di kedai kopi, sampai hujan mereda.
Aku masih bertahan pada keinginanku. Peduli apa dengan perjanjian itu. Yang terpenting bagiku saat ini adalah hatiku. Ya, Attar mulai mengungkit tentang masa lalu kami. Seperti yang kukatakan sebelumnya; selama tidak menyerempet ke urusan hati atau masa lalu, kurasa aku tidak masalah. Dan tanpa Attar sadari, kami mulai keluar dari zona aman.
Bermula dengan pertanyaan sederhana, "Perfectly Rain, ya?" Attar menyebutkan judul novelku. "Percaya nggak kalau saya bilang, saya sudah baca buku kamu?"
Dua bulan yang lalu, akhirnya cita-citaku tercapai. Tulisanku dalam bentuk sebuah buku, terpajang bersama novel-novel lain di toko buku. Tak ada yang bisa menandingi perasaan bahagiaku saat itu, juga saat mengetahui—sekitar setahun lalu—bahwa naskahku diterima penerbit. Setelah melewati tahap revisi berulang-ulang, akhirnya enam bulan kemudian novelku naik cetak. Setelah itu, proses cetak dan menentukan sampul mengalami waktu cukup lama karena kami—aku dan editorku—merasa belum berjodoh dengan beberapa desain sampul yang diberikan.
Aku tertawa renyah. "Saya percaya. Meskipun ya... saya sedikit ragu kamu menikmatinya."
Berikutnya, Attar yang tertawa. "Kamu harus tau, saya berusaha, tentu saja. Bahkan saya menghabiskan bukumu kurang dari setengah hari."
Aku tak meragukan yang satu itu. Attar mendapat gelar 'Pelahap Buku' di forum kepenulisan yang kami ikuti saat kuliah. Sebuah forum yang menjadi awal pertemuan kami. Saat itu aku mendengar kabar bahwa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya sedang membuka sebuah wadah bagi para pembaca dan penulis. Umum! Semua fakultas diizinkan untuk bergabung. Maka aku—yang dari Fakultas Ekonomi, memutuskan untuk turut serta, karena memang aku suka menulis sejak di Sekolah Dasar.
Genre tulisanku dan Attar bertolak belakang. Aku lebih suka hal-hal yang berbau romantis, tentang cinta, patah hati, dan yang pasti berakhir bahagia. Sementara Attar, dia lebih senang menulis tentang cinta berbeda dunia. Entah vampire dengan manusia, zombie dengan manusia, atau serigala dengan manusia. Walau nyatanya terkadang Attar tak bisa menikmati tulisanku, kami tak pernah berselisih paham. Dia selalu menghargai karya tulisku. Meskipun ada saat di mana dia senang menjailiku dengan kalimat, "Harapanmu terlalu muluk, Baby. Akhir bahagia nggak akan selalu bisa didapat."
"Tapi, sungguh, saya masih sulit memercayainya," ucapan Attar menarikku kembali duduk di kedai kopi, di hadapannya. Bukannya bernostalgia di sebuah ruangan yang biasa digunakan forum kami untuk mengadakan kelas menulis setiap akhir pekan.
"Memercayai bahwa saya bisa menerbitkan buku dengan genre saya itu?" Ada sekelebat rasa kecewa di hatiku. Bagaimana bisa Attar meragukanku?
"Bukan, Baby. Bukan. Tolong jangan salah sangka." Wajah Attar menyiratkan perasaan bersalah. "Maksud saya, kita mulai sama-sama di forum yang sama, tapi lihat, kamu yang lebih dulu berhasil. Saya bahagia, kamu harus tau itu. Bagaimana bisa saya nggak bahagia jika salah satu teman saya berhasil? Meskipun, saya juga harus mengakui, saya iri berat sama kamu." Attar mengakhiri penjelasannya dengan tawa lepas, mau tak mau aku ikut tertawa—yang lantas membuatku merasa menyesal telah bertingkah konyol sebelumnya.
"Novel kamu berkisah tentang hujan yang mempertemukan kedua tokoh utama pada satu takdir. Rupanya, kamu masih belum berubah, ya. Kamu masih memercayai takdir. Bahwa..., 'Jika kamu memang bagian dari jalan itu, kita pasti akan bertemu lagi.' Begitu bukan yang diucapkan sama tokoh utama di sana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
TAKE ME HOME
RomanceMoza Sybil Abieza 'Kosongkanlah hatimu, lalu kembalilah jatuh cinta.' Aku benar-benar tak menyangka kalimat itu berhasil memengaruhiku selama puluhan tahun. Membuatku memutuskan untuk sendiri, dan menolak semua perhatian yang laki-laki tujukan padak...