ENAM

14.8K 1.4K 25
                                    


Arco

HARI ini Moza mengenakan pakaian kerja dengan nuansa merah dan krem. Rok, tas, dan sepatunya krem. Sementara kemeja dan aksesoris—seperti gelang dan anting-anting berwarna merah. Dia cantik. Selalu cantik. Dan lebih cantik setelah hampir seminggu kami nggak bertemu. Sayangnya, sekalipun aku menyukai pakaian Moza, aku sedikit menyesal karena gadisku ini memilih menggunakan kemeja tanpa lengan. Buruknya, aku pun tak mengenakan jas, jadi aku nggak bisa menutupi lengannya—yang sudah pasti kedinginan itu.

Sebenarnya, menggenggam tangannya mungkin bisa membantu mengurangi kedinginan yang gadis itu rasakan, sayangnya itu benar-benar nggak etis—mengingat aku adalah atasannya. Bisa-bisa pipiku yang jadi sasaran karena bertingkah nggak senonoh.

Seperti yang sudah-sudah, nggak ada percakapan apa pun yang terjadi selama perjalanan. Moza diam seribu bahasa, dengan pandangan lurus ke depan. Aku sendiri, ingin sekali membuka percakapan, namun dari diamnya gadis itu membuatku sedikit ragu, kalau-kalau saja dia justru merasa terganggu. Moza setuju untuk kuantar saja aku sudah senang, jangan sampai aku justru melakukan kesalahan.

Ketika kami melewati coffeeshop—yang jadi tempat pertemuan dia dan Attar, diam-diam aku melirik gadisku. Siapa tahu, dia memandang ke sana, dan aku mendapati tatapan merindu—yang sebenarnya, tentu aja nggak kuharapkan terjadi. Dan syukurlah, mata gadis itu bahkan nggak teralihkan.

"Sir?" suara merdu ini membuatku menoleh ke arah gadis yang berada di sebelah kananku, dia memandangku sesaat, lalu kembali menatap ke depan. "Apa saya boleh tanya sesuatu?"

Aku mengangguk. "Silakan, Moz."

Namun, Moza nggak langsung mengajukan pertanyaan. Ada jeda sejenak, dan keraguan yang menyelimutinya—yang tentu saja membuatku semakin penasaran. Apa sebenarnya yang ingin gadis ini tanyakan?

"Apa Anda kenal dengan Attar? Attar Ledwin?"

Astaga, kupikir apa. Tapi, pertanyaan menyangkut Attar, jujur saja, benar-benar nggak kuharapkan. Kalau bisa, selama kami bersama menuju kosnya, nggak ada sedikit pun menyinggung soal Attar. Bukannya apa, aku hanya memperkecil kemungkinan Moza akan memberi tahu tentang status hubungannya dengan Attar.

Tapi, sudahlah, karena ditanya, aku harus menjawab. "Dia teman baik saya."

Bibir Moza membulat, dan kepalanya mengangguk. Lalu dia diam lagi, namun aku masih bisa melihat di wajahnya, sepertinya masih ada yang ingin dia sampaikan.

Beberapa detik berlalu, dia masih nggak bersuara, hingga aku memutuskan untuk bertanya, tapi... belum sempat aku membuka mulut, Moza sudah kembali berkata, "Attar titip pesan..." Moza terlihat ragu menyampaikannya. Aku sendiri nggak yakin ingin mendengarnya. Bagaimana bila Moza mengatakan bahwa, 'Attar titip pesan; bahwa anda jangan mendekati saya. Karena saya adalah kekasih Attar.' Astaga, matilah aku. "Attar... dia..."

"Pelan-pelan aja, Moz," pintaku. Sungguh, kuyakin suaraku bergetar saat mengucapkannya. Sebenarnya aku ingin mengatakan pada Moza untuk jangan berkata apa-apa lagi, tapi nggak tahu kenapa, justru itu yang keluar dari bibirku.

Moza tersenyum canggung, lalu menarik napas dalam-dalam. "Maaf, Sir," katanya. Melihatku mengangguk, dengan wajah yang tentu saja menyiratkan rasa penasaran, gadis itu lalu menambahkan, "Attar titip permintaan maaf untuk Anda."

Jantungku seakan berhenti saat ini juga. Permintaan maaf? Apa maksud Attar? Memang, setelah dia memutuskan untuk mengejar Moza seminggu lalu, dia membatalkan janji untuk menemuiku di rumah. Nggak ada alasan pasti selain bahwa dia mengatakan akan datang dan mengembalikan payungku besok atau lusa.

TAKE ME HOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang