12. Pertaruhan

202 25 7
                                    

Di bawah tanah, waktu membeku.

Gua penjara mengantarkan hawa dingin yang merasuk tulang. Gigi bergemeletuk. Sendi-sendi yang terpuntir pun tak lagi bisa kaurasakan sakitnya. Mali tahu sejak dulu, bahwa rasa dingin lebih membakar daripada api. Bila api membakar kulit dan dagingmu dengan cepat mengantarkanmu kepada kematian cepat, dingin merasuk ke dalam badan dan bertahan di dalam sumsummu cukup lama, sampai kau menyerah kalah meminta kematian.

Mali tak akan kalah.

Selagi tubuhnya menegang dengan gigil luar biasa, karena dingin dan kecemasan, ada pula gigil yang lebih hebat berasal dari dalam dirinya. Ada api yang ia buat menyala. Ada kemarahan. Dalam gelap, mata Mali terbuka lebar. Tangannya terus mengepal. Segala caci maki kasar yang Liveo pernah lontarkan di Sisi Buruk kini menjadi serangkai jeritan dalam kepalanya sendiri. Mali mengutuk kasar. Mali membayangkan jeruji besi di hadapannya saat ini menempel pada tubuh Maria. Menekan kulitnya yang bening, menembus daging, meremuk tulang. Mali membayangkan udara dingin di sekitarnya membekukan zirah para pengawal Maria, merontokkan kulit kepala para petingginya, mengerutkan mereka serupa mumi.

Mali tak mau mati sebelum ia bisa melihat semua itu terjadi.

Jeritan yang sebelumnya mengisi lorong penjara, menjadi sayup-sayup. Satu per satu antagonis di balik jeruji telah menemui ajal bukan karena penyiksaan fisik, melainkan udara dingin gua. Berjam-jam Mali berlutut di sisi Liveo. Menatap awas ke arah pintu jeruji setiap kali ia mendengar langkah. Mali menunggu kapan Maria hadir memerintahkan penyiksaan untuknya. Telah lewat belasan jam sejak ia duduk diam memelihara api kemarahan. Mungkin perkataan Mali berhasil menakuti orang-orang di negeri ini. Mereka takut ancaman Mali akan karma menjadi nyata. Maka mereka menyerahkan eksekusi mati Mali kepada udara dingin, membuatnya mati dalam keadaan murka dan tersiksa.

Setelah Mali mati dengan sendirinya, tinggal menunggu ia dilemparkan ke dalam danau bersinar. Danau yang terang sekaligus gelap itu, yang mengakhiri kisahnya dengan akhir paling pahit.

Sampai akhirnya lorong penjara itu benar-benar sunyi, Mali mendengar langkah kaki. Para pengawal datang, menyeret tubuh-tubuh antagonis yang sudah mati beku, dan sebagian dari mereka mungkin hanya tampak mati seperti Liveo. Terbiasa melihat dalam gelap, Mali bisa mengikuti gerik langkah mereka. Tubuh-tubuh itu diseret keluar lorong. Mali menghitung berapa banyak langkah mereka, dan menebak danau bersinar yang menjadi arah tujuannya.

Ketika seorang pengawal datang mengecek jerujinya, Mali rebah di samping Liveo dan menahan napas. Di mata sang pengawal yang tak peka, Mali akan disangka sudah tak lagi bernyawa.

"Benarkah dia antagonis?" tanya salah seorang pengawal.

Seseorang lain di sisinya menyahut, "Itulah kebenaran yang harus kita percaya."

"Apa kau percaya?"

"Entahlah. Tak ada perintah untuk menyiksanya."

"Kita menunggu Tuan Putri Maria saja?"

"Bila ia memang sudah mati, maka sesuai prosedur saja. Aku takut lama-lama melihatnya di sini."

"Dan kita bisa sampaikan kepada Tuan Putri tanpa rasa bersalah."

"Dan mungkin Tuan Putri akan memberi kita hadiah."

Oh, wahai warga negeri yang tolol dan sangat naif. Andaikan mereka mau bersuara lantang demi melindungi Mali, mungkin Mali akan keluar dari tempat ini demi menolong mereka semua.

Tidak.

Mereka tak lagi pantas mendapatkan pertolongan Mali.

Sel penjara dibuka. Mereka masuk ke dalam. Tubuh yang pertama kali mereka periksa adalah Liveo, dan Liveo bukan seperti Mali yang pandai berpura-pura mati. Pengawal mengetahui Liveo masih hidup, dengan desah kecewa sebab mereka harus membawa Liveo untuk disiksa berkali-kali esok hari, mungkin mereka akan menusukkan bilah besi menembus kepala Liveo, agar lekas mati.

SEGREGATE (Mali & Liveo Story) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang