7. Air

239 20 0
                                    


Author note: 8000 kata, 18 tahun ke atas, dan ini semua sudah ditulis ulang agar lebih less vulgar. Butuh waktu lama untuk editingnya. :'D

Satu hal: Di bawah ini adalah adegan dewasa yang 100% BUKAN untuk kenikmatan. Jika Liveo berperang menggunakan pedang, Mali dan Maria berperang dengan cara lain, di panggung yang lain.




Katanya setiap perempuan punya dua muka.

Yang berkata demikian adalah ibunya, Ira. Wanita itu berkata kepada dirinya sendiri ketika bercermin seraya mengurai rambut panjang. Kebetulan saja Mali melintas di depan kamar ibunya. Kalau tidak salah usia Mali baru menginjak dua belas saat itu. Usia ketika Mali percaya seratus persen bahwa setiap benda gelap di muka Bumi Sisi Buruk dapat ia kuasai untuk dijadikan terang. Naif sekaligus pintar.

"Perempuan punya dua muka. Muka yang pertama ada di depan matamu, muka yang kedua ada di depan matanya sendiri."

Ira berkata dengan nada yang sendu seperti bernyanyi. Dia terus mengulangi sampai seluruh helai rambutnya terjatuh dengan lurus dan licin, tidak ada yang kusut lagi. Mali masih diam di depan kamar, tak mau beranjak dari sana. Sebab, jujur saja, dia mengagumi ibunya sebagai sosok wanita tercantik. Bukan hanya wajah, tetapi juga suara. Nyanyian, juga setiap kata-katanya. Maka, bukan hal yang mudah bagi Mali untuk mengenyahkan kata-kata yang seperti wasiat itu dari benaknya.

Perempuan punya dua muka.

Muka yang pertama adalah yang tampak di hadapanmu saat ini.

Ketika Mali membuka matanya kembali, ia melihat Maria. Perempuan yang tercantik, di mata baik yang jejaka maupun yang sudah keriput di negeri berwarna ini. Muka Maria, yang begitu putih seperti dilapisi kertas, yang dilukis dengan bentuk mata, bibir, hidung, tulang pipi yang halus sempurna. Ada senyum lembut ketika perempuan itu memandangi Mali tengah rebah di ranjangnya. Ini pastilah mukanya yang pertama.

Muka yang kedua, kata Ira, adalah muka di depan mata sang perempuan itu sendiri.

Apa maksudnya itu?

Oh, Ibu—apabila Mali pikir-pikir lagi saat ini, mungkin ketika itu Ira sedang mengalami gangguan jiwa ringan akibat terlalu banyak membunuh perempuan cantik. Terkadang, Ira bisa begitu gila dan suka bicara sendiri, membuat orang-orang di sekitarnya memusatkan atensi hanya kepadanya. Sial sekali Mali mesti melintas di depan kamarnya saat itu dan mendengarkan bait sendu tentang keperempuanan. Kau tahu kan, otak Mali itu terlalu encer dan menyerap seperti spons sehingga sering kali dia jatuh ke dalam pikirannya yang tak berdasar! Ya, Mali terkadang bisa menjadi kalah oleh dirinya sendiri.

Akan tetapi, ketika Maria menaiki ranjangnya sendiri dengan wajah yang perlahan-lahan berubah, Mali akhirnya mengerti apa yang disebut muka kedua.

Muka itu muncul ketika Maria membuat senyum seringai. Seringai aneh yang seperti dilukis di atas goresan bibirnya yang semula rapuh. Lucu, detik itu tiba-tiba saja Mali teringat luka di pipi Liveo. Luka yang entah sejak kapan ada, tetapi tergurat begitu dalam seolah-olah sudah tertanam sejak bayi. Begitulah seringai Maria. Itu adalah seringai yang seperti terbentuk sejak perempuan ini dilahirkan ke dunia. Bibir yang semula milik tuan putri rapuh rupanya hanya lukisan semu.

Maria menyadari Mali memandangnya begitu intens. Perempuan itu tertawa suka. Dia suka dipandangi dari ujung kaki hingga kepala, dari ujung jari ke tengkuk. Maria terbiasa dipandangi dan menikmati semua atensi itu, untuk ia balas dengan sebuah permainan kecil.

Beberapa menit lalu, perempuan itu meminta Mali merebahkan diri di ranjangnya yang wangi kesturi. Mali mengikutinya sebagai lelaki yang bersedia memanjakan perempuan mana pun. Bukankah lelaki seperti itu yang tercetak di seluruh dunia Sisi Baik?

SEGREGATE (Mali & Liveo Story) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang