5. Anak Pencipta

317 52 3
                                    

Update setiap Kamis


Mali menahan napas.

Di langit jauh sebelah barat, tampak sebuah garis horizon keemasan. Bola matahari yang gagah menggantung di atas langit sementara, untuk kemudian turun perlahan-lahan membenam diri ke tengah lautan.

Mata Mali mengejar ke mana perginya bola itu. Namun, tak sanggup dia mencerap lebih, selain hanya bisa memandang kepergian matahari. Ia meninggalkan semburat tipis warna terindah yang pernah Mali lihat. Oranye, merah keemasan, disusul paduan warna jingga ungu.

Pemandangan ganjil.

Tak ada kata untuk mengungkapkan serbuan rasa yang Mali rasakan saat ini.

Terkadang Mali tak tahu bahwa hatinya bisa tersentuh begitu dalam. Seperti ditusuk sesuatu yang tajam. Mali merasakan air di sudut matanya. Mungkin karena matanya masih belum terbiasa menghadap matahari. Pasti itulah sebabnya dia ingin menangis.

Momen mistis itu dirusak oleh suara perempuan.

Putri Maria mengintip dari samping. "Tuan Mali jadi begitu pendiam, seperti belum pernah melihat matahari terbenam sebelumnya."

Mali ingin diam, ingin mengeratkan rahang. Perempuan ini harus tahu bahwa dia tak suka momen melihat matahari terbenamnya diganggu.

Tentu saja Mali tak bisa menunjukkan kekesalan. Dia langsung tersenyum rupawan. "Ya, Nona Maria?"

Maria mengulang persis pertanyaannya, seolah ingin mengolok. "Tuan Mali jadi begitu pendiam, seperti belum pernah melihat matahari terbenam sebelumnya."

Mali terkekeh ringan. "Benarkah?" katanya, kemudian menoleh ke arah raja yang sedang menikmati anggur berempah dan daging ikan. "Itu karena negerimu, Raja! Betapa indah langit, penduduk, laut, daratan, istanamu—bahkan rasanya seperti baru pertama kali melihat matahari terbenam. Kerajaan ini begitu spesial."

Raja tersenyum dengan mulut penuh. "Kau membuatku bahagia dan sangat bangga, Mali! Bergabunglah dan bersantap di sisiku! Apa kau sudah mencicipi minuman susu hasil olahan langsung dari peternakan kami?"

"Terima kasih sudah bercerita tentang masa lalumu, Raja." Mali sengaja berjalan ke arah raja dan meninggalkan Maria sendirian di teras. "Aku sangat terinspirasi dengan perjuanganmu dapat menaklukkan monster-monster itu. Kalau aku boleh tahu, bagaimana rupa monster-monster tersebut?"

"Aku sudah mulai pikun akhir-akhir ini, tapi mereka sangat besar, Mali!"

"Sebesar apakah, Rajaku?"

"Lebih besar dari istanaku. Yang paling kuingat adalah ular-ular hitam raksasa dan gurita raksasa."

Mali paham. Monster-monster itulah yang ia dan Liveo hadapi di laut Sisi Buruk. Monster yang sama. Raja berpikir telah mengalahkan mereka, padahal mereka hanya terlempar ke dalam kerak menuju dunia lain. Terima kasih kepada raja ini, monster-monster mengerikan itu dengan senang hati bersarang di laut hitam Sisi Buruk, hampir saja membuat runtuh dinding kastel mereka.

Maria telah merapat kembali, duduk dengan anggun di bantalan kecil di sisi kursi takhta, selaiknya seorang selir yang obedien. "Saya selalu senang mendengarkan setiap cerita Yang Mulia."

"Aku pun selalu senang membagi ceritaku kepadamu, Maria!"

Mali meneguk segelas susu hangat, berlama-lama, mengecap manisnya yang tak pernah ada di Sisi Buruk. "Apakah kau punya cerita lainnya selain pembasmian monster laut, Rajaku?"

"Sejujurnya tidak ada, Mali!" Raja mengibaskan tangannya santai. "Cerita kepahlawananku sebagai protagonis hanya ketika menghabisi monster laut saja."

SEGREGATE (Mali & Liveo Story) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang