5. Wedang Jahe VS Antibiotik

4.2K 489 55
                                    

Kayak ditimpa beton kepala gue. Pening banget asli. Gue coba kondisiin penglihatan gue. Burem yang nutupin mata gue nggak lama. Di depan, gue liat rame bat orang natap gue cemas. Salah satu dari mereka, ya, Hayam Wuruk The Fak Boy.

"Ria, syukurlah kau tidak apa-apa. Kau masih hidup. Ku pikir, kau sudah tiada. Sungguh aku cemas memikirkan keadaanmu tadi." kata Hayam Wuruk, ngomongnya apa nggak di saring dulu, yak, nih orang. Congornya main nyeletuk aja, nggak di filter dulu. Gue iket pakek karet cabe, modar lu.

"Lemes amat mulu, lo! Tiada, tiada, pala lu yang tiada guna!" sembur gue emosi, mijit-mijit jidat karena masih kerasa pusing.

"Gusti Prabu, sebaiknya Nyisanak beristirahat dulu. Dia masih belum sepenuhnya sehat." sahut Kakek-kakek yang jenggotnya panjang. Bisa kali di bonding, saking panjangnya tuh jenggot.

"Benar perkataan dari Tabib Cangik, wahai Gusti Prabu. Biarkan wanita ini beristirahat sejenak. Memulihkan otaknya juga." kata Om Gajah Mada, kedengeran nyindir woi! Gue tau woi, gak budeg kuping gue! Gak dipenuhi kelabang juga gendang telinga gue, jadi gue tau lo lagi nyindir Om!

Bener-bener Om Gajah Mada. Congornya ngalahin virus Corona. Bapak-bapak, tapi mulutnya lemes minta ampun level jahannam. Kalah sindiran lo sama congor buibu komplek, coy! Tuh mulut lasnya kurang kenceng apa gimana? Butuh di bor juga kali yak?

Lagian, otak gue mana bisa dipulihin. Lah, otak aja nggak punya. Jujur kan gue? Lah, iya... Kata emak gue, jadilah orang yang senantiasa jujur agar hidup selalu mujur. Quetos andalan Mak gue tuh, kalo mulai waktu bayar duit sekolah. Takut bener perasaan duitnya gue kantongin setengah.

"Ta... Tapi temanku sudah benar-benar sehat? Kau menjamin benar hal itu, Tabib Cangik?" Dyah Nertaja ngedeketin gue. Bejek-bejek lengan gue, hampir mirip lah dengan tukang pijit. Bejekannya nggak sakit. Kalah sakit sama tolakan doi, vroohh!

"Tenang saja, Ndoro Putri. Teman Anda hanya butuh beristirahat." kata si Kakek layaknya Dokter di sinetron-sinetron.

"Lah terus? Obat gue mana?" tanya gue baru inget, belom dapet obat. Eh, btw, ini nggak bayar kan? Gue lupa bawa kartu BPJS soalnya.

Alis si kakek ngerut, "Obat?"

"Iya, obat. Kalau orang sakit, tentu di kasih obat, kan, Kakek yang berwibawa, ramah, dan tidak sombong."

Denger kata-kata terakhir gue yang muji-muji dia, nih Kakek keliatan cengar-cengir. Antara seneng atau malu gitu. Halah, baper kan lu, Kek, gue puji-puji. Dasar lo, Kek. Tua-tua keladi, makin tua makin menjadi.

"Oh, tentu. Obatmu sebentar lagi akan datang. Obatnya berupa seduhan jahe hangat yang di tumbuk dan di bakar di atas pasir."

"Hah, minuman apaan tuh? Wedang jahe yak?" gantian gue yang bingung sekarang.

Perasaan gue nggak enak. Dari penjelasan si Kakek tadi, kayaknya nih minuman bakalan aneh juga deh. Semua makanan dan minuman di sini aneh! Nggak ada yang cocok di lidah gue. Bisa-bisa lidah gue selonjoran lama-lama, karena makan dan minum aneh-aneh lagi.

Gue berdiri. Ngeliat gue berdiri, Nertaja langsung nahan tangan gue.

"Ricis, kau mau ke mana? Sudah di bilang tadi, kau harus banyak beristirahat biar tak lelah. Jikalau kau butuh apa-apa, para dayang yang akan membawanya."

"Benar perkataan Adikku, Ria. Duduklah dengan tenang." sahut Hayam Wuruk. Ikut-ikutan aja, lo! Maen nyambung sembarangan. Ingat, listrik mahal, mas bro!

Gue berdecak, "Lebay, kalian! Gue mau ambil obat di dalam tas, gak terlalu jauh melangkah juga."

Ucapan Nertaja yang barusan, gak gue gubris. Sabodo teing gue di cap cewek yang kurang ajar karena nggak nururin permintaan Putri Majapahit.

Antara Aku, Kamu, dan Waktu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang