#11 will i die after this?

40 3 0
                                    

"Terima kasih sudah mengantar."

Kutampilkan senyum termanisku sementara kulihat Taehyung merengut. "Terima kasih doang, nih? Aku tidak diajak mampir dulu? Aku kan juga mau main ke rumahmu sekali-sekali, Naree."

Aku masih tersenyum. Berusaha tak menampilkan ekspresi wajah yang berlebihan. "Tidak bisa, Tae. Kan sudah kubilang kalau ayahku itu..." kudekatkan bibirku di telinganya, "...galak."

Taehyung malah tersenyum. "Tidak apa-apa. Aku malah tertantang sekali mau bertemu ayahmu." Gantian dia yang mendekatkan bibirnya ke telingaku. "Kamu saja bisa kubuat luluh, apalagi ayahmu? Kami kan sama-sama lelaki. Pasti gampang akrab."

Aku menghela napas. Dia ini benar-benar membuatku hilang akal. Masalahnya aku tidak tahu siapa yang ada di rumah itu? Kalau Namjoon atau Kak Seokjin yang di sana, aku bisa mengatasi. Tapi kalau Paman Kim dan Bibi Kim... ah, tidak-tidak. Aku bisa mati.

"Pulanglah."

Kulayangkan senjata andalanku padanya. Tatapan memohon sambil melengkungkan bibir ke atas. Hampir dua bulan aku berpacaran dengan Taehyung, aku sudah paham sekali dengan kelemahannya. Dan itu semua ada padaku. Senyumku, tatapan sedihku—ah, bahagia sekali rasanya melihat wajahku ini ada gunanya. Ditambah lagi bisa membuat seorang Kim Taehyung jatuh hati. Keberuntungan sedang berpihak padaku.

"Iya sudah, oke. Aku pulang."

Mendengar kalimat yang Taehyung lontarkan membuatku tersenyum lebar. Taehyung mencubit pipiku sebentar sebelum keluar dari mobil dan membukakan pintunya untukku. Tak lupa, kubawa semua hadiah Taehyung yang tak pernah absen dia berikan padaku. Seperti biasa, barang-barang ber-merk. Herannya, kenapa dia tidak bangkrut-bangkrut padahal hampir setiap minggu—ah, tidak. Lebih tepatnya dua kali dalam seminggu ia mengajakku ke mal dan membelikanku ini-itu. Taehyung ini punya keturunan darah bangsawan atau apa?

"Nanti aku telepon."

Usai mengatakan itu, Taehyung melesat dengan mobilnya yang mahal. Kutenteng semua tas belanjaan yang lumayan berat ini menuju kafe. Sesampainya di sana, kuketuk ruangan anak nomor dua kesayangan keluarga Kim ini. Usai membuka pintu, ia tergeleng-geleng melihatku.

"Lagi?" tanyanya retorik.

Kutatap Namjoon agak malas menanggapi. "Sudah, ya. Jangan bertanya yang aneh-aneh. Aku mau kerja. Nanti si iblis Yoongi itu bisa marah-marah kalau aku lelet."

Semua berjalan seperti biasa. Kuakhiri kerja part time yang hanya sejam ini dengan napas lega. Jangan heran kenapa aku hanya mendapat jatah satu jam untuk pekerjaan ini. Ulah siapa lagi kalau bukan si Namjoon? Mentang-mentang bos, dia bisa seenaknya menentukan aku harus kerja di bagian apa, aku berangkat jam berapa, dan pulang jam berapa. Ya, walaupun kadang aku mendapat omelan Kak Yoongi karena terlambat. Tapi sumpah demi apapun, Namjoon ini baik sekali. Memarahi karyawan yang pernah menggosongkan makanan pesanan pelanggan saja ia tidak tega, bagaimana bisa dia memarahiku?

"You're my fucking best friend, Naree-ah. Aku tidak mau melihatmu kelelahan. Tapi tenang saja kau masih dapat gaji penuh, kok." Sepenggal kalimat Namjoon ketika aku melamar pekerjaan di kafenya.

Itulah kenapa sampai sekarang aku masih betah kerja di sini. Walau banyak di antara pegawai di sini tidak suka padaku karena mungkin aku terlihat lebih disayang sama si Namjoon atau  Kak Yoongi yang selalu skeptis dan galak padaku. But yeah, i don't care. Aku bukan tipe orang yang sibuk mendengarkan ocehan yang tidak penting.

"Namjon, aku pulang."

"Mau kuantar?"

"Tidak, aku masih mau hidup."

"Hey! Aku sudah punya SIM! Baru kemarin selesai cetak."

"Tetap saja. Aku masih sayang nyawaku. Terima kasih ajakan untuk ke alam bakanya, ya. Aku tidak tertarik. Dah!"

Kuputar leherku yang terasa sedikit pegal. Aku berjalan sedikit dari halte bus menuju rumah dengan langkah gontai. Belum lagi di tanganku ini ada banyak sekali barang belanjaan dari Taehyung. Rasanya pergelangan tanganku mau patah saja.

Sesampainya di depan rumah, mendadak salah satu tas belanjaan yang kubawa putus hingga membuat isinya tumpah. Jeruk-jeruk yang kubawa untuk Nara  berserakan di atas tanah. Kuletakkan tas belanjaanku yang lainnya lalu memunguti kembali jeruk yang sudah jatuh. Saat aku sibuk memasukkan jeruk itu ke dalam tas belanjaan yang lain, sebuah tangan terulur padaku bersama tiga buah jeruk di sana. Kuterima jeruk itu dan menunduk berterima kasih. Hingga ketika kepalaku terangkat untuk melihat siapa orangnya, mataku membeliak. Jantungku berdetak kencang sekali hingga rasanya sewaktu-waktu bisa meledak dan berhenti.

"Senang sekali bertemu denganmu lagi, Jung Naree."

Tidak. Jangan sekarang.

Terdengar bunyi blizt. Jungkook menyeringai di balik kameranya.

"Eonni!"

Tidak. Jangan Nara. Dia sama sekali tidak tahu apa-apa.

Jantungku semakin berdetak kencang ketika Jungkook kembali menyeringai. "Kau punya adik?" []

Jungkook's smirk is the worst thing that i've seen—Jung Naree

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jungkook's smirk is the worst thing that i've seen—Jung Naree

LatentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang