Kisah Kedua : Keindahan Bunga saat Senja

12 5 0
                                    

Aku kembali lagi ... ke tempat itu. Tapi kali ini, aku tidak bermaksud untuk pergi ke perpustakaan. Aku hanya melewati jalan menuju ke sana. Ada seseorang yang ingin kutemui.

Sudah kuduga, sosok itu sedang sendirian. Yang dilakukannya hanya memandangi aktivitas para murid di lapangan. Dia masih sama ...

Rambut pendeknya yang disisir rapi terlihat kecokelatan saat terkena sinar mentari. Mata cokelatnya yang indah bak gurun pasir terkesan dingin saat pertama kali bertemu dengannya. Kulitnya putih bagaikan susu. Wajahnya sangat imut, menurutku. Aku pikir, akan sangat indah ketika dia tersenyum.

Kalau diibaratkan dengan bunga, mungkin dia sudah menunjukkan keindahannya. Itulah yang pertama kali kupikirkan saat melihat parasnya.

Dia menatap ke arahku. Seketika, tubuhku langsung membeku dibuatnya.

Rasa ini lagi ...

"Hai lagi," katanya. Aku bisa melihat bibirnya menyunggingkan senyuman. Hal itu membuatku berdebar-debar tak karuan.

Kenapa ... ini selalu terjadi saat aku didekatnya?

Dia kembali menatap orang-orang, "Kau mau ke perpustakaan?"

Aku menggeleng. Aku mau bertemu denganmu.

Sunyi kemudian. Dia tidak mengatakan apa pun lagi. Dia hanya terus memandang ke depan. Sedangkan pandanganku terus mengarah padanya. Aku dapat melihat keramaian orang-orang terpantul lewat mata indahnya.

Aku suka saat bersamanya. Meskipun kita tidak bicara apapun, aku tak keberatan hanya diam dan terus menatapnya seperti ini.

"Kelasmu di mana?" dia mulai bertanya lagi.

"Um ... kelasku di—"

"Maaf, ya. Aku gak tau harus bersikap seperti apa pada orang yang baru kukenal."

Aku tersenyum. Dia berkata begitu ... padahal aku sendiri juga baru mengenalnya. Tapi, sepertinya memang agak aneh. Biasanya aku tidak nyaman saat berbicara dengan orang asing. Aku pasti akan mencari alasan untuk lari.

Kenapa, ya ...

"Kalau begitu ..." aku mengulurkan tanganku padanya. "bagaimana kalau kita berkenalan?"

~o0o~

Sialan! Apa aku ini sudah gila!? Apa-apaan coba yang aku bilang tadi itu ...

"Bagaimana kalau kita berkenalan?"

Seharusnya aku tau kalau dia merasa tak nyaman. Lagian, sejak kapan aku jadi akrab dan ramah begitu? Aku ini penakut, pengecut! Aku bahkan takut untuk punya teman. Tapi, tadi dia ...

Dia membalas uluranku dan kami mulai berjabat tangan. Dia tersenyum lembut, "Panggil aku Jerray."

Saat itu, rasanya aku akan meledak!

Aku memeluk bantalku dengan erat dan berguling-guling di kasur tidak jelas. Sungguh, pengalaman yang memalukan. Tapi, entah kenapa ... aku merasa senang.

Jadi, namanya Jerray. Sudah tiga hari sejak pertama kali aku berpapasan dengannya. Aku menyadari sesuatu. Dia pasti anak yang satu angkatan denganku, hanya saja kami beda kelas. Aku ingin mengenalnya lebih jauh lagi.

Karena aku tertarik padanya.

Hari berikutnya, aku berpapasan lagi dengan Jerray seperti biasanya. Dia selalu tersenyum padaku. Bagiku, dia adalah teman baikku yang kedua setelah Dynna. Disaat semua orang mengabaikan kehadiranku, dia justru bicara banyak denganku hari itu.

Kami semakin dekat satu sama lain. Tanpa kusadari, kedekatan itu membuat perubahan dalam kehidupan suramku.

Sore hari, setelah pulang sekolah, dia mengajakku ke taman. Sebuah taman bunga yang kira-kira berjarak tiga puluh meter dari sekolah. Entahlah ... Dia mengajakku tiba-tiba. Seakan tak mau menolak, hati dan tubuhku ini pun mengiyakan ajakannya. Saat itu, Jerray menunjukkan senyuman termanisnya. Hal itu membuat dadaku berdegup kencang.

Dan saat ini, di taman dekat sekolah ... Aku duduk bersebelahan dengannya di sebuah bangku.

"Kau suka bunga, kan?" tanyanya sambil memandang langit senja.

"Iya. Semua orang pasti suka."

Aku menundukkan kepala, canggung. Meskipun kami sering mengobrol di sekolah, tapi keadaan saat ini terasa berbeda. Seperti baru bertemu saja.

"Tau, gak? Bunga itu bisa mewakili sifat masing-masing orang, loh."

Bicaranya lancar sekali. Aku rasa dia tidak merasakan canggung sedikit pun. Aku ikuti sajalah arah pembicaraan ini.

"Eng ... gak," astaga, tiba-tiba aku jadi gugup.

"Oh? Aku kira kamu itu semacam ... Yah, pakar bunga gitu."

Aku tidak mengerti dia mau bicara apa. Tapi sepertinya dia menatap ke arahku sekarang.

Dia melanjutkan, "soalnya aku pernah liat kamu gambar bunga."

"Eh?" dia melihatku ... apa?

"Waktu itu di kelasmu ada pelajaran seni. Aku melihatmu duduk di paling pojok, loh."

D-dia melihatku!? Aku tidak menyadarinya. Tunggu, kapan itu, yah ...

"Sungguh? Darimana kamu tau kelasku?"

"Karena waktu itu kebetulan kelasku sedang jam kosong, aku keliling sebentar. Dan ternyata ketemu kelasmu," dia tertawa kecil, "kau terlihat sibuk menggambar, jadi tidak sadar kalau ada yang memerhatikanmu."

"O-oh ..."

"Kamu menggambar bunga bakung warna merah, kan? Bagus banget, loh! Besoknya aku mencoba menggambar bunga juga, tapi tidak sebagus gambaranmu, hehe ..."

"Uhm ..."

"Padahal teman sekelasmu yang lain hanya melukis pemandangan. Waktu itu aku lihat punyamu yang paling bersinar. Aku mau melakukan yang sebagus dirimu tapi tetap tidak bisa."

"..."

"Makanya aku pikir kamu suka bunga. Jadi, aku mengajakmu ke sini. Oh, iya, kalau benar hobimu itu menggambar, di sini banyak bunga yang bisa kau gambar atau kita bisa menggambar bersama— Eh!? Kau baik-baik saja? Kenapa mukamu jadi merah banget gitu? Kamu mendadak demam? Atau jangan-jangan kamu ini alergi bunga!? Wah, maafkan aku karena telah membawamu ke sini!"

Terkadang aku berpikir ... Ya ampun, dia ini laki-laki atau perempuan, sih? Ternyata dia juga bisa jadi cerewet seperti perempuan. Dia memujiku berlebihan. Benar-benar lucu.

Aku tidak bisa berhenti tertawa saat itu, sementara dia mengkhawatirkanku dengan tampang bocah yang imut. Aku merasa malu, tapi juga tidak dapat menahan tawa. Aku merasa ... bahagia. Kami berdua tetap di tempat itu hingga matahari terbenam, sambil melihat keindahan bunga-bunga mekar yang terhembus angin.

Jerray, terima kasih.

When the Flower BlossomsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang