Kisah Ketujuh : Pesan dari Sekuntum Tulip Ungu

6 6 2
                                    

"Ray!" panggilku pada seseorang yang sedang bercocok tanam di pinggir lapangan sekolah.

Orang itu menoleh saat ia merasa terpanggil. Dia menatapku dan tersenyum. Jarak kami memang cukup jauh. Jadi aku berjalan menghampirinya.

Dia memegang sebuah sekop kecil dan kedua tangannya ditutupi sarung tangan cokelat. Ini tidak seperti biasanya. Tumben Jerray ingin menggantikan tukang kebun sekolah untuk bercocok tanam.

"Ah, soal ini ... aku dihukum," seolah tau aku akan bertanya, dia sudah menjawabku lebih dulu.

"Eh? Kenapa kau dihukum?"

"Tadi pagi aku kesiangan," dia tersenyum pahit mengingatnya.

"Oh ..."

Aku menjawab seadanya karena aku begitu terpesona dengan macam-macam bunga yang tertanam di sana. Bunga dengan berbagai jenis dan warna, semuanya sengaja dikelompokkan. Mereka seperti pelangi dengan variasi dari tujuh warna.

Yang paling menarik perhatianku adalah bunga yang sedang ditanam oleh Jerray, bunga tulip ungu. Bentuk dan warnanya indah. Melihatnya, aku jadi teringat dengan makna dari bunga yang satu ini. Aku pernah membacanya di buku yang kupinjam dari perpustakaan sekolah.

Aku melirik ke arah bunga yang berasal dari Negara Belanda itu, kemudian beralih menatap Jerray yang sedang menanamnya. Entah kenapa, tiba-tiba dadaku berdegup kencang. Aku tau makna dari bunga itu. Saat aku memikirkannya, aku justru mengingat orang ini.

"Tulip ungu ..." kataku tanpa sadar. Jerray menatapku heran.

"Ah, benar. Ini bunga tulip. Indah, bukan?" katanya sambil tersenyum.

"Tau gak? Tulip ungu itu bisa berarti cinta pertama," jelasku. Entahlah, tiba-tiba aku mengatakannya begitu saja.

"Hee ..." Jerray menatap bunga yang baru saja dia tanam itu. Sepertinya pikirannya sedang melayang entah ke mana.

"Terkadang, seseorang memberikan bunga tulip ungu pada cinta pertamanya," lanjutku. "Selain untuk menyatakan perasaan, itu juga bisa berarti sebagai simbol."

"Jadi begitu," komentarnya dengan suara yang cukup pelan. Dia menundukkan kepalanya. "Memangnya semua bunga tulip punya makna sama, ya?"

"Tidak semua," jawabku. "Warna dari sebuah bunga berpengaruh besar pada maknanya, meskipun memiliki nama yang sama."

Aku tidak tau dia sedang memasang ekspresi seperti apa saat ini. Aku tak bisa melihat wajahnya karena dia menunduk begitu dalam, seperti sedang memikirkan sesuatu. Dia juga berhenti menanam bunga. Aku jadi penasaran. Apa dia baik-baik saja?

"Kamu tau banyak, ya," katanya. Entah mengapa aku merasa suaranya menjadi lebih lesu dari biasanya.

"Aku pernah baca di buku," balasku.

Jeda cukup panjang kemudian. Aku jadi khawatir. Apa aku baru saja mengatakan sesuatu yang salah?

" ... Jadi ingat seseorang," Jerray memandang langit dengan tatapan kosong.

"Hn?"

"Dia pernah memberiku bunga tulip ungu," nada bicaranya lebih mirip sebuah bisikan, tapi aku masih bisa mendengarnya.

Aku tidak mengerti apa maksudnya. Tapi entah kenapa aku mendadak jadi gelisah. Perasaanku tidak enak.

"Siapa? Adikmu?" tanyaku ragu-ragu, takut jika aku akan menghancurkan mood baiknya. Tapi kalau dipikir-pikir, apa memang benar cinta pertama dari seorang adik perempuan adalah kakak laki-lakinya?

"Bukan, tapi seorang gadis bernama Issa," jawabnya. Dia tersenyum tipis. "cewek yang pernah aku sukai ... dulu."

Aku sedikit terkejut mendengar jawabannya. Aku memang tidak tau siapa nama adiknya tapi sepertinya dia sedang membicarakan orang lain. Nada bicaranya tidak jauh beda seperti saat dia membicarakan tentang adiknya yang sudah meninggal.

When the Flower BlossomsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang