Kisah Pertama : Saat itu, Aku Menemukanmu.

25 6 2
                                    

Pagi itu, matahari menampakkan dirinya lagi untuk kesekian kalinya. Hari ini seharusnya bunga-bunga di taman bermekaran. Seharusnya anak-anak kampung yang ceria sedang berlarian sambil tertawa. Seharusnya para pekerja akan berangkat bahkan sebelum matahari itu terbit. Dan seharusnya, aku bangun dan pergi sekolah.

Seusai mandi, aku bergegas memakai seragam sekolahku, seragam SMP. Aku masihlah seorang gadis yang duduk di kelas tiga SMP. Tapi bagiku, aku sudah memulai banyak perubahan dalam hidupku selama lima belas tahun—selama aku hidup.

Aku menghabiskan dua buah roti isi. Sebenarnya, ini masih kurang. Aku sangat lapar karena belum makan apapun dari kemarin sore. Sama sekali tidak makan apapun. Kenalkan, aku adalah seorang pemalas tingkat tinggi yang bahkan malas untuk menjaga kesehatannya sendiri. Lagipula, siapa yang peduli?

Aku mengambil tasku dan bersiap untuk berangkat.

"Aku pergi dulu, ya!" bagitulah yang biasanya aku katakan saat sudah berdiri di depan pintu.

Tak ada jawaban. Ya. Tentu saja. Aku memang bodoh. Di rumah ini, kan, tidak ada orang.

"Hahaha ... Apa, sih, yang kuharapkan?" aku hanya bisa menertawakan diriku sendiri.

Miris sekali.

Hidupku miris sekali.

Tanpa berkata apapun lagi, aku menutup pintu dan menguncinya.

~o0o~

"Sudah dengar kabar tentang Issa?"

"Oh, aku tau. Katanya dia naksir sama anak dari klub voli, ya?"

"Beritanya cepat tersebar, kan? Habisnya, dia terang-terangan sekali, sih."

"Iya. Padahal anak voli itu, kan, udah jadian sama teman sekelasnya."

Gosip, gosip dan gosip. Meskipun bukan aku yang sedang dibicarakan, tapi aku muak mendengarnya. Setiap kali aku melewati gerombolan gadis alay di koridor, yang aku dengar hanya gosip yang bahkan tidak diketahui kebenarannya.

Apakah mereka sadar bahwa perbuatan mereka itu merupakan dosa? Bodoh sekali. Meskipun aku menegur mereka juga percuma. Manusia mana yang tidak tahan untuk melakukan sesuatu meskipun mereka tau itu dosa sekalipun?

Aku hanya perlu menutup mulutku rapat-rapat. Aku harus berpura-pura bahwa kedua telingaku tidak mendengar apapun. Ini juga dosa, tapi aku sudah tidak peduli lagi.

Aku kembali ke kelas. Sepertinya semua orang sedang sibuk mengobrol. Tak ada yang melihatku ... seperti biasanya. Aku melangkah ke tempatku dan duduk perlahan. Dari sini, aku hanya bisa menatap mereka semua tertawa bahagia ... tanpa diriku.

Tentu saja. Siapa yang membutuhkan sampah sepertiku? Lagipula, aku tak terlihat di kelas ini. Mereka menganggapku seperti hantu. Hidupku benar-benar miris.

Tapi, meskipun berada dalam situasi seperti ini ...

"Woy!" seseorang menepuk pundakku dari belakang dan dengan reflek aku menoleh. "Jangan murung begitu, dong. Ini masih pagi, tau!"

Orang ini adalah satu-satunya makhluk yang mengakui keberadaanku. Dia mau bicara denganku, bahkan tidak peduli dengan perkataan teman-temannya yang tidak suka aku. Bisa kubilang, dia satu-satunya temanku di kelas ini. Dynna, seorang gadis baik hati yang bagaikan malaikat.

Setiap kali Dynna menyapaku, aku merasa cahaya suci terpancarkan darinya. Terlalu silau. Apa aku terlalu berlebihan? Tapi inilah yang kupikirkan. Dia benar-benar seperti malaikat. Tidak heran dia dikelilingi oleh orang-orang yang menginginkan berkah darinya—maksudku, tidak heran dia punya banyak teman.

~o0o~

... Kesedihan, kepedihan, rasa sakit akan kehilangan.

Pada akhirnya semua tidak jauh beda dengan kelopak bunga yang berguguran.

Ketika harapan dan keinginan itu sirna,

Saat itulah bunga-bunga akan menjatuhkan bebannya.

Demi mengakhiri hidupnya tanpa penderitaan lagi,

Dengan cara menghapus keindahannya sendiri.

"Puisimu hebat. Maknanya sungguh dalam sekali. Kau boleh duduk."

Aku duduk kembali ke kursiku setelah membacakan puisi singkat yang telah kubuat. Saat itu, aku berpikir ... Hanya guru dan Dynna yang mau mengakui kehadiranku di kelas ini. Tapi, aku tidak yakin kalau mereka akan memahami puisiku.

Giliranku baru saja selesai. Pastinya aku yang terakhir. Jam pelajaran Sastra Bahasa pun turut berakhir bersamaan dengan itu.

"Mau ikut ke kantin?" tawar Dynna padaku saat istirahat.

Aku menggeleng, "Aku harus mengembalikkan beberapa buku ke perpustakaan."

"Kamu ini ... selalu saja meminjam banyak buku. Itu pasti berat, kan? Mau kubantu?"

Sudah kuduga gadis ini adalah malaikat.

"Ng ... nggak usah, deh."

Tanpa basa-basi lagi, aku berlari mendahului Dynna. Menuju perpustakaan.

Aku benar-benar pembohong. Aku hanya tidak ingin bersama Dynna terus-menerus. Aku tidak bisa. Dunia kami berbeda. Dia punya banyak teman sedangkan aku tidak. Kalau aku bersamanya, aku pasti hanya akan mengganggu persahabatan mereka.

Tidak ada yang suka padaku, kan?

Aku tidak ingin membuat Dynna membenci teman-temannya karena aku. Atau mungkin, aku tidak ingin Dynna membenciku karena teman-temannya tidak suka padaku? Kurasa, aku tidak ingin keduanya.

Aku berjalan sendirian diantara keramaian orang-orang di koridor. Tak ada yang mengenalku, tak ada yang mau menyapaku. Yah, lagipula aku tak butuh mereka. Aku tidak pernah peduli dengan orang-orang sekitarku. Karena itulah aku tidak punya teman.

Tapi, saat itu, untuk pertama kalinya ...

Aku baru saja berpapasan dengan seseorang yang berjalan ke arah yang berlawanan denganku. Untuk pertama kalinya, aku merasakan sebuah dorongan. Sebuah dorongan untuk memusatkan perhatianku pada sosok itu. Langkahku pun terhenti.

Akhirnya, aku menemukanmu.

Saat itu, aku merasa seperti magnet yang telah—secara tiba-tiba— menemukan kutub berlawanan. Berlawanan, namun dapat saling menarik satu sama lain. Buktinya, sosok itu pun berhenti dan menoleh ke arahku.

Untuk sesaat, aku merasa jarak di antara kita berdua semakin menipis, meskipun di tengah keramaian. Aku merasa dia berdiri sangat dekat di depanku. Aku merasa ... hanya ada aku dan dia di dunia ini.

Aku sudah mencarimu ... bahkan sebelum aku lahir.

Untuk pertama kalinya, pandangan kita berdua bertemu. Saat itulah awal dari pertemuan kita.

When the Flower BlossomsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang