Aku dilemma. Aku bingung harus pulang ke rumah atau berbelanja lebih dulu. Aku sudah tidak punya cadangan makanan untuk makan malam nanti. Di sisi lain, aku tidak bisa berhenti memikirkan Jerray. Dia bilang ingin ke rumahku, tapi dia bahkan tidak tau alamat rumahku.
Bagaimana kalau secara kebetulan dia tau rumahku dan sudah ada di sana menungguku pulang? Tapi kurasa itu tidak mungkin. Aku tidak ingat pernah memberitau letak rumahku padanya.
Pada akhirnya aku hanya bisa berjalan dengan murung melewati jalur yang biasa kulalui. Aku pulang saja, pikirku. Namun di tengah jalan, aku berhenti sebentar menatap kosong ke arah warung kecil yang sedang buka itu. Pandanganku pun menuju ke satu tempat.
Warung itu menjual mie instant. Sepertinya lumayan untuk makan malam.
Setelah berbelanja di warung itu, aku melanjutkan perjalananku menuju rumah. Seharusnya tidak lama lagi aku akan sampai. Aku terus berjalan sambil manatap suasana kota yang tidak terlalu ramai saat senja.
Warna langit sore terkadang mengingatkan aku saat berada di taman bunga bersama Jerray. Aku hanya bisa tersenyum saat mengingatnya. Akan kujadikan itu kenangan yang berharga.
Akhirnya aku tiba di depan rumah. Tapi, aku melihat sosok lelaki yang seumuran denganku berdiri di depan pintu rumahku. Tunggu, lelaki?
Aku mendekatinya. Rupanya dia juga dari sekolah yang sama denganku, aku tau dari seragamnya yang belum diganti itu. Yang lebih mengejutkanku adalah fakta bahwa sosok itu ternyata adalah Jerray!
"Yo!" sapanya saat menyadari kedatanganku.
"Eh?"
~o0o~
Aku tidak mengerti bagaimana dia bisa berada di sana. Apa jangan-jangan dia sudah lama menungguku? Padahal aku tidak bisa menemukannya saat di sekolah. Yang lebih penting, darimana dia bisa tau alamat rumahku?
Aku mengajaknya masuk dan sekarang dia sedang duduk di sofa di ruang tamu. Canggung. Ini tak jauh beda dari saat kami di taman bunga. Saat itu juga sepulang sekolah.
Aku sudah membuat dua cangkir teh dan menyajikannya. Dia hanya meminumnya dalam keheningan. Sejak tadi, tidak ada diantara kami yang ingin membuka suara. Sampai akhirnya dia terkekeh pelan.
"Kenapa diam saja? Kamu lagi kedatangan tamu, loh," katanya sambil tersenyum ke arahku.
Aku tidak pernah kedatangan tamu sebelumnya. Namun, dengan inisiatif aku langsung membuatkan teh, entah kenapa. Aku tak tau lagi harus berkata apa.
"Ngomong-ngomong, tehnya enak!" komentarnya.
"Baguslah kalau kau suka ..." jawabku pelan.
Aku harap aku tidak membuatya bosan.
"Hei, kau mau bertanya banyak, kan? Ayolah, tidak usah canggung," dia memasang wajah datar.
Memang benar aku punya beberapa pertanyaan. Tapi, berada di dekatnya seperti ini membuatku kehilangan kata-kata. Aku kagum dia bisa bersikap sesantai itu sementara aku tengah gugup dibuatnya.
"Ah, iya. Darimana kamu tau rumahku?" aku pun memulainya dari pertanyaan yang sangat membuatku penasaran. Aku ingat betul bahwa aku tidak pernah satu kali pun memberitau alamat rumahku pada orang lain.
"Soal itu ... aku tau dari teman sekelasmu itu," jawabnya.
Aneh. Aku tidak pernah memberitau alamat rumahku bahkan pada teman sekelasku sendiri.
"Siapa?"
"Kalau tidak salah namanya Dynna."
Hah? Memangnya Dynna tau rumahku darimana— Ah, benar juga, dia ketua kelas. Dia adalah gadis malaikat yang telah ditakdirkan sebagai pemimpin di kelasku. Dia seperti mengetahui letak rumah semua orang yang ada di kelas. Tapi, aku tak menyangka kalau dia mengingat nama jalan rumahku, meskipun tidak pernah datang ke sini.
Sudah tidak heran jika seorang ketua kelas tau alamat rumah, tanggal lahir, bahkan nama orang tua dari para budaknya—maksudku, teman-temannya yang lain.
"Oh."
"Sudah kuduga balasannya sesimpel itu," keluhnya.
Maaf, Jerray. Aku hanya malas bicara. Aku akan menjawab seadanya setelah selesai menyimpulkan sesuatu.
"Lalu, aku harus membalas seperti apa?" tanyaku.
"Lupakan," dia mengibaskan sebelah tangannya. "Sebenarnya aku datang ke sini karena ada yang mau kubicarakan."
"Apa itu?"
"Ehm, gimana bilangnya, ya ..." dia mendadak gugup. Aku tak mengerti ekspresinya saat ini.
"Bilang aja."
Hal inilah yang membuatku penasaran. Ekspresi itu ... ekspresi yang pertama kali kulihat dari seorang Jerray. Kupikir dia adalah seorang yang dingin yang selalu menghadapi segala hal dengan santai. Ternyata dia bisa jadi gugup juga.
Entah kenapa dia terlihat manis.
"Pertama-tama, kedatanganku ini tidak mengganggu, kan?" dia bertanya sambil mengalihkan pandangannya ke arah meja.
"Tidak. Tenang saja, aku tinggal sendirian," jawabku sambil menatapnya datar.
"Begini ..." dia mulai menjelaskan. "Sebenarnya, aku ..."
Kata-katanya terhenti. Aku penasaran, jadi aku menatap sedikit ke wajahnya. Sorot matanya seperti terpaku pada sesuatu yang ada di atas meja. Aku mengikuti ke arah pandangannya.
Di meja ini hanya ada dua cangkir teh. Yang satu sudah kosong karena telah diminum oleh Jerray. Selain kedua cangkir itu, ada bunga anyelir merah muda yang diletakkan dalam vas berisi air. Kurasa dia sedang menatap itu. Tapi, apa yang menarik dari bunga itu? Cuma hiasan.
"Woah! Kamu mencurinya dari sekolah, ya!?" katanya tiba-tiba sambil menunjuk ke arah bunga anyelir itu.
"Enak saja!"
Duh, kenapa malah membahas hal lain, sih?
"Masa iya? Ini mirip sama yang ada di depan gerbang sekolah, loh."
"Bukan! Mungkin kelihatan sama, tapi ini bunga yang berbeda!"
Seolah baru terbangun dari tidur, aku mulai menyadari sesuatu. Kenapa dia baru sadar sekarang kalau ada bunga anyelir di atas meja itu?
Orang ini ... Dia mencoba mengganti topik, ya ...?
KAMU SEDANG MEMBACA
When the Flower Blossoms
Teen FictionKetika bunga bermekaran, apakah ia akan menunjukkan keindahan atau penderitaannya selama ini? Lima tahun yang lalu, seorang gadis penyendiri jatuh cinta dengan bunga terindah. Tanpa ia sadari, bunga yang paling indah itu memiliki masa lalu yang pen...