BAB 4

5 0 0
                                    

"Kenapa suka ngelukis?"

Kinara tiba-tiba datang menghampiri Wayang yang tengah asyik dengan kanvas dan juga kuas di tangannya.

"Menurut saya, lukisan itu seperti media untuk menyimpan kenangan. Media yang paling indah untuk menyimpannya"

Kinara hanya mengangguk-angguk, tidak bertanya lebih lanjut lagi.

"Kamu punya hal yang kamu sukai?" tanya Wayang tanpa menoleh ke arah Kinara. Tangannya masih fokus dengan warna-warna yang ia cipratkan pada karya lukisnya itu.

"Aku suka jadi pusat perhatian. Dan semua itu bisa aku dapatkan saat aku menari"

"Menari?" tanya Wayang.

Kinara mengangguk. Ia ayunkan tangannya perlahan.

"Aku suka membuat gerakan-gerakan dengan tanganku ini. Kata Langit, tanganku cantik" ujar Kinara.

"Dan satu lagi, aku juga suka baca puisi. I'll show you soon" Kinara kembali menambahkan.

Wayang hanya mengangguk-angguk setuju. Keduanya kembali terdiam dengan pikiran masing-masing. Alit kembali fokus dengan lukisan yang sedang ia buat, dan Kinara masih setia melihat ke arah lukisan itu.

"Kenapa anak ini keliatan sedih. Dan siapa orang-orang di belakangnya ini?" tanya Kinara menunjuk ke arah lukisan Wayang.

"Gimana kamu tahu anak ini sedang sedih? Saya gak menggambarkan ekspresi wajahnya" ujar Wayang dengan wajah keheranan.

"Tangannya, tubuhnya, dan kepalanya yang mendongak ke atas, itu semua udah menggambarkan bagaimana putus asanya dia. Bener gak?"

Mendengar ucapan Kinara, Wayang tidak dapat menahan senyumnya. Dan ini adalah kedua kalinya dalam hari ini Wayang kembali tersenyum pada Kinara.

"Kamu mengingatkan saya sama seseorang yang saya kenal" ujar Wayang.

Kinara hanya mengernyit heran,

"Siapa?" tanyanya pada Wayang.

"Ibu saya. Dia selalu menjadi orang pertama yang pasti paham dengan apa yang saya lukis"

"Kalau kamu merasa harus kembali, kamu harus kembali. Jangan terus mencari alasan sehingga kamu menjadi semakin berat untuk pergi. Cukup yakin dan lakukan" ujar Kina seolah paham apa yang sebenarnya menjadi dilema bagi Wayang saat ini.

"Maka itu berarti saya harus meninggalkan mimpi saya ini?" ujar Wayang kembali pada Kinara.

"Gak perlu ditinggalkan. Kalau memang melukis adalah jodoh kamu, dia pasti akan terus mendekati kamu sejauh apapun kamu pergi dan sesulit apapun tantangan yang harus kamu hadapi. Kamu bilang, melukis membuat kamu mencintainya tanpa harus diminta. Jadi aku yakin, kalau lukisan bisa berbicara, dia gak akan mau membuat yang mencintainya harus menyakiti orang lain yang juga mencintainya hanya demi dia"

"Mengorbankan keluarga itu bukanlah suatu tindakan yang dibenarkan, entah dari sisi manapun kamu melihatnya Yang,"

Kuas dari tangan Wayang terlepas begitu saja. Keheningan tiba-tiba muncul tepat setelah ucapan Kinara pada Wayang.

"Kamu lihat langit itu. Segelap dan semenakutkan apapun langit, bulan, bintang, matahari, awan, dan semua yang berada di langit tetap datang. Kamu tahu karena apa? karena itulah takdir mereka. Bersama selamanya. Mereka berjodoh. Langit mencintai mereka, dan mereka mencintai langit." Kinara mengakhiri ucapannya sembari melihat langit di ujung jendela ruangan itu, dan sukses membuat Wayang terdiam.

Lagi-lagi Wayang tatap wajah Kinara seraya tersenyum. Kinara pun kembali membalas senyuman itu.

"Aku yakin, kamu bisa menyatukan pertentangan mimpi dan keluargamu ini tanpa harus mengorbankan salah satunya. Aku akan jadi orang pertama yang menjamin ucapan ini"

Persimpangan KisahWhere stories live. Discover now