Bencana (1)

3.9K 100 3
                                    

Hai para Readers yang Budiman🌹
Ini cerita pertama Del🍃
Enjoy and happy reading🍂

***

“Kehidupan tak selalu berjalan sesuai keinginan.”

**

“Papa udah gila!”

Plak!

Sebuah tamparan yang cukup keras mendarat di pipiku. Rasanya tidak hanya wajah yang memanas, tetapi hatiku juga. Lelaki paruh baya yang menyandang nama sebagai papa itu menatapku tajam. Seolah ingin membunuhku saat ini juga. 

“Kamu tidak usah ikut campur urusan papa!” bentaknya.

“Kenapa? Kenapa aku gak boleh ikut campur? Biar papa bisa bebas sama pelacur kecilnya papa itu?" teriakku dengan emosi yang sudah tak terkontrol.

Plak!

Tamparan kedua sukses membuat tubuhku terhuyung, saking kerasnya, tetapi bukan dari papa. Melainkan, gadis bodoh yang telah menghancurkan keluargaku itu yang mengayunkan tangannya. Mirisnya, papa hanya diam saja dan sama sekali tidak membelaku.

Aku menyeringai. “Kenapa? Emang bener, kan? Lo itu cuman pelacur kecil yang bodoh!”

“Jaga ucapanmu, Rara!” Bentakan papa kembali terdengar.

“Aku benci sama papa!” Kuhentakkan kaki dan berlari meninggalkan rumah. 

***

Kutatap sebuah pondok yang tidak begitu besar di hadapanku, dari depan hanya terlihat seperti sebuah asrama yang dihuni beberapa orang saja, tampak tenang dan sepi. 

Rasanya sangat menyakitkan. Di usiaku yang masih belia, aku harus merasakan penderitaan ini. Papaku berselingkuh dengan sahabat, kakak meninggal karena kecelakaan dan mama terkurung di pondok yang katanya bisa menyembuhkannya dari gangguan jiwa. Rasanya hidup seperti tak berpihak sama sekali padaku.

“Mbak Rara?” Sapaan lembut seorang wanita berseragam perawat membuyarkan lamunanku.

“Iya, Mbak Dayu. Maaf nggak ngabarin dulu, aku mau ketemu mama, bisa?” tanyaku padanya. Dia adalah satu-satunya perawat yang paling sabar menangani mama.

“Ah, tentu saja, bisa. Kebetulan beliau sedang dalam keadaan tenang. Jadi bisa dijenguk. Mari ikut saya,” kata Mbak Dayu, kemudian ia mengantarku ke sebuah ruangan.

Kami masuk dan mendapati mama sedang duduk di kursi rodanya memeluk sebuah boneka. Ia menatap kosong ke depan. Bahkan, seperti tidak menyadari kehadiranku dan Mbak Dayu.

“Ma,” panggilku lirih.

Mama bergeming. Seolah-olah aku tidak pernah ada di sana dan memanggilnya. Wanita yang amat kucintai itu tiba-tiba terisak.

“Mama,” panggilku lagi. Perlahan-lahan, kucoba mendekatinya.

Tiba-tiba mama menoleh dan berteriak histeris. “Pergi kamu!”

Aku menundukkan kepala menahan genangan air mata di pelupuk agar tidak terjatuh, sedangkan mbak dayu berusaha menenangkan mama. Mama terus berteriak dan melemparkan apapun yang ada di sekitarnya ke arahku.

“Ini Rara, Ma,” gumamku hampir menyerupai bisikan.

“Pergi! Pergi kamu! Saya benci sama kamu!”

Dengan cepat aku berbalik dan berlari keluar.

Aku sudah tidak tahan mendengar teriakan dan isak tangis atas luka yang mama simpan sendiri.

Semakin hari, keadaan mama semakin tidak stabil. Sedangkan papa, semakin gila wanita.

Entah apa yang ada di dalam otak papa, melihat istrinya seperti ini, bisa-bisanya ia bercumbu dengan wanita lain. Terlebih itu adalah sahabatku sendiri. Dia adalah teman sekolahku, teman main serta teman bercerita. Dan kenapa gadis sepintar Tamara mau jadi selingkuhan papa?

Kepalaku berdentum hebat, seolah otak sedang berdisko di dalam sana. Apa yang harus kulakukan. Bagaimana hidupku sekarang. Bahkan, aku tak punya siapapun yang bisa melindungi dan membantuku.

Berkali-kali kuusap kasar air mata yang tanpa permisi menerobos turun membasahi pipi.

Aku benci papa, Tamara dan dunia ini.

Aku benci semua orang yang hanya menatapku dengan wajah kasian tanpa peduli apa yang kurasakan. Aku benar-benar lelah.

Ingin rasanya kuakhiri hidupku, haruskah?

***

Berdiri di atas sebuah jembatan dengan sungai air deras serta bebatuan curam adalah hal paling bodoh yang kulakukan, setidaknya itu jika otakku masih berjalan normal dan waras. Namun kini keadaannya berbeda, aku sedang berada di ambang antara keraguan dan keputusasaan. Harapan dan impianku sudah hancur. Keluarga yang kucintai tak lagi seharmonis dulu.

Aku memejamkan mata, memperkuat tekat dalam hati untuk mengakhiri hidupku.

satu!

dua!

ti ...

Grep!

Sebuah cekalan tangan menarik tubuhku menjauh dari jembatan itu. Sejenak aku bernapas lega, tenyata ada juga manusia yang peduli dengan keadaanku. Tuhan sangat menyayangiku, tetapi pikiran baikku seketika tercemar saat mendengar suara gadis yang beberapa jam yang lalu menamparku.

“Lo mau mengakhiri hidup lo? Hm. Terlalu mudah ya, Ra? gue pikir Lo kuat,” ejeknya dengan tatapan meremehkan yang membuatku ingin mencekiknya saat ini juga.

Dia adalah Tamara. Sahabat sekaligus pacar papaku. Gadis ular yang berhasil menghancurkan keluargaku. Ironisnya, aku mau saja dulu bersahabat dengan gadis seperti dia. Mengingat hal itu membuat darahku berdesir, kepalaku memanas dengan amarah.

“Ngapain lagi lo di sini? Belum puas lo hancurin hidup gue?” bentakku. Emosi yang sudah meluap-luap sejak beberapa jam yang lalu kini tak mampu terbendung lagi.

"Hahaha. Gimana rasanya? Bokap lo tergila-gila sama gue, kakak lo mampus karena kecelakaan dan nyokap lo ketawa-ketawa sendiri karena gila? Enak?"

“Lo!” Aku mendesis. Jika saja aku bisa, sekarang pasti sudah kutendang masuk sungai gadis sebayaku ini. Sayangnya aku tidak seberani itu. Jika papa tau, dia pasti akan menghukumku lagi. Mungkin membunuhku saat itu juga, karena sepertinya Tamara jauh lebih berarti sekarang bagi papa. Dibanding diriku yang notabenenya adalah putrinya sendiri.

“Gue harap, lo masih punya nyali buat pulang dan selesaikan masalah lo sama Mas Romi.”

Aku berdecih, dia bahkan sudah berani memanggil papaku dengan sebutan 'Mas'. Sungguh menjijikkan. Usianya baru 16 tahun, sama sepertiku, tetapi jiwa pelakornya sudah sangat kental dan tidak terelakkan.

“Jangan harap, lo akan dapetin apa yang lo mau! Gue akan rebut kembali hak gue!” desisku sembari berlalu pergi meninggalkannya.

Tok! tok! tok!

Aku mengetuk pintu dengan perasaan was-was. Aku hanya berharap papa tidak ada di rumah sekarang. Jadi, aku tidak perlu berhadapan dengannya. Setelah pertengkaran tadi rasanya menjadi agak takut dengan papa.

“Non Rara?” Bi Imah tampak terkejut melihatku berdiri di ambang pintu. Pasalnya, saat aku meninggalkan rumah tadi, Bi Imah sedang pergi ke pasar.

“Papa di rumah, Bi?” tanyaku sembari celingukan.

“Tidak, Non. Sepertinya pulang larut lagi, mungkin ke kantor.”

“Bagus, masih banyak waktu untuk bikin rencana,” kataku membawa Bi Imah duduk di sofa.

“Rencana apa, Non?” tanya Bi kalah semangatnya depalimgnku.

Aku menyeringai.

Aku tak tau mulai dari mana, tetapi aku pasti akan berusaha mencari cara untuk menyingkirkan lintah seperti Tamara.

***

TBC
Nah, ada yang suka sama ceritanya?
Jangan lupa tinggalkan jejak💐
Masih sangat membutuhkan kritik dan saran🍁
Tararengkyu🌾

Sahabatku Istri Muda Papaku (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang