Luka (3)

1.3K 66 1
                                    

Hai🌺 Kembali lagi sama Dell 🌸
Ada yang kangen sama Rara and Tamara?

Enjoy and happy reading!

*

**

Keesokan harinya, aku terbangun tengah malam. Rasa haus mau tak mau membuatku bangkit menuju dapur. Langkahku terhenti saat melihat seseorang sedang tertawa-tawa di dapur. Ia tampak menuang segelas air dan menambahkan beberapa obat di dalamnya.

Mataku terbelalak. Dia adalah Tamara. Obat itu pasti untuk papa.

“Mau apa Lo!” sentakku sembari mengambil dan melempar gelas berisi air itu ke lantai hingga menimbulkan suara gaduh.

Ia tampak terkejut menatapku. Sedetik kemudian wajahnya kembali datar.

“Gue mau bunuh bokap lo!”

“Lo!” desisku.

“Gue gak butuh lagi tua bangka itu!” katanya.

Plak!

Tamparan kerasku mendarat di pipi mulusnya.

“Beraninya, Lo!” desisnya.

Tamara menyeringai. Membuat aku semakin geram. Tiba-tiba ia menarik tangan dan menyeretku menuju kamar papa.

“Ada apa, sayang?” tanya Papa bingung.

“Ini, nih mas. Anak kesayangan kamu! Mau celakain kamu! Dia buang obat kamu!”

“Buang obatku?”

“Iya, mas!”

Aku berusaha menjelaskan. “Enggak, Pa. Ini gak bener, dia bilang ....” Ucapanku terpotong

“KELUAR KAMU!” bentak papa.

“Tapi ....”

“Saya tidak menyangka sebenci itu kamu sama saya. Sampai-sampai kamu ingin membunuh papa kamu sendiri, Rara! Pergi kamu dari rumah ini,” ucap papa memalingkan wajahnya.

Air mata turun membasahi pipi. “Pa, Rara ....”

“Pergi kamu dari sini! Saya menyesal punya anak seperti kamu!” teriaknya lagi.

“Pa, ini gak seperti yang papa pikirkan,” kataku lirih diikuti isak tangis

"Keluar! Aarrrggghhh!" Papa memegangi dadanya. Dengan panik aku berusaha membantu, tetapi sentakan tangan papa membuatku terpaku.Tiba-tiba Tamara menyeretku.

“Lepasin gue, gue mau di sini jagain papa!” teriakku sembari meronta-ronta.

“Cuma ada dalam mimpi lo!” seru tamara mendorongku keluar dan menutup pintu kamar papa dengan kasar.

Aku kembali ke kamar. Dengan segenap kekuatan kutahan air mata. Harus apa sekarang. Tiba-tiba ponselku bergetar. Nomor baru.

“Halo?” sapaku.

“Halo, Non Rara. Ini saya Bi Imah,” sahut seseorang di seberang.

“Bi Imah, bibi di mana? Kenapa bibi tinggalin aku?” Aku mulai terisak.

Bi Imah terdengar menghela napas. “Non, bibi udah di kampung. Karena Tamara itu, bibi dipulangkan. Tapi Non harus tau, dia punya rencana jahat. Dia mencampurkan beberapa obat tambahan yang akan memperburuk keadaan tuan,” jelasnya.

“Tapi papa benci sama Rara, Bi.”

"Non, gak ada orang tua benci sama anaknya. Tuan cuma emosi dan terbawa omongan Tamara saja. Non harus kuat, jangan menyerah."

“Tapi ....”

“Non Rara gadis baik hati dan kuat,” kata Bi Imah kemudian.

Aku memejamkan mata sejenak. Berusaha menguatkan hati. Semoga saja aku bisa. Akan kukuliti hidup-hidup Tamara jika berani menyakiti papa.

Kami pun mengobrol cukup lama. Hingga akhirnya ia pamit untuk mengurus cucunya.

Aku menatap kosong jendela kamarku. Tiba-tiba perasaan rindu akan sosok mama mengusik ketenangan hatiku. Mama pergi, sekarang papa pun merasa menyesal memiliki anak seperti aku. Apa gunanya aku hidup sekarang.

Terdengar suara mobil keluar gerbang. Tamara pasti sedang pergi. Aku akan menemui papa untuk menjelaskan semuanya dan meminta maaf. Mungkin saja kemarin papa hanya emosi sesaat.

Krek! 

Papa menoleh dan menatapku tajam.

“Apa?” kata papa ketus.

“Pa, papa salah faham.”

“Salah faham apa? Benar kata mamimu, Andra itu tidak baik untukmu. Dia sudah berani menyembunyikanmu, bahkan saat papa sakit dan tamara ke sana untuk memberitahumu, mereka tidak mengizinkanmu menemui mamimu sendiri.” Dahiku mengernyit, seingatku Tamara tidak pernah datang. “Dia juga tidak sopan, bahkan karena dia juga kamu sudah berani melawan bahkan hampir membunuh papa,” lanjutnya.

“Pa! Andra nggak kayak gitu, Andra ....”

“Cukup! Papa tidak butuh penjelasan kamu! Lebih baik kamu pergi! Papa benci sama kamu!”

Aku berlari keluar. Air mata sudah lolos berjatuhan. Kukemasi barang-barangku. Rumah ini memang atas namaku, tetapi aku tidak bisa di sini sekarang. Aku memilih ke rumah Andra. 

Kuketuk pintu rumah Andra. Cowok itu keluar dan menatapku khawatir.

“Ada apa, sayang?”

Aku tidak menjawab. Hanya isak tangis yang menjelaskan semuanya.

**

Keesokan harinya, aku berangkat pagi-pagi ke Bandung bersama Andra. Makam mama adalah tujuan utamaku. Lalu ke rumah Mbak Dayu. Aku juga sangat merindukannya.

Setelah menempuh beberapa jam perjalanan, kami sampai di makam. Kutatap gundukan tanah dengan batu nisan bertulisan nama mama. Aku sangat merindukannya.

“Ma, Rara kangen,” ucapku lirih. Air mata menggenang di pelupuk mataku.

“Ma, Rara udah lama nggak sekolah. Mama jangan marah, ya?” kataku bermonolog lagi. Andra hanya diam.

“Ma, Papa benci sama Rara. Mama jangan benci Rara juga, ya? Rara udah gak punya siapa-siapa lagi, Mama ninggalin Rara. Kak Rafa juga pergi. Sekarang papa benci dan mau ninggalin Rara.” Aku semakin terisak. Andra menarikku dalam dekapannya.

“Ndra aku udah nggak punya siapa-siapa. Gak ada yang sayang sama aku, semua orang ninggalin aku, semua ....”

“Sstttt! Lo punya gue.”

Selepas dari makam, kami ke rumah Mbak Dayu. Seperti biasa, wanita berparas cantik dengan hijab itu menyambut kami dengan ramah.

“Mbak Rara.” Mbak Dayu memelukku dengan hangat lalu tersenyum ke arah Andra. “Setia banget ya, temennya ini. Kemana-mana dikawal,” godanya sembari mengurai pelukan kami.

“Pacar, Mbak,” celetuk Andra membuat pipiku bersemu.

“Ah, ternyata sudah diresmikan. Hehehe.” Kami pun tertawa.

“Nanti menginap, kan?” tanya Mbak Dayu kemudian. Aku tersenyum dan mengangguk. 

**

TBC
Jangan lupa follow my Ig @Edelweis.01_

Sahabatku Istri Muda Papaku (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang