Menikah Lagi (1)

1.5K 63 0
                                    

Hai🌺 Kembali lagi sama Dell 🌸
Ada yang kangen sama Rara and Tamara?
Enjoy and happy reading!

***

“Bahagia adalah saat keluarga saling menyayangi, bukan menyakiti.”

**

Semalam tidur larut dan hari ini harus bangun pagi-pagi membuat rasa kantuk lebih mendominasi.

Aku menguap lagi, entah sudah ke berapa kalinya. Rasanya malas sekali untuk bangun. Jika bukan karena nenek sihir itu terus menggedor pintu kamar diiringi suara dibuat-buat yang membuatku mual seketika, aku tidak akan bangun sepagi ini.

Kulangkahkan kaki menuruni satu demi satu anak tangga. Sesampainya di lantai bawah, kuhampiri papa dan gadis gila itu di meja makan. Papa sudah rapi dengan kemeja serta jas kerjanya dan duduk di salah satu kursi. Di sampingnya, Tamara bersikap sok lembut, dengan suara dibuat-buat menyiapkan sarapan untuk papa.

Kuperhatikan dengan seksama wajah papa. Sepertinya, sudah tidak ada kemarahan dari sorot matanya. Justru hanya senyum dan sapaan selamat pagi yang kudapat. Begitu hangat.

“Rara mau sarapan roti pake selai apa, sayang?” Pertanyaan sok baik itu lagi-lagi kudengar. Rasanya aku ingin muntah. Menjijikkan. Terlebih lagi dia memanggilku 'sayang'. Sungguh tidak tahu malu.

“Gue bisa ambil sendiri!” kataku ketus.

“Rara, hormati calon mami kamu. Dia sudah berusaha menyiapkan sarapan untukmu,” kata papa sembari menatap tajam ke arahku. Aku tak peduli.

“Aduh, Pa. Santai aja dong! Cuma roti selai doang siapapun juga bisa bikin! Lagian bi imah kemana? Kok dia yang siapin sarapan, apa sekarang dia mau gantiin kerjaan bi imah?” ejekku.

“Rara!”

“Udah mas, aku gak apa-apa, kok. Kalo Rara nggak mau, gapapa. Mungkin Rara pengen nyiapin sarapannya sendiri, dia kan mandiri,” sahut Tamara. Huek! Aku benar-benar ingin muntah. Benar-benar berbakat menjadi jalang, ternyata.

Ku ambil beberapa lembar roti lalu mengolesinya dengan selai cokelat dan kacang.

“Mas,” panggil Tamara menyentuh lengan papa. Jika saja aku bisa, pasti sudah kutepis jari-jari kotor yang menyentuh papa itu.

“Iya, Sayang.”

“Katanya mau ngomong sama Rara,” ucapnya masih dengan nada sok lembut. Papa mengangguk dan menoleh ke arahku.

“Apa?” sahutku malas.

“Minggu depan papa akan menikahi Tamara.”

Brak!

What?

Apalagi ini? Papa benar-benar gila!

Mataku memanas, telinga berdengung, hatiku sakit seperti tertikam duri. “Omong kosong apa lagi ini, Pa?” ujarku menatap papa dan Tamara sinis.

“Papa akan tetap menikahi Tamara, dengan atau tanpa persetujuan kamu!” kata papa dingin dan melanjutkan makannya seolah ini adalah masalah kecil.

“Papa jahat!” teriakku histeris dan berlari menuju kamar.

Mama masih hidup, bahkan sedang sakit! Dan apa tadi, papa akan menikahi pelacur sialan itu. Papa benar-benar sudah tidak waras!

Airmata yang tadi mati-matian kutahan, kini luruh juga.

“Mama, Rara harus gimana?” gumamku lirih.

***

Tiga jam sudah aku menangis.

Aku masih tidak percaya dengan apa yang terjadi dalam hidupku. Terlebih hidup mama.

Kuterawang  jauh kenangan sebelum semua bencana ini datang dalam hidupku. Aku adalah anak kesayangan keluarga ini, dicintai oleh Rafael dan dibanggakan oleh mama. Sedangkan papa selalu melontarkan lelucon serta ejekan untuk membuatku memberengut kesal. Semuanya semakin melukai hatiku. Ingatan itu membunuhku.

Kupandang foto mama di dinding. “Semua pasti terasa berat buat mama,” gumamku lirih.

Aku memejamkan mata, mengingat bagaimana semua ini bisa terjadi pada mama.

Bukan secara kebetulan mama mengalami gangguan jiwa.

Semua berasal dari dua tahun lalu, saat mama dengan mengandung adikku. Ya, aku akan memiliki adik. Mama sangat bahagia begitupun papa, aku dan Rafa.

Kami menanti kehadiran si kecil dengan suka cita, menjaga mama dengan seluruh jiwa raga. Hingga suatu insiden terjadi, mama kecelakaan dan menyebabkannya keguguran. Mama kehilangan bayinya. Aku dan Rafa kehilangan calon adik kami.

Belum genap sebulan mama kehilangan belahan jiwanya, papa pulang membawa Tamara, itu membuat mama murka dan terjadi pertangkaran hebat antara mereka. Mama sangat kalut dan terluka. Belum luka itu sembuh. Tepatnya lima bulan setelahnya, Rafa kecelakaan. Mobilnya terguling, bahkan jasadnya tidak ditemukan. Sejak saat itu psikis mama semakin terganggu.

Akhirnya, kuputuskan membawa mama ke pondok di mana mama dirawat kemarin. Menyisakan aku sendirian di rumah sebesar ini dan terjebak dengan gadis gila itu, sekarang.

“Mama, Rara pengen memutar ulang waktu,” kataku lirih. Lagi-lagi air mata menetes di pipi.

Aku tertidur dan bangun saat hari sudah hampir petang. Rasanya perutku sangat lapar. Mengingat aku hanya sarapan tadi pagi, itu pun tidak kuhabiskan lantaran pembahasan bodoh yang membuatku menangis selama berjam-jam.

Kepalaku terasa pening.

Aku segera bangkit dan turun untuk makan. Jika tidak, aku bisa mati kelaparan. Ah, jangan dulu. Nanti kalo aku mati mama gak ada yang jaga.

Aku celingukan mencari Bi Imah di segala penjuru dapur, tetapi wanita paruh baya itu tidak terlihat sama sekali. Tidak biasa-biasanya di jam-jam begini Bi Imah hilang bak di telan bumi. Eh.

Kucari di taman belakang, biasanya Bi Imah akan mencabut rumput di taman belakang jika tidak ada pekerjaan lain. Tetapi, tetap saja tidak ada tanda-tanda beliau di sana. Saat aku hendak berbalik, terdengar suara minta tolong dari gudang belakang. Dengan takut-takut kulangkahkan kaki ke sana, berusaha mendobrak pintu yang sepertinya terkunci.

Brak!

Pintu terbuka secara paksa sebab ulahku.

“Bibi!” pekikku terkejut. Bi Imah menghampiriku tergopoh-gopoh.

“Untung Non datang,” ucapnya, terlihat kelegaan yang luar biasa dari sorot matanya. Wajah dan tubuhnya tampak kotor. Bi Imah pasti ketakutan di dalam ruangan yang gelap dan kotor ini. Benar-benar! Siapapun yang menyakiti wanita di depanku ini akan kubuat perkedel!

“Siapa yang lakuin ini sama bibi?” tanyaku tak sabar, ingin kupites saja orang yang berani-beraninya hampir melukai Bi Imah.

“Tamara, Non.”

“Beraninya ... Dia!” desisku. Amarah sudah di ambang batas. Setelah semua rencana busuknya, sekarang apa lagi?

“Dia bilang akan bunuh bibi, kalo bibi nggak segera resign dari rumah ini,” jelas Bi Imah.

Aku berdecih. Memangnya dia siapa?

“Bibi mau resign?”

“Ndak non, saya yakin gadis ular itu cuma memanfaatkan Tuan. Kalo saya tinggalin Non Rara sendirian nanti dia seneng.”

Aku menghela napas lega. Setidaknya masih ada orang-orang baik yang mau membantuku.

Aku berhambur memeluk Bi Imah dengan rasa haru. Namun, suara menganggu yang berasal dari perutku membuat kami tertawa.

***

TBC

Nah, belum baper yaaa🥀
Jangan lupa tinggalkan jejak yaaa...
Follow juga Ig @Edelweis.01_

Sahabatku Istri Muda Papaku (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang