•01•

8 1 0
                                        

"Takdir itu misterius.
Contohnya, ia memerintahkan semesta untuk mempertemukanmu denganku.
Di saat aku hampir tidak bisa lagi menahan semuanya."

***

"I'm gonna miss you, Tha."

"Mee too, Nath."

Kedua remaja itu berpelukan erat di depan pintu Bandar Udara Internasional Los Angles. Hari ini, Agatha akan kembali ke tanah kelahirannya, Indonesia. Perusahaan ayahnya di Amerika yang 5 tahun lalu sempat mengalami krisis karena korupsi yang dilakukan salah satu karyawannya sudah kembali stabil. Jadi, sudah tidak ada alasan Agatha dan keluarganya tinggal lebih lama lagi di negeri Paman Sam itu. Sudah ada Putra--suami April, kakak Agatha--yang mengurus perusahan ayahnya di sini.

Pelukan Nathalie dan Agatha harus terlepas ketika terdengar pengumuman pesawat yang akan ditumpangi keluarga Agatha akan segera lepas landas. Agatha menyeret kopernya, melambaikan tangan pada sahabatnya selama 5 tahun di Amerika.

Agatha selalu suka bangku di dekat jendela, rasanya seolah ia terbang sungguhan bukan di pesawat. Ia mengeluarkan earphone dari dalam tas dan memakainya. Mengalunlah lagu dari penyanyi favoritnya, Shawn Mendes.

Beberapa menit kemudian, ia sudah benar-benar tidak menginjakkan kakinya lagi di tanah Amerika.

***

"Res, katanya bakalan ada murid baru di kelas."

Ares menoleh, "Terus?"

"Cakep katanya, pindahan dari Amerika."

"Oh."

Revolt melemparkan bantal sofa yang sedang dipeluknya, tentu saja dengan cepat di tangkis oleh Ares. Cowok itu menatap sang pelaku dengan tajam.

"Oh doang?"

"Terus gue harus apa?" tanya Ares malas.

"Aish au ah terang." Revolt kembali melanjutkan kegiatan stalking nya pada instagram si murid baru.

Rey dan Arion tertawa melihatnya, "Ya lagian, lo ngebahas soal cewek ke Ares. Mana tertarik dia," ujar Arion di sela tawanya.

Ares meringis dan melemparkan bantal yang tadi ditangkisnya pada Arion, "Omongan lo seolah gue belok."

Dan suara tawa semakin menggema di kelas yang sepi itu, selain Ares tentu saja, ia hanya menggelengkan kepalanya, tidak habis pikir mengapa ia bisa betah berteman dengan ketiga orang itu sejak lama.

Ares tidak belok tentu saja, ia masih lurus. Cowok itu hanya malas berurusan dengan hal yang menurutnya sia-sia dan hanya membuang tenaga saja.

Selain itu, Ares sudah kehilangan rasa percayanya pada segala hal bertajuk 'cinta' itu hal tabu menurutnya. Padahal usianya sebentar lagi menginjak 17 tahun, usia yang seharusnya sedang dimabuk asmara.

Ares bisa saja menunjuk salah satu gadis untuk menjadi kekasihnya, maka dengan cepat orang itu akan bersedia. Bagaimana tidak? Ares adalah paket lengkap visual cowok idaman. Selain sifat dingin dan kata-katanya yang terkadang menusuk hati, seluruh bagian cowok itu sempurna.

"Balik, yok, udah sepi keknya," ajak Revolt setelah melihat jam di pergelangan tangannya.

Sekedar informasi, mereka sedang berada di kelas kosong dekat gudang yang mereka cap sebagai milik mereka. Ares dkk sudah berada di sana sejak jam pelajaran pertama di mulai, alis bolos seharian. Kecuali Rey, cowok itu baru datang saat jam istirahat, pergi lagi saat bel masuk berbunyi, kemudian kembali datang saat bel pulang.

Setidaknya ia masih memiliki teman yang waras, pikir Ares.

"Eh, anak baru itu namanya Agatha. Bagus anjir namanya," celoten Revolt. Cowok itu masih sibuk membaca gosip hangat digroup kelas.

***

"Kamu Agatha, kan? Ayo, saya akan antar kamu ke kelas. Saya wali kelas kamu, panggil aja Bu Avery."

Agatha tersenyum ramah, dan mengikuti Bu Avery berjalan di koridor. "Iya, terimakasih, bu. Maaf saya jadi ngerepotin."

"Nggak, kok, santai aja. Kalau butuh bantuan jangan sungkan sampaikan ke ibu."

"AREYESA BERHENTI KAMU!!"

Agatha dan Bu Avery menoleh saat mendengar teriakan dari belakang. Seorang siswa berlari melewati mereka, Agatha sempat sekilas bersitatap dengan cowok tersebut sebelum dengan cepat cowok itu menghilang di belokan koridor.

"Astaga, Bu Indah."

Kesadaran Agatha kembali, ia menatap wanita yang tadi berteriak sambil mengejar Ares sedang dibantu untuk duduk di kursi koridor. Gadis itu terkejut melihat Bu Indah ternyata sedang hamil besar. Bisa-bisanya cowok tadi mengajak seorang wanita yang tengah hamil besar berlari sambil membawa pengaris kayu panjang.

Agatha menghampiri kedua guru tersebut, "Ibu gak pa-pa?"

Bu Indah mendongak, "Oh, kamu Agatha, ya? Murid pindahan itu? Iya saya gak pa-pa."

Agatha tersenyum hangat lalu mengangguk.

"Ibu apa apa ngejar Ares tadi?" tanya Bu Avery sambil turut duduk di samping Bu Indah.

"Ibu kayak gak tahu tingkah anak itu saja. Dia tadi ketahuan merokok di taman belakang. Pas saya panggil dia malah lari dan jadi kejar-kejaran seperti tadi."

Bu Avery terkekeh, "Ibu seharusnya gak usah ngejar Ares. Tahu sendiri mustahil ngejar mantan atlet lari, apalagi keadaan ibu lagi hamil besar gini."

"Saya gak ngerti lagi sama anak itu, jangan sampai anak saya kayak gitu," ucap Bu Indah sambil mengelur perutnya. "Cerdas dan ganteng, sih, tapi kelakuannya begajulan kayak gitu. Gak habis pikir saya."

"Namanya juga remaja, bu. Maafin anak saya ya, bu, saya juga kadang pusing sendiri sebagai wali kelasnya. Absen Ares bolong-bolong gitu."

Bu Indah mengangguk-anggukkan kepalanya, "Ibu harus punya kesabaran ekstra ngadepin yang modelan Ares."

Agatha tidak tahu harus bagaimana, jadi ia hanya berdiri diam menyimak pembicaraan kedua guru tersebut. Ia juga tidak tahu kelasnya dimana, Bu Avery belum memberitahunya.

"Ah, yasudah, saya harus ke kelas, bu," ujar Bu Avery akhirnya.

Bu Indah tersenyum dan mengangguk. Agatha mencium punggung tangan wanita itu lalu mengekor Bu Avery menuju kelas barunya.

***

Hope you guys enjoying this story.

Don't forget voment, happy weekend, and see you next time.

With luv,
Ren

ARESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang