15

2.5K 440 194
                                    

Mungkin karena gegananya sedang tak putih, Jimin menjadi enggan mengelus hatinya sendiri agar lebih lembut lagi. Mungkin karena yang ia saksikan hanya air mata langit yang jatuhnya dengan ukuran lebih besar, ia menjadi menemukan teman berbagi sesak. Jimin merasa hidup di antara gumpal-gumpal gegana yang abu-abu dan menangis, ia seolah sedang menitipkan banyak kecewanya pada bulir yang terjun dari angkasa tersebut.

Namun Jimin malah lupa, kalau air hujannya tidak mati meski telah dilemparkan dari ketinggian yang tak bisa ia ukur. Mereka membentur bentala dan menjadi lebih hidup setelahnya. Mereka bertemu bersama rintik lain, menyatu, kemudian mereka hidup dengan eksistensi yang lebih besar dan penuhi daratan yang kemarau.

Di dalam mobilnya, Jimin saksikan rintik itu jatuh dan tak lama menjadi kubangan di jalan-jalan. Mereka banyak dan kotor. Ia menjadi semakin tak terkendali ketika menemukan satu pesan segera muncul di baris notifikasi ponselnya yang terkunci.

Min Yoongi
Aku sudah tiba di lokasi. Kau sudah sampai mana?

Lelaki itu pegang setir kuat-kuat, ia cekik sisi-sisinya dengan sengaja dan berharap dapat salurkan kemarahannya yang ditahan sejak lama. Belum pernah ia memiliki keinginan sekuat ini untuk tutup akses hidup seseorang. Namun kalimat yang Hyunji berikan pada telinganya terakhir kali menjadi kata kunci yang direka berulang-ulang kali setiap ia memejamkan mata.

Dia tidak ingin mengandung anak dariku lagi. Dari fakta itulah, Jimin menjadi semakin lupa pada kenyataan tentang siapa dirinya yang asli. Padahal, ia hanya suami yang mengulurkan awal dengan kesalahan. Ia tawarkan sebuah hidup yang lebih manis dan tak berharap imbal. Namun, kini rupanya Jimin tak lagi mau menjadi korban untuk kali kedua oleh sosok yang lagi-lagi sama. Ini bukan tentang harga diri dan kekalahan. Jimin telah menemukan perasaannya, hatinya, serta hidupnya dalam diri Hyunji. Lebih dari itu, kini mereka telah memiliki buah hati yang menuntut tanggung jawab dari dua sisi; dirinya dan juga Hyunji. Baginya, dua hal tersebut telah lebih dari cukup untuk menjadi alasan mengapa kini dirinya harus mengakhiri kisah rumit yang memorak-porandakan keluarganya sendiri.

Dua puluh menitnya habis dan Jimin tersadar bahwa kemarahannya benar-benar telah membawa dirinya pada halaman parkir yang sempit. Isi kepalanya menjadi saling berteriak, dan Jimin mulai bergerak serabutan untuk melepas pelukan sabuk pengaman dan bekapan lambung mobilnya sendiri. Ia turun, kemudian menerima pukulan tetes air-air langit di atas kepalanya. Lupakan soal hujan dan potensi tubuhnya yang akan basah, Jimin lebih senang jika dirinya mulai agak berlari menuju tempat Yoongi menunggu dirinya.

Membuka pintu kedai dan timbulkan gemerincing ringan, Jimin lekas-lekas liarkan pandangan ke seluruh pengunjung sebelum menemukan Yoongi tengah duduk di tengah-tengah ruangan sembari menatapi dirinya. Si Brengsek itu, bisa-bisanya dia memandang dengan santai seperti itu?

“Kalau melihat raut wajahmu. Kutebak kau sudah menahan diri mati-matian untuk tidak memukulku di tengah keramaian.” Yoongi sambut perjumpaan itu dengan terkaan.

Jimin kembangkan senyum  secara paksa sebelum keluarkan vokalnya. “Halo, Yoon. Sudah lama, ya.”

Ada dua pasang iris yang pancarkan dua sorot berbeda, dan tentu hanya milik Jimin yang simpan angkara. Dalam waktu yang menyebalkan itu, keduanya juga enggan memulai dengan basa-basi. Baik Jimin maupun Yoongi pun telah sama-sama tahu ke mana seharusnya pertemuan ini berarah. Maka setelah Yoongi menyodorkan kopi yang dia pesankan sebelumnya, keduanya lantas segera memutuskan untuk memulai percakapan.

“Kebetulan aku malas bertanya, jadi kau bisa langsung katakan saja tujuanmu mengajakku bertemu.”

Jimin sunggingkan satu senyum yang ia tarik sebelah sisi, “Kau seharusnya lebih cerdas memprediksi apa tujuanku mengajakmu bertemu di sini.”

LABIRYNTH ESCAPE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang