17

2.4K 452 202
                                    

Jimin selalu ingin menjadi peran yang baik-baik saja. Seperti apa pun keadaannya, dia hanya berharap bahwa hatinya masih terbentuk dengan utuh. Tentu saja, memangnya laki-laki harus selembek apa? Namun meski begitu, memang apa salahnya dari berduka dan menuruti kemauan hati untuk menangis sejenak? Untuk bersedih? Jelas-jelas lelaki jugalah manusia.

Namun Jimin sadar bahwa dirinya sudah tak lagi sederhana. Kini dia bukan lagi seorang laki-laki, tetapi juga seorang suami dan seorang ayah. Bagaimana bisa menuruti hatinya yang melankolis padahal ada tiga kepala yang bercermin kepadanya? Meski fakta bahwa terus berpretensi hanya akan berakhir menyakiti dirinya dengan lebih terniat lagi. Memang apa gunanya itu selagi Jimin dapat membuat istri serta kedua anaknya merasa nyaman dan bahagia?

Istri?

Jimin membuang napas dengan pelan. Dipandanginya punggung Hyunji yang terlihat lebih kecil di bawah temaram binar lampu tidur. Dia tahu bahwa malam ini bukan hanya dirinya yang tak dapat tidur. Barangkali meski Hyunji berusaha keras untuk lelap dan tinggalkan dirinya sekali lagi di atas dunia, Jimin tahu bahwa perempuan itu sama tak tenang seperti dirinya.

Napas Hyunji masih belum teratur, bahkan beberapa kali perempuan itu melakukan gerak ringan dan sangat pelan. Seolah menjaga agar mata Jimin tak menangkap kegusaran yang barangkali juga masih bermain-main di dalam kepala Hyunji. Jimin ingin tahu, mengapa istrinya menjadi lebih tak banyak bicara setelah tiba di kantor siang tadi? Jimin ingin tahu, mengapa istrinya menjadi lebih gelisah meski mereka kini hanya berdua saja di rumah? Ah, tidak. Tentu saja ada Hyuk dan Bae di kamar sebelah. Selain itu, Jimin juga memprediksi sesuatu, apakah istrinya menjadi seperti ini setelah tahu bahwa dirinya telah bertemu dengan Yoongi? Apa itu alasannya?

Sialnya, Jimin lagi-lagi hanya diam. Dia sibuk meneliti punggung polos Hyunji yang malam ini hanya digelayuti piyama dengan tali tipis sebagai ganti serat lengan. Memastikan sekali lagi bahwa pada jam setengah satu dini hari itu, mereka berdua masih sama-sama memutuskan untuk mengaktifkan pikiran alih-alih menjadi pemilik mimpi dalam lelap mereka.

"Butuh pelukan, Ji?" tawar Jimin akhirnya dengan lirih. Ada banyak masa ketika dia kembali memberanikan diri mengutarakan niatnya dan menerima penolakan seperti biasa. Setidaknya, Jimin telah siap hingga akhirnya Hyunji bergerak sekali lagi sebelum menjawab dengan lebih lirih.

"Kau sendiri, sedang butuh tidak?"

Sungguh sial sebab ketika Jimin pelan-pelan menarik senyum, dadanya mulai bertingkah tak masuk akal lagi. Seolah memang ini jawaban yang ingin dirinya dengar sejak dua bulan terakhir. Dan faktanya memang begitu. Kemudian yang Jimin lakukan setelah itu hanya mengulurkan tangan, meraih tubuh Hyunji yang sumpah sangat-sangat lebih kecil ukurannya daripada saat dia peluk banyak-banyak dulu.

Untuk lima detik setelahnya, Jimin hanya merasakan otot-otot tubuh Hyunji menegang di balik sentuhan kulit-kulitnya. Dia biarkan itu juga. Kini yang penuhi kepalanya hanya kelembutan epidermis Hyunji serta aroma perempuan itu yang tak bosan ia ciumi.

Menghitung diam-diam dalam hati, memutuskan kecil-kecil bahwa Jimin akan melepas pelukan ini dalam waktu tak lama lagi jika Hyunji belum mau tenang dalam sesi rengkuh malam ini, rupanya gagal ketika perempuan di depannya justru membalik posisi tubuh, dan kini mereka memiliki lebih banyak kesempatan untuk memandangi wajah satu sama lain dengan lebih leluasa.

Oh, Tuhan. Berapa lama aku tak menatap wajah Hyunji sedekat ini?

"Aku sedari tadi melihat jam." Ini adalah vokal Hyunji, dan Jimin belum membuka suara sebab dia melihat istrinya belum mengusaikan kalimatnya dengan benar. "Kemudian bertanya-tanya, kenapa hela napas pria di belakangku belum mereda dan tenang? Kenapa pria di belakangku masih belum juga tidur?"

LABIRYNTH ESCAPE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang