05

3.3K 580 346
                                    

Ujung sigaret itu masih menyala, lebih merah ketika Jimin menyesap pangkalnya. Udara sejuk dini hari kembali memeluk daksanya yang hanya terbungkus kaus tipis. Ia memperhatikan kembali kedamaian tirta kolam yang seolah beriak terfriksi cahaya rembulan. Sejujurnya, Jimin menantikan hujan. Akan terasa lebih lengkap kegundahannya jika hujan pun ikut menangis bersama afeksi-afeksinya yang tumpah dan patah.

Itu akan lebih baik. Begitu pikirnya.

Jika saja Jimin memiliki teman, untuk menemaninya. Atau mungkin hanya sekedar menjadi pendengar setia dari segala pikiran subal yang bercokol dalam kepalanya. Tentu saja itu akan lebih baik, sebab Jimin tidak akan merasa sesempit itu ketika hendak meraup hawa tak sehat dini hari seperti itu. Lalu, apa lagi yang harus Jimin lakukan selain memagut mesra setum nikotin untuk bergabung dan mengendap di dalam paru-parunya?

Padahal, sesungguhnya, hanya membutuhkan sedikit kewarasan dari masalah ini, dan secuil keberanian dari Jimin untuk memulai percakapan yang baik dengan Hyunji. Sayang sekali, sebab dirinya juga tidak sesuci itu untuk menyalahkan istrinya. Bukankah ia juga telah melakukan hubungan kotor selama beberapa jam dengan Sohyun? Bagaimana caranya menegur, sedang dirinya sendiri juga tidak loyal?

"Serius?" Satu suara kembali memergoki kesepian lelaki itu. "Papa di sini lagi?"

Jimin menjauhkan sigaret dari belah labiumnya kemudian menggerakkan kepala untuk mencari presensi sosok mungil yang kini membawa gelas berisi cairan putih; susu.

"Ya, kau menangkap basah papa lagi."

Hyuk tidak menjawab. Anak lelaki itu memanen langkah menuju ke arahnya. Jimin mengembungkan dada sebelum membuang tumpukan karbon bebannya pada udara. Menjauhkan puntung rokok kemudian menjulurkan tangan, ia meraih putranya yang tampak mengantuk dengan rambut asal-asalan.

"Mimpi buruk, Jagoan?" sapa Jimin lebih dulu ketika Hyuk berhasil duduk di atas pahanya.

Bocah itu menggeleng sebagai jawaban, kemudian menyahuti suaranya dengan desibel berkuriositas tinggi, "Papa boleh merokok." Tangan mungil itu menjangkau puntung sigaret yang diletakkan pada bagian pinggir cangkir kopi. "Hanya untuk malam ini."

Jimin tersenyum menolak rokok yang Hyuk berikan, meletakkan kembali pada meja setelah membunuh  ujung baranya. Hyuk mengikuti pergerakan ayahnya dengan dua obsidian yang penasaran, hendak bertanya, namun sang ayah lebih dulu menjeda, "Hyuk kenapa bangun?"

"Papa sendiri kenapa tidak tidur?"

"Eum... jika papa bilang ingin bicara dengan bulan. Apa Hyuk akan percaya pada papa?" tanya Jimin sembari menatap dua pipi bulat milik putranya.

Hyuk mengerjap beberapa kali, hingga pada sekon ke empat menanggapi dengan nada cilik, "Bulan bisa bicara, Pa?"

Jimin mengukir kurva tipis di bibir, tangannya berpindah pada bagian punggung Hyuk dan memberi usapan pelan di sana. "Tidak," katanya. "Papa hanya sedang ingin merokok."

"Kata Ibu Guru, kalau ada masalah, laki-laki biasanya suka merokok. Papa ada masalah, ya?"

Jimin tersenyum tipis, menoel hidung bocah lelakinya sebelum memperlihatkan barisan gigi-giginya yang agak tidak rapi. "Orang dewasa selalu punya masalah. Tapi mereka selalu punya jalan keluar untuk melewati hal itu. Nanti Hyuk juga tahu sendiri, kok."

"Orang-orang dewasa selalu begitu." Hyuk mengeluh sebelum meraih gelas susu kemudian mencuri isinya, memindahkan pada lambung. "Jangan jadi rumit, Pa. Hyuk takut."

Jimin mengerutkan kening sembari menatap intens pada wajah kenyal milik anaknya. Pantulan air kolam berkilau selama beberapa saat sebelum akhirnya memudar dan hilang dari ujung pandangan Jimin.

LABIRYNTH ESCAPE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang