제 1 장

24 2 0
                                    


Bab 1



Jeng jeng...!
Akhirnya, bagian satu rilis juga.. Semoga bisa menghilangkan jenuh kalian para pembaca ya gaes...
Sedikit catatan, bagian dengan posisi italic berarti dalam sudut pandang masa lampau yah 😊

Happy Reading..!
😄😄


_

Na Ahrin menyisir rambutnya ke belakang menggunakan jemarinya saat helaian rambut hitam itu menutupi pandangannya yang sedang fokus pada majalah yang membahas perihal perhiasan. Menilik salah satu jenis harta yang terpajang di dalam sebuah lembar kertas. Membaca dengan seksama penjelasan yang ada di bagian bawah. Sebuah cincin dengan satu permata menonjol di bagian tengahnya. Terlihat sangat mewah ketika permata itu mengeluarkan pantulan cahaya. Sebuah benda yang memiliki tujuh digit euro untuk harga satu buahnya. Benda yang hanya di peruntukkan pada orang-orang dengan pendapatan di atas rata-rata. Dan Ahrin yang berada di luar kubangan orang-orang seperti itu hanya bisa tersenyum dan menggeleng kecil. Ahrin hanya mencoba mencari tahu tentang keunikan dan keunggulan dari benda-benda berharga selangit itu, yang tak lain hanya untuk memenuhi kebutuhan projek webtoon terbarunya. Ahrin membutuhkan penjelasan mendalam tentang aksesoris mewah yang tidak ia pahami asal pembuatannya.

Biasanya, Ahrin datang langsung ke tempat pembuatan untuk melihat dan meneliti langsung cara pembuatan ataupun perancangannya. Tapi kali ini berbeda. Hal yang ingin Ahrin korek lebih dalam adalah sebuah perhiasan. Dan di Eropa, Ahrin tidak mengetahui banyak tempat. Selain itu, ini juga di luar jalurnya. Karena biasanya Ahrin hanya mengorek masalah yang awam seperti makanan, suatu tempat bersejarah, masalah medis, ataupun lainnya. Dimana semua itu adalah hal-hal yang bisa ia cari tahu dengan mudah hanya dengan datang langsung ke lokasi. Lain halnya dengan perhiasan yang memiliki proses cukup rumit. Selain itu, Ahrin juga memiliki informan sendiri untuk mengatasi hal-hal yang tidak bisa ia lakukan sendiri seperti ini. Jadi Ahrin hanya tinggal menunggu sambil memperdalam pengetahuannya melalui majalah dan lainnya.

Lelah dengan semua kalimat dan gambar di majalah, Ahrin meletakkan benda itu ke atas meja kecil yang ada di hadapannya, di samping buku sketsa yang sekaligus ia jadikan diary. Mengalihkan pandangannya ke jendela untuk menikmati pemandangan awan yang terlihat selembut permen kapas. Jika saja di ijinkan membuka jendela itu, ingin sekali rasanya Ahrin menjulurkan tangannya untuk menggapai benda alam berwarna putih tersebut. Senyum kecil lantas muncul di wajahnya kala memori manis masa lalunya terngiang.

_
Ahrin masih sibuk menggambar pada buku sketsa pemberian sang ayah di balkon kamarnya saat adik laki-lakinya menghampiri. Bocah kecil itu memegang permen kapas di sebelah tangannya, sementara tangan yang lain membawa botol yoghurt untuk di berikan pada Ahrin. Anak itu duduk di sisi sang kakak dan memperhatikan gambar yang masih setengah jadi.

“Noona, ini apa?” tanya anak itu dengan nada khas seorang bocah lima tahun, “Siapa yang sedang kau gambar? Apa dia temanmu?”

Ahrin tersenyum lembut sambil mengusap rambut lebat adiknya, “Bukan. Dia adalah pria yang ada di dalam imajinasiku.”

Sang adik hanya menatapnya bingung. Tampak sekali ia tidak mengerti maksud perkataan sang kakak. Sementara dia juga tidak mengenal sosok yang di ada dalam buku sketsa.

Sekali lagi Ahrin tertawa kecil sambil mengacak rambut adiknya, “Dari mana kau mendapat permen itu?”

“Ah, ini? Ibu baru saja pulang dari pasar dan membelikanku ini. Noona mau?” tanya adiknya dengan wajah berbinar.

“Tidak, untukmu saja. Tapi ingat, sebelum tidur harus gosok gigi supaya gigimu tidak sakit nanti, oke?”

Adiknya mengangguk patuh. Sedikit demi sedikit jemari mungilnya menyobek permen berwarna merah muda itu dan memasukkannya ke dalam mulut.

“Noona...”

“Em?”

“Apa awan itu juga seperti permen ini? Manis dan lembut?” tanya anak itu sembari tangannya menunjuk ke arah langit, dimana sebuah awan putih menggumpal menyerupai gumpalan abstrak permen kapas di tangannya.

Ahrin tentu saja terkekeh geli. Sejak dulu ia juga penasaran tentang awan yang sering bergerak mengikuti arah angin dan sering kali menutupi sinar mentari, “Geusae... Aku juga penasaran. Bagaimana rasanya awan?”

“Mereka pasti lembut ‘kan? Lihat! Bentuk mereka hampir sama,” kata pria kecil di sisi Ahrin sambil menjunjung tinggi permen kapasnya agar tampak sejajar dengan awan di langit.

“Wah... Kau benar. Mereka terlihat sama. Mungkin kau juga benar, bahwa awan selembut dan semanis permen ini,” Ahrin menambahi bumbu pada kegembiraan sang adik kesayangannya.

“Benar ‘kan?”

Tawa renyah menyelimuti keduanya untuk sesaat. Membuat suasana menjadi lebih hangat nan ramai.

“Suatu saat nanti, aku akan mengajak Appa dan Eomma naik pesawat agar aku bisa menyentuhnya,” ujar bocah itu lagi.

“Hanya Appa dan Eomma? Bagaimana dengan Noona?”

“Ah, benar. Aku lupa..” bocah laki-laki itu menyengir lebar.
_

Senyum kecil masih senantiasa menghiasi wajah Ahrin ketika sepenggal ingatan itu selesai berputar dalam kepalanya. Ia hanya bisa melepaskan rindunya pada adik laki-laki yang dulu sering memintanya membelikan permen kapas melalui semua kenangan masa lalu yang tersimpan rapi di kepala. Atau melalui potret dan juga sepenggal video yang seseorang kirimkan khusus untuknya. Alasan yang ia gunakan ketika meninggalkan bocah itu dulu, adalah alasan yang sama kenapa Ahrin tidak bisa menemuinya selama ini. Walau sebentar lagi Ahrin akan mematahkan alasan itu, tetap saja rasanya ia masih was-was. Mungkin saja, adiknya tidak lagi mengenalnya—atau lebih tepatnya tidak mau lagi mengenalnya. Ahrin sudah mempersiapkan diri untuk apapun hasil yang akan ia dapat nanti.

Ahrin memilih membuka buku sketsa kecil yang sudah hampir terisi penuh dengan goresan pensil menyerupai visual yang memenuhi kepalanya. Ahrin mulai menggoreskan pensilnya, menggambar sebuah awan yang terlihat dari jendela pesawat—yang membuatnya mengingat adiknya—dengan sangat mirip. Kemudian di bagian sudut kanan atas pada sisi kosong gambar, Ahrin menuliskan beberapa kalimat yang terlukis di benaknya.

‘Apa kau masih sama penasarannya seperti dulu? Bagaimana rasa awan? Karena aku juga masih penasaran.’

Ahrin tersenyum tipis lagi. Tangan yang memegang pensil memutar benda runcing berujung hitam itu masih pada sisi kanan—tepat di bawah paragraf pertama, namun sedikit menjorok ke kiri untuk menuliskan kalimat lainnya.

‘Sekarang aku sedang berada di pesawat, awan ini adalah awan yang aku lihat melalui jendela di sampingku. Saat itu aku ingat masa lalu tentangmu. Apa kau tahu? Ini bukan pertama kalinya aku naik pesawat, tapi belum sekalipun aku bisa menyentuh awan.’

Sorot mata Ahrin berubah sendu menatapi goresan pensilnya dengan awan di luar jendela bergantian. Kemudian ia kembali menuliskan kalimat-kalimat lainnya. Kali ini ia memilih sudut kanan bawah sebagai tempat terakhir untuk dijadikan lokasi penuturan diary-nya hari ini.

‘Aku berharap, suatu hari nanti kita bisa berada di pesawat ini bersama-sama untuk membahas kembali rasa awan. Aku merindukanmu..’

Seperti biasa, Ahrin selalu membubuhkan tanda tangannya yang menjadi ciri khas atas goresan pensil miliknya. Sebuah goresan membentuk sebuah nama yang menjadi nama penanya sejak 10 tahun lalu. Goresan apik yang membentuk nama ‘Seona’.

Till The EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang