Bab 7
Meski sudah tidak ada yang membaca, sebagai penulis yang udah memulai kisah ini, aku bakal tetp posting sampai ending
Happy Reading!
😄😄_
Ji Changwook membuat kepalanya miring dengan mata yang sejak tadi tak lepas dari seorang gadis berkaos merah di dalam kamarnya—kamar Ahrin. Menyanggah kepalanya dengan tangan yang bersandar di kepala ranjang, sementara sang pemilik terus saja berjalan mondar-mandir di depannya sambil meremas tangannya dan beberapa kali menggigiti kukunya. Changwook coba menebak apa yang dipikirkan gadis itu sejak tadi dan yang muncul dalam benaknya hanyalah masalah kasus orang tua Ahrin. Ia yakin jika gadis itu gelisah memikirkan surat izin investigasi ulang atas kasus itu—yang katanya sedang diusahakan oleh jaksa Choi. Hal kedua yang muncul dalam kepala cerdiknya adalah perbincangan antara Ahrin dan X menjelang siang tadi. Sampai saat ini gadis itu tidak mengatakan apapun dari hasil permbicaraannya dengan mantan asisten pribadinya itu.
“Hal apa yang membuatmu gelisah seperti itu?” tanya Changwook setelah di rasanya ia mulai bosan melihat apa yang gadisnya lakukan.
Suaranya mampu membuat Ahrin berhenti dan menghadapnya—masih dengan raut wajah gelisah, “Apa kau pikir jaksa Choi dan detektif Jang berhasil membujuk atasan mereka?”
“Geussae...” jawab Changwook acuh. Bahunya terangkat sejenak sebelum posisinya berubah menjadi bersandar di kepala ranjang, melipat kedua tangannya di dada dengan kaki diluruskan ke depan, “Mungkin, jika mereka memasukkan kesaksian yang mengatakan jika kau mengingat kejadian malam itu, hakim akan berpikir ulang.”
“Benar ‘kan? Seharusnya seperti itu ‘kan?” kata Ahrin yang masih belum bisa menemukan kepercayaan dirinya.
“Ahrin-ah..”
“Em?” Ahrin kembali berhenti setelah sebelumnya ia mondar-mandir seperti semula.
“Berhentilah mondar-mandir di sana, kau membuatku pusing,” kata Changwook menepuk sisi ranjang kosong di sampingnya, “Kemarilah..”
Gadis itu menjadi penurut begitu saja. Ahrin menaiki tempat tidurnya lalu duduk bersila menghadap Changwook.
“Apa yang kau bicarakan dengan X tadi siang?” Changwook sudah memiringkan posisinya lagi, “Aku rasa hal yang kalian bicarakan juga menjadi salah satu alasan kau gelisah seperti ini, benar ‘kan?”
Satu helaan napas berat keluar dari mulut Ahrin. Tak lama kepalanya mengangguk kecil. Bibirnya manyun, tangannya sibuk ujung kaos yang menempel di tubuhnya, “Sebenarnya, X bisa menebak seseorang hanya dengan melihat punggung orang tersebut. Saat dia melihat rekaman cctv minimarket itu, dia sudah menebak siapa pelaku yang merusak cctv-nya. Itulah kenapa aku gelisah.”
Changwook mulai tertarik hingga membuatnya ikut duduk menghadap Ahrin, “Dia tahu? Siapa?”
“Dia berpikir jika itu adalah Jaemin..” cicit Ahrin.
“Jaemin? Maksudmu Jaemin adikmu? Na Jaemin?” Changwook memperjelas.
Kepala Ahrin mengangguk kecil.
“Tapi kenapa? Kenapa Jaemin melakukan itu?”
“Itulah yang membuatku terus memikirkannya, Changwook-ah. Kenapa Jaemin melakukan itu? Untuk apa? Jaemin masih terlalu kecil waktu itu, jika pun dia sekarang menyadari kejanggalan kematian orang tua kami, kenapa Jaemin harus merusak cctv itu? Aku... Aku tidak tahu..” Ahrin mengeluh, “X menyarankanku untuk menemuinya dan menanyakan langsung hal ini. Tapi aku takut.”
Manik mata Changwook bisa menangkap ketakutan dan kegelisahan yang Ahrin ucapkan. Mengurus kasus orang tuanya yang masih menggantung saja sudah memberikan beban baginya, di tambah lagi Jaemin yang muncul tiba-tiba sebagai pelaku perusak cctv. Ahrin pasti tidak bisa tenang karena terus memikirkan bagaimana reaksi Jaemin jika mereka bertemu nantinya. Kebencian Jaemin yang gadis itu yakini ditujukan padanya membuat Ahrin terus saja mengulur waktu untuk menemui adiknya sendiri. Sementara Changwook, dia yang baru mengenal Ahrin setelah perpisahan mereka yang cukup lama tidak tahu harus bagaimana. Dirinya masih belum bisa memahami sepenuhnya kegundahan dalam hati Ahrin.
“Apa yang X katakan saat menyarankan hal itu padamu?” tanya Changwook sembari menggenggam jemari Ahrin, memberikan kekuatan tak kasat mata pada gadisnya itu. Saat ini dia hanya bisa berpicu pada kata-kata Xukun untuk mencari jalan lain mengurangi beban gadis itu.
“Dia bilang ini yang terbaik. Satu sisi aku bisa memiliki alasan untuk menemui Jaemin, dan di sisi lain aku bisa menghilangkan rasa penasaran ini dengan bertanya langsung dengannya. Tapi, aku merasa ini tidak benar.”
“Apanya yang tidak benar?”
“Aku memang ingin menemui Jaemin, tapi tidak dengan alasan ini. Coba pikirkan, jika aku langsung membahas masalah ini di pertemuan pertama kami setelah 15 tahun lamanya, bukankah menurutmu dia akan semakin membenciku? Mungkin saja Jaemin akan semakin membenciku dan menganggap bahwa aku datang hanya untuk menginterogasinya, bukan karena aku ingin pulang padanya.”
Changwook setuju, apa yang Ahrin katakan ada benarnya.
“Tapi aku percaya saat X bilang hanya ini cara agar aku tahu lebih jelas alasan Jaemin perihal cctv itu. Menemui pekerja paruh waktu itu juga tidak banyak membantu. Kita tidak tahu kenapa cctv itu bisa rusak karena bukan gadis itu yang melakukannya,” kata Ahrin lagi, “Aku harus bagaimana?”
“Kita temui saja Jaemin kalau begitu,” jawab Changwook, “Kita memiliki waktu setidaknya tiga hari sampai jadwal wawancara. Kita bisa menemuinya dulu untuk menjelaskan permasalahanmu dengannya, lalu tunggu respon darinya. Jika dia tidak terlihat memberontak, kita coba untuk membahas masalah ini.”
“Aku tidak yakin dia mau bekerja sama dengan kita,” kepercayaan dirinya belum terkumpul sepertinya.
“Kita tidak akan tahu jika tidak mencobanya ‘kan?”
“Begitukah?” tanya Ahrin.
Senyum tipis Changwook berikan untuk gadis itu. Berharap hal kecil itu bisa memberikan ketenangan—meski hanya sedikit—di hati Ahrin. Changwook tidak bisa terus mengatakan untuk tidak memikirkannya, terdengar terlalu kejam. Karena pada nyatanya, pasti akan sulit untuk tidak memikirkan hal ini. Changwook tidak ingin memaksa Ahrin melakukannya.
“Kemarilah...” Changwook merubah kembali posisinya, berbaring dengan tangan kanan yang ia bentangkan—siap menyambut kedatangan Ahrin dalam dekapannya.
Setelah mendapatkan boneka beruang kuningnya, Ahrin meringsuk ke dalam dekapan Changwook. Mencari posisi ternyamannya di lilitan tangan kekar pria itu.
“Kau ingin membuatku tidur?”
Changwook hanya meresponnya dengan kekehan kecil yang menandakan bahwa Ahrin tidak salah menebak. Menurutnya, tidur adalah pilihan terbaik saat ini. Biarkan masalah keresahan yang gadis itu tengah rasakan hilang ditelan mimpi. Ia mengecup puncak kepala gadisnya sebagai awal dari rencananya memboyong Ahrin ke alam mimpi. Tangannya yang melingkari tubuh Ahrin mulai bergerak menepuk dan mengusap punggung gadis itu. Mengundang kantuk untuk lebih cepat datang.
“Kau tahu, aku iri padamu,” kata Ahrin yang masih sadar sepenuhnya.
Changwook menjauhkan sedikit wajahnya untuk menunduk, “Padaku? Kenapa? Memang hal apa dariku yang membuatku iri? Aku tidak merasa hidupku lebih baik darimu.”
“Tapi menurutku kau lebih nyaman dengan hidupmu dari pada aku dengan hidupku. Kau terlihat bebas melakukan apapun yang kau sukai. Banyak orang mengatakan jika kita memiliki uang yang berlebih, hidup akan jauh lebih baik. Dengan uang, kita bisa melakukan apapun yang kita mau. Karena mereka percaya, bahwa uang adalah raja dari segala hal di dunia ini,” Ahrin menarik kepalanya ke belakang hingga pelukan Changwook merenggang, “Aku tidak setuju dengan hal itu.”
“Kenapa? Menurutku itu benar adanya. Kita bisa melakukan apapun jika memiliki banyak uang ‘kan?”
Ahrin menggeleng kecil, “Tidak semua bisa kita lakukan dengan uang. Contohnya penyelesaian kasus orang tuaku dan juga masalahku dengan Jaemin. Uang tidak bisa menjamin semua berjalan sesuai dengan yang aku inginkan. Justru sebaliknya, uang bisa membuatku menjadi orang yang kasar dan jahat. Orang yang mungkin berada di bawahmu akan menganggap jika kau tidak memiliki hati jika mempunyai banyak uang.”
“Tapi tidak semua orang berpikir buruk seperti itu, Ahrin-ah. Aku misalnya,” sahut Changwook dengan senyum lebar, ia mendaratkan tangannya yang bebas di pipi Ahrin dan mengusapnya, “Aku tidak pernah berpikir seperti itu tentangmu. Menurutku, kau tidak peduli dengan uangmu. Kau hanya ingin menyelesaikan kasus orang tuamu dan kembali bersama satu-satunya keluarga yang kau miliki, Jaemin. Itu menandakan bahwa kau memiliki hati, kau masih memberikan kasih pada orang lain.”
“Entah kenapa rasanya aku ingin tertawa mendengarmu mengatakan hal manis seperti ini,” kalimat Ahrin di akhiri dengan kekehan kecil yang juga menarik Changwook untuk ikut terkekeh juga, “Aku tahu kau sedang berusaha untuk membuatku lebih santai dan melupakan sejenak keresahanku. Dan aku berterima kasih untuk itu.”
“Aku hanya tidak tahu harus melakukan apa untuk membuatmu merasa lebih rileks. Aku masih belum bisa memahami semua situasi yang terjadi. Pertemuan kita masih terbilang baru dengan durasi yang masih singkat. Delapan tahun ini hanya X dan Sajang-nim yang mengetahui semua hal tentangmu dengan baik, mereka lebih tahu mana yang baik dan mana yang tidak untuk kau lakukan—dari pada aku. Jadi, satu-satunya yang bisa aku lakukan adalah menjadi pendengar dan pendukungmu. Ah, aku juga akan menjadi asisten dan pengawal yang baik,” senyum lebar menjadi akhir dari Changwook.
Sontak kalimat akhir itu membuat Ahrin menjatuhkan satu pukulan di dada bidang pria itu, “Jadi maksudmu, kau akan setuju dengan semua saran X dan Samchon?”
“Aku tidak bilang akan menyetujui semua saran mereka. Tergantung pada apa yang mereka sarankan padamu. Seperti X yang mengatakan jika menemui Jaemin adalah jalan yang terbaik untuk saat ini, aku setuju dengan itu. Jika tidak seperti ini, kau pasti akan terus mengulur waktu untuk menemuinya, iya ‘kan?” tebak Changwook yang tentu saja tepat sasaran, “Ada kemungkinan jika Jaemin sudah meyakini hal ini. Dia mungkin berpikir kau akan mencari cctv itu untuk bukti, lalu ia sengaja menggunakannya agar kau mendapat alasan untuk menemuinya. Who knows..”
“X juga mengatakan hal yang mirip,” gumam Ahrin sambil memainkan sweater hitam Changwook.
“Dan juga Ahrin-ah..” Changwook menarik atensi Ahrin lagi agar bertatap mata dengannya, “Hidupku tidak lebih baik darimu. Hanya karena aku sendirian, bukan berarti aku memiliki kebebasan untuk melakukan apapun yang aku inginkan. Justru, aku muak dengan hidupku sendiri.”
“Wae?”
“Hidup sendirian tidak selamanya menyenangkan, Ahrin-ah. Sama seperti saat kau mengatakan jika hidup dengan banyak uang itu tidak selamanya bahagia. Terkadang, aku juga membutuhkan seseorang yang mau mendengarkankan dan juga menemaniku—seperti saat ini. Hidup sendirian itu juga sangat menyakitkan kadang kala, kau akan merasakan kesepian pada saat-saat tertentu.”
“Apa kau juga merasa begitu? Kesepian?”
“Ya, kadang kala,” angguk Changwook, “Kau pasti pernah membaca daftar pekerjaan yang pernah aku lakukan, bukan?”
Ahrin mengangguk. Ingin segera mendengar kelanjutan cerita Changwook yang menurutnya ini adalah kesempatan langka—bisa mendengar kisah pria itu tanpa harus bertanya dan mendapati sorot dingin Changwook.
“Aku... Selama 10 tahun terakhir selalu hidup dalam pelarian,” Changwook menghela kecil dengan sorot mata yang berubah sendu.
Dari sepasang mata itu Ahrin sudah bisa menebak jika Changwook juga memiliki masa lalu yang menyakitkan, “Mau menceritakannya padaku?”
Changwook tak lantas bersuara. Bola matanya bergerak kecil saat menatap ke dalam kedua mata Ahrin. Mencari keyakinan untuk menceritakan kisahnya yang selama ini tidak pernah diketahui oleh siapapun selain para rentenir keparat itu. Changwook tidak yakin jika Ahrin masih mau bergelayut manja dengannya seperti ini jika mendengar kisah perjalanan hidupnya yang menyedihkan. Ia tidak mau kehilangan momen manis seperti ini lebih cepat. Sepanjang hidupnya selama melakukan pelarian, belum pernah Changwook merasa hidupnya lebih berwarna seperti sekarang. Hidupnya terlalu kelam dan kasar hingga menurutnya lebih baik jika ia hidup dalam kesendirian, agar hanya dia seorang diri yang merasakan sakitnya hal yang disebut kesepian.
“Gwaencanha..” gumam Ahrin dengan usapan lembut di pipi Changwook, “Jika itu berat bagimu, kau tidak perlu memaksakan diri untuk menceritakannya. Kita masih memiliki banyak waktu untuk aku bisa mendengarnya. Masih ada lain waktu.”
“Maaf.. Aku merasa belum siap_”
“Tidak perlu meminta maaf, sungguh..” sela Ahrin tulus, “Menceritakan masa lalu yang pernah menyakiti hatimu pasti akan menimbulkan perih yang sama juga. Jangan merasa bersalah karena kau tidak bisa menceritakannya—saat ini. Aku bisa memaklumi situasimu saat ini karena aku juga pernah merasakan hal yang sama bertahun-tahun lalu saat mencoba membuka diri pada X. Aku tahu kau belum siap merasakan perih itu lagi, jadi tidak apa-apa.”
Changwook hanya bisa diam melihat ketulusan yang terpancar jelas dalam bola mata indah Ahrin.
“Lagi pula aku tidak pernah memaksamu untuk menceritakannya, ‘kan? Pelan-pelan saja. Aku yakin akan tiba waktu yang tepat untuk mendengarnya langsung darimu. Menunggu sudah menjadi kebiasaanku selama 15 tahun terakhir. Jadi tidak akan menjadi tantangan untuk menunggumu juga,” kata Ahrin yang menampilkan senyum tulusnya.
Tidak ada hal lain yang bisa Changwook berikan sebagai tanda terima kasihnya selain ungkapan tulus beserta kecupan hangat di dahi Ahrin. Pelukan nyamannya adalah bonus yang ia berikan pada gadis itu karena bisa mengerti dirinya yang memang belum siap mengungkapkan masa lalunya.
“Karena kau juga sependapat dengan X, maka aku akan menurutinya. Aku akan ikut dengan X ke pulau besok dan menemui Jaemin,” gumam Ahrin sambil menutup kelopak matanya, “Sekarang aku hanya akan tidur dalam kenyamanan ini..”
Changwook masih tidak bersuara seperti sebelumnya. Hanya kecupan yang lagi-lagi ia bubuhkan pada kening Ahrin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Till The End
FanfictionAhrin yang masih remaja harus menjadi saksi utama dari pembunuhan kedua orangtuanya. Membuat hidupnya berada dalam bahaya dan akhirnya membuat Ahrin menitipkan sang adik di sebuah panti asuhan demi keselamatan satu-satunya anggota keluarganya itu. S...