Bab 2
Ada beberapa kalimat dalam bahasa Inggris di part ini. Jika ada kesalahan, mohon di maklumi. Soalnya aku juga gak pinter² amat tentang bahasa itu 😅
Di cerita ini aku pake visual Changwook itu yang kyk pict ini ya.. Terutama di rambutnya 😊😊Waspada typo..
Happy Reading..!
_
Ahrin menggeser perlahan layar ponselnya yang sedang menampilkan sebuah artikel lama tentang kasus pembunuhan jaksa di distrik Yeongdeungpo. Membaca dengan teliti artikel yang dulu sempat membuatnya—selalu—menangis merindukan kedua orang tuanya. Kini, Ahrin memang tak lagi menangis saat membaca ataupun mengorek kembali semua kenangan menyakitkan itu, namun hatinya masih tidak bisa menerima kenyataan tersebut. Bahkan saat ini Ahrin menyakini jika rasa sakit dan perih itulah yang memupuk rasa lain dalam hatinya, yang bernama ambisi dan dendam. Ambisi untuk membalas dendam pada pelaku yang mungkin masih menikmati indahnya pagi dan malam di luar sana—setelah perlakuan kejinya terhadap orang tua Ahrin. Tentu saja dengan cara kerja hukum di Korea Selatan pada umumnya. Walau sebenarnya Ahrin sangat ingin sekali pelaku itu mendapat hukuman yang sama dengan yang orang tuanya alami.
“Aku akan mengeringkan rambutnya sekarang,” ucap seorang pegawai salon yang sudah memegang hair dryer dan siap di hembuskan ke arah rambut Ahrin yang baru selesai di cuci setelah beberapa menit lalu telah di warnai.
Ahrin menatap pantulan dirinya di depan cermin besar. Melihat rambut hitamnya yang sudah terlihat memiliki warna biru di beberapa helainya. Rambut yang awalnya sudah panjang pun sengaja ia potong sedikit membentuk huruf v, dengan yang terpendek sebatas bahu dan yang terpanjang sebatas punggungnya. Ahrin hanya ingin memiliki tampilan yang sedikit berbeda, tidak biasa dengan warna rambut yang natural. Ini adalah pertama kali Ahrin mau mewarnai rambutnya bak artis-artis Korea.
“Changwook-ah...” panggilnya pada pria yang sejak tadi senantiasa menunggunya di sofa yang tak jauh dari tempatnya duduk, “Ambilkan earphone portable milikku di tas.”
Changwook lantas menuruti dengan patuh tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Mengambil benda kecil yang di sumbat di lubang telinga dan memberikannya pada Ahrin. Kemudian dirinya kembali duduk pada tempat semula dan fokus pada tablet miliknya—milik Ahrin yang di berikan padanya.
Sementara Ahrin, ia memakai benda berwarna biru itu ke telinganya dan mendial nomor bernama X. Menunggu selama beberapa detik sampai panggilan tersebut di terima. Sontak senyum tipis muncul di wajah Ahrin.
“Eiy.. How are you, X?” sapa Ahrin, “It was so along time no hear your voice. I think it was... three months, right?”
Changwook melirik sejenak saat mendengar nada bicara Ahrin yang ceria.
“So nice to hear that, X. And you know what, I really missed you,” kata Ahrin terdengar sendu, “I haven’t heard you in three months, but we haven’t seen each other since last year, right? It really was a long time, X.”
Changwook kini benar-benar mengalihkan perhatiannya dari tablet pada pantulan sosok Ahrin di cermin. Memperhatikan perubahan emosi dalam sorot mata gadis itu.
“Bagaimana keadaannya? Dia baik-baik saja ‘kan?” Ahrin mengangguk kecil dengan senyum dan sorot semakin sendu, “Aku tidak tahu, X. Aku merasa semakin tidak yakin untuk menemuinya. Aku pikir dia mungkin sudah melupakanku dan membuangku dari hidupnya. Well, jika aku dalam posisinya, aku pasti akan melakukan hal itu.”
Changwook merekam semua yang ia lihat di dalam kepalanya dengan sangat apik. Dia bisa mengerti dengan jelas arti percakapan dengan bahasa Inggris yang mereka lakukan itu. Sebelumnya ia juga sudah di beritahu perihal pria yang disebut X itu dari Sangjung. Dimana posisinya saat ini adalah posisi yang sempat di duduki oleh pria tersebut selama 8 tahun lamanya. Mungkin kebersamaan yang sudah terjalin sangat lama itu juga yang membuat wajah sendu Ahrin muncul ketika mengatakan merindukan pria itu.
“He?” Ahrin menaikkan bola mata yang sempat menatap ke bawah, menatap bayangan maya sosok Changwook pada cermin yang sama yang ada di hadapannya. Sedikit terhenyak karena ternyata pria itu juga sedang menatapnya dan tak serta merta mengalihkan irisnya meski Ahrin sudah membalasnya, “Well, I think he’s good enough. Samchon told me that he like you..”
Satu alis Changwook terangkat. Ia sadar jika dirinya sedang jadi topik perbincangan gadis itu bersama X.
Kemudian Ahrin terkekeh kecil dengan mata yang masih saling pandang melalui cermin dengan pria tampan di belakangnya, “I think so..”
“Sudah selesai, Nona.”
Ahrin sontak menatap pantulan dirinya sendiri di cermin, kemudian menoleh ke kanan dan kiri sedikit untuk melihat tampilan rambutnya yang baru, “Aku ada di salon sekarang. Aku baru mewarnai rambutku dengan gaya yang berbeda dari sebelumnya—untuk yang pertama kalinya. Kau pasti tidak akan bisa mengenaliku dari belakang seperti keahlianmu.”
“Apa kau sudah selesai? Sudah hampir mendekati waktu makan siang. Kau harus menemui jaksa Choi,” Changwook menyela dari belakang. Rupanya pria itu sudah berdiri tegak di samping kanannya.
“Aku akan selesai sebentar lagi. Kau bisa menungguku di mobil,” kata Ahrin.
Mata Ahrin mengikuti kepergian Changwook hingga siluet tubuh itu menghilang di balik pintu. Kemudian ia bangkit dari duduknya dan sekali lagi memeriksa tampilan rambut dan pakaiannya. Memastikan jika semuanya sudah rapi. Baru setelahnya ia berjalan ke arah kasir.
“X, aku harus pergi sekarang. Ada yang harus aku bicarakan dengan jaksa Choi... Em.. Jaga dirimu baik-baik. Jangan terlalu memaksakan diri untuk mengawasinya atau dia akan menyadari kehadiranmu di sekitarnya. Kau tahu bahwa dia memiliki insting lebih baik dariku,” kata Ahrin sambil melakukan pembayaran atas jasa yang ia terima, lalu mengambil jeda sejenak untuk mengucapkan terima kasih pada sang kasir, “Baiklah, beritahu aku jika ada kabar terbaru.”
Saat Ahrin mencapai pintu, Changwook sudah berdiri di sisi mobil dan sigap membuka pintu belakang untuknya. Pria itu berlaku seperti asisten pada umumnya. Hanya sifatnya saja yang berbeda.
“Aku ingin duduk di depan,” kata Ahrin.
Lalu Changwook membuka pintu depan dengan wajah kesal. Kekesalan itu terlihat lebih jelas ketika dirinya menutup pintu dengan keras saat Ahrin sudah duduk manis di dalam mobil. Membuat sang pemilik mobil terjingkat.
“Tidak bisakah kau menutup pintu dengan sedikit lembut? Kau bisa merusak mobilku, kau tahu?” tegur Ahrin yang juga ikut kesal.
“Dan bisakah kau mengatakan lebih awal jika ingin duduk di depan agar aku tidak melakukan dua pekerjaan? Itu sangat merepotkan, kau tahu?” balas Changwook yang tentu saja membuat Ahrin menganga.
“Apa kau baru saja membalasku?”
“Eoh.. Wae?” tantang Changwook, “Dan juga, asal kau tahu saja, ini bukan mobilmu tapi mobilku.”
“Mwo?!”
“Bukan hanya mobil ini, tapi tablet dan laptop yang aku gunakan untuk bekerja, juga paviliun di belakang rumahmu, itu juga milikku,” jelas Changwook dengan sisa-sisa kekesalannya.
“Kenapa bisa begitu?”
“Karena itulah yang ada di dalam kontrak dan Sajang-nim sudah menandatanginya.”
“Wahh.. Jinjja.. Pria tua itu—aish...” gerutu Ahrin yang tidak bisa melanjutkan perdebatannya dengan Changwook, sebab semua yang pria itu sebutkan sudah terlegalisir oleh paraf Sangjung. Selanjutnya ia hanya memilih diam sembari menunggu pria menjengkelkan di sampingnya itu mengantarnya sampai ke tempat pertemuan dengan jaksa Choi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Till The End
FanfictionAhrin yang masih remaja harus menjadi saksi utama dari pembunuhan kedua orangtuanya. Membuat hidupnya berada dalam bahaya dan akhirnya membuat Ahrin menitipkan sang adik di sebuah panti asuhan demi keselamatan satu-satunya anggota keluarganya itu. S...