제 4 장

11 1 0
                                    

Bab 4

Sebelumnya aku mau jelasin kalo ada kesalahan di part sebelumnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sebelumnya aku mau jelasin kalo ada kesalahan di part sebelumnya..
Jadi, di bab 3 itu aku bilang kalo Jaemin masih kelas 2 SMA, sementara di bab 1 udh di sebut kalo Jaemin itu bocah 5 tahun. Jadi, seharusnya setelah 15 tahun dia udh umur 20th kan yah...
Nah, sebelum semakin salah lagi, anggep aja Jaemin itu umurnya masih 19 jalan 20 tahun. Karna dia masih SMA kelas 3, di Korea umur segitu emg masih sekolah ‘kan? Jadi, di bab ini mulai baru kalo Jaemin itu masih umur segitu yah..
Mohon maaf atas kesalahan ini, aku cuma manusia biasa yang bisa khilaf..
I’m so sorry, My Readers...
Selanjutnya aku bakal lebih memperhatikan perintilan² seperti ini lagi..

Happy Reading..!
😄😄



Ji Changwook menghisap puntung rokoknya yang terakhir, membuat kepulan asap keluar dari bibir dan hidungnya. Sejak tadi matanya tak lepas dari sosok pria yang sedang mengamen di pinggir jalan di sana. Sudah beberapa hari terakhir ini Changwook selalu datang ke jalanan ini hanya untuk melihat pengamen tersebut. Sesungguhnya, bukan pengamen pinggir jalan itu yang ia perhatikan, melainkan seorang gadis yang sering mengunjungi si pengamen—namun akan berakhir dengan di usir ataupun di tinggalkan. Changwook merasa tertarik pada gadis berambut hitam itu sejak mereka pertama bertemu di sebuah bar tempatnya bekerja. Gadis itu berusaha menjadi seperti orang lain yang ingin menghilang sejenak dari masalah dengan cara mabuk-mabukan. Changwook yang saat itu menjadi bartender yang melayani tak henti-hentinya tertawa geli melihat tingkah gadis yang ia yakini baru pertama kali merasakan minuman keras di dalam bar. Ekspresi dan celotehannya ketika mabuk benar-benar menyihir Changwook hingga bayangan itu tak pernah hilang dalam kepalanya. Malam itu Changwook juga memesankan taxi untuk gadis itu.

Pertemuan mereka selanjutnya adalah di tempat kerja paruh waktu Changwook yang kedua, yakni restoran Korea tak jauh dari bar. Di sana ia kembali bertemu dengan gadis itu. Saat itu adalah hari pertama Changwook bekerja di sana dan ia menjadi seseorang yang mencatat pesanan gadis itu. Hebatnya, gadis itu masih mengingatnya meskipun pertemuan pertama mereka gadis itu dalam kondisi mabuk. Beberapa hari setelahnya, Changwook baru tahu jika gadis itu adalah pelanggan tetap di restoran tersebut, membuat mereka sedikit lebih akrab dan sering menyapa dengan senyum tipis setiap kali tak sengaja bertatapan. Tapi, karena sebuah masalah, Changwook harus berhenti dari kerja paruh waktunya itu—termasuk di bar—dan mencari pekerjaan di luar negeri. Dan jadwal kepergiannya adalah besok. Maka dari itu, ia menggunakan waktu yang tersisa untuk mengikuti kemanapun gadis itu pergi. Dan niatnya, ia ingin melakukan perpisahan dengan gadis itu hari ini.

“Alba-nim?”

Suara yang sangat familiar itu menarik perhatian Changwook dari pengamen jalanan yang masih meliuk-liukkan tubuhnya di pinggir jalan. Matanya sedikit membesar tatkala gadis yang baru saja ia pikirkan muncul di hadapannya. Lengkap dengan senyum tipis yang menjadi daya tarik hingga Changwook sulit melepas pandangan dari wajah khas asia itu.

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya gadis itu ikut berdiri di samping Changwook dan menumpukan lengannya di pagar pembatas, “Ah... Apa kau sedang melihat para pencari uang di pinggir jalan itu? Siapa yang paling menarik perhatianmu?”

Changwook kembali melihat arah tujuan matanya beberapa menit lalu. Memang ada banyak orang yang bekerja di sana, tapi sejak awal ia hanya memperhatikan seorang pria muda dengan wajah khas asia yang selalu menggunakan musik dan gerakan tubuhnya untuk mengamen.

“Albert si pelukis? Em.. pengamen empat sekawan, The breakers? Pria yang terlihat seperti orang Asia itu?” tanya gadis itu menunjuk beberapa orang di sana, termasuk pengamen yang sering ia datangi dan berakhir pada seorang wanita memegang biola, “Atau Scarlet si violin? Dia cantik ‘kan?”

Changwook tersenyum tipis dan menunduk. Ia menenggak habis soda dalam kalengnya sebelum membuang sampah itu pada tong tak jauh dari tempat mereka berdiri. Tanpa melihatpun kaleng soda itu berhasil masuk ke dalam tempat sampah.

“Ku dengar, kau berhenti dari restoran?” suara yang mulai kehilangan keceriaannya itu menarik atensi Changwook lagi, “Aku juga tidak pernah melihatmu muncul di balik meja bar lagi.”

“Kau pergi ke bar lagi?” suara Changwook keluar untuk pertama kalinya hari ini, “Kenapa kau pergi ke sana lagi? Jika kau berada dalam kondisi mabuk seperti waktu itu, apa kau tahu seberapa bahayanya itu?”

“Aku hanya datang untuk mencarimu. Kenapa kau malah memarahiku,” gumam gadis itu manyun.

“Kenapa kau mencariku?”

“Mwo... Geunyang...” gadis itu mengangkat bahunya acuh. Pandangannya sudah fokus pada pria yang akhir-akhir ini ia kunjungi di jalanan sana.

Beberapa menit hanya di isi dengan suara musik di seberang jalan yang samar-samar terdengar, suara-suara perbincangan para pengunjung cafe tepat di belakang mereka. Dan beberapa kali juga terdengar suara klakson kendaraan yang ada di jalanan utama tak jauh dari sini. Baik Changwook dan gadis berkemeja pink itu sibuk menatapi pengamen di sana.

“Beberapa hari terakhir, aku selalu datang ke tempat ini,” Changwook mulai bicara tanpa menatap gadis di sampingnya, “Aku melihatmu mendekati salah satu pengamen di sana. Dan hari ini, aku juga datang untuk melihatmu.”

“Kenapa? Apa kau merindukanku?”

Changwook tertawa kecil sebelum menoleh. Bisa ia lihat wajah ceria gadis itu di sana. Sembari menghela napas ia merubah posisinya menghadap gadis itu. Ia akan mengatakan semuanya, karena ia pikir ini adalah kali terakhir mereka bertemu. Seperti bercerita pada orang asing, ia tidak akan takut dengan apa yang akan ia katakan ini, karena besar kemungkinan mereka tidak akan bertemu lagi. Sejenak Changwook memandangi wajah gadis itu baik-baik, merekamnya dengan baik untuk di ingat suatu saat nanti—ketika ia meninggalkan pulau ini.

“Aku.. akan pergi..”

“Kemana?”

Changwook hanya menggeleng kecil dengan senyum tipisnya, “Molla.. Yang ku tahu adalah aku harus pergi dari sini. Karena itu.. Aku ingin berpamitan dengan layak padamu.”

Ada perubahan dalam wajah gadis di depan Changwook. Raut cerianya mulai luntur. Bahkan tidak ada lagi senyum menawan di wajah mungil itu.

“Jangan mencariku lagi, entah itu di restoran ataupun bar. Dan jangan datang ke bar manapun seorang diri karena itu akan membahayakanmu. Kau sudah sering di usir oleh pengamen itu, jadi jangan menemuinya lagi. Cari saja pria lain yang lebih baik_”

“Aku sudah menemukannya,” seka gadis itu dengan sorot sendu namun menyimpan kemarahan, “Tapi dia bilang akan pergi..”

Changwook terbungkam. Tanpa harus menjadi jeniuspun ia tahu jika pria yang dimaksud adalah dirinya. Selama beberapa detik mereka hanya saling menatap, mendalami iris masing-masing.

“Ireum-i mwoya?” tanya Changwook.

“Kenapa kau harus berpamitan padaku? Memangnya siapa kau? Jika ingin pergi maka pergi saja, kenapa harus menemuiku dan mengatakan semua omong kosong—huh...” gadis itu mendengus sinis.

“Aku bertanya siapa namamu_”

“Untuk apa kau menanyakan namaku?” sentak gadis itu yang mulai menunjukkan kemarahannya yang entah Changwook sendiri tidak tahu apa sebabnya, “Apa gunanya_”

“Untuk ku ingat nantinya. Agar suatu saat, jika kita di pertemukan lagi, aku bisa memanggilmu dan menghampirimu lebih dulu..”

Gadis itu mendengus sinis sambil mengalihkan pandangannya pada pengamen yang sering di temuinya, “Omong kosong! Pergilah. Bukankah kau bilang kau akan pergi?”

Changwook tak beranjak. Ia tetap berdiri dengan posisi yang sama sambil menghadap gadis itu, “Nae ireum-i.. Changwook-iya. Ji Changwook.”

Tak ada respon apapun dari gadis di depannya. Meski ia masih bisa melihat sorot kemarahan di mata itu. Seperti yang dia katakan tadi, dia hanya ingin berpamitan dengan layak.

“Jal-ga..” pamit Changwook.

Changwook mulai merakit langkah satu per satu meninggalkan gadis yang berhasil memikat hatinya untuk yang pertama kali. Sembari memasukkan tangannya ke saku jeans, ia tersenyum sendu.

“Ya! Ji Changwook!”

Langkah Changwook terhenti seketika saat namanya di utarakan oleh suara itu, membuat senyumnya merekah. Perlahan ia membalik tubuhnya, melihat gadis itu menatapnya sendu. Hal yang entah kenapa membuat Changwook ingin membatalkan niatnya untuk pergi. Ia membuang napasnya kasar sebelum kembali mendekat. Dengan keberanian penuh mendekap tubuh gadis itu erat sambil sesekali mengecup kepalanya.

“Na Ahrin..” gumam gadis dalam pelukannya dengan suara sedikit serak, “Nae ireum-i-ya..”

Kini senyum Changwook mengembang lebih besar saat melepaskan dekapannya. Di bingkainya wajah dengan mata berkaca-kaca itu untuk melihat bagaimana ekspresi gadis itu ketika menyebutkan namanya. Changwook tidak mengerti kenapa rasanya nyaman sekali hanya dengan menatap dua bola mata itu. Terlebih ketika ia kembali membawa gadis bernama Ahrin itu ke dalam pelukannya, rasanya Changwook ingin tetap di sini saja.

“Na Ahrin..” gumam Changwook, “Ingat apa yang aku katakan padamu tadi. Jaga dirimu baik-baik. Aku harap.. Kita bisa bertemu lagi suatu hari nanti agar aku bisa mendekapmu seperti ini.”

“Lalu bagaimana jika sudah ada orang lain yang mendekapku?” tanya Ahrin dengan sedikit terbata, Changwook tahu jika itu karena tangisan yang coba di tahannya.

“Jika itu terjadi, maka artinya kau bukanlah takdirku. Tapi jika tidak, maka aku tidak akan melepaskanmu lagi. Jadi,” Changwook melepas pelukannya lalu menangkup wajah Ahrin dan menghapus aliran air mata di pipinya, “Jangan muncul di hadapanku seorang diri. Karena jika kau muncul tanpa ada pria di sisimu yang menggenggam tanganmu, maka aku yang akan mengambil alih tempat itu. Selamanya. Tidak peduli apakah kau suka atau tidak..” Changwook tersenyum lembut sembari memberikan pelukan terakhir sebelum akhirnya membubuhkan kecupan di dahi Ahrin, “Aku pergi...”

Tangan Changwook perlahan menjauh dari wajah Ahrin. Dengan wajah di hiasi senyum lebar, Changwook merangkai langkahnya meninggalkan Ahrin. Meski ada beban berat yang menginginkannya untuk tetap tinggal di sana. Sayangnya, ia tidak bisa melakukannya.

“Ji Changwook!”

Sekali lagi Changwook memutar tubuhnya tanpa menghentikan langkahnya. Ia berjalan mundur demi melihat Ahrin untuk yang terakhir kalinya.

“Kita akan bertemu lagi ‘kan?” seru Ahrin sebab jarak mereka mulai menjauh.

“Amado..!” balas Changwook lebih santai. Ia mengeluarkan salah satu tangannya dari saku celana untuk melambai ke arah Ahrin.

Ji Changwook, tidak pernah dalam pikirannya ia akan melakukan sebuah perpisahan yang dulu ia anggap konyol ini. Tidak pernah ia membayangkan ada seorang gadis yang akan sangat berpengaruh pada hatinya ketika dia akan meninggalkan sebuah tempat. Selama ini Changwook selalu meninggalkan tempat singgahnya tanpa meninggalkan kenangan apapun untuk di ingat. Tapi sekarang, ia akan mengingat Ahrin sebagai satu-satunya kenangan yang ia miliki dari semua tempatnya singgah.
_

Till The EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang