제 6 장

5 0 0
                                    

Bab 6


Part ini mengandung beberapa kata kasar!

Happy Reading!
😄😄

_

Sinar mentari pagi yang masuk melalui celah gorden di kamar Ahrin, memberikan kehangatan bagi dua insan yang masih meringkuk di kursi malas sejak semalam. Salah satu di antaranya sudah terjaga sejak jam menunjuk angka 3 dini hari, sementara sekarang jarum sudah berada di angka 7. Changwook yang sudah bangun lebih dulu tidak langsung bergerak apalagi beranjak dari tempatnya. Ia tetap di sana menatapi sosok damai di hadapannya. Ia rela terjaga sejak dini hari demi menenangkan gadis itu dari mimpi buruknya. Changwook sudah melihat sendiri bagaimana reaksi Ahrin ketika mimpi buruk yang pernah ia baca dalam catatan Xukun kembali menyapa malam nyenyak gadis itu. Meski reaksinya tidak histeris seperti di catatan itu, tapi keringat dingin yang membasahi pelipis Ahrin benar-benar nyata. Di tambah dengan ringikan kecil yang sesekali terdengar. Gadis itu juga beberapa kali menangis ketakutan, membuat tidurnya tidak damai. Hanya saat ayam berkokok di waktu subuh Ahrin kembali tenang sampai saat ini.

Tak peduli tangannya yang terasa keram dan mati rasa, Changwook tetap membiarkan Ahrin menggunakan tangan itu sebagai bantalnya. Sementara tangannya yang bebas di gunakan untuk mengusap bahu dan lengan Ahrin—menenangkan dan membuai gadis itu untuk kembali tenang. Dan kini, tangan itu beranjak naik ke wajah Ahrin. Menyilakkan rambut Ahrin ke balik telinga agar ia bisa lebih leluasa menatapi wajah tanpa ekspresi itu. Mengusap pipinya sejenak dan membubuhkan satu kecupan di dahi Ahrin sepelan mungkin, meminimalisir resiko membangunkan Ahrin. Tapi ia langsung menahan napas saat Ahrin beraksi dengan menggeliat kecil untuk semakin masuk ke dalam dekapannya. Ketika di rasanya gadis itu sudah tidak bergerak lagi, barulah Changwook kembali menghela napasnya pelan.

Changwook tidak tahu harus menggunakan cara seperti apa agar bisa meloloskan diri tanpa membangunkan gadis yang baru pertama kali tidur sejak kedatangannya di Korea itu. Setiap kali ia melakukan pergerakan kecil—entah itu menggerakkan lengan yang menjadi bantal bagi Ahrin atau hanya sekedar membenahi selimut yang mereka gunakan, tidur gadis itu selalu terusik. Ia bahkan ingat jika Ahrin sempat terbangun saat dirinya menarik tangannya dari bawah leher gadis itu dan berniat memindahkannya ke kasur. Kala itu hampir saja Changwook tidak bisa membuai Ahrin ke dalam mimpi lagi. Jika ia melakukan hal yang sama sekali lagi, maka bisa dipastikan Ahrin akan terbangun, sementara Changwook tidak ingin mengganggu tidur gadis itu yang baru pulas selama lebih dari dua jam saja.

Sekali lagi, ia mencoba peruntungannya. Tangan kanannya mengangkat kepala Ahrin menjauh dari bahunya dan tangan kirinya berusaha melepaskan diri. Dan seperti yang ia duga, tidur gadis itu terusik. Tubuhnya menggeliat kecil menjauh dari Changwook dengan mata yang mulai terbuka. Meski dengan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul, Ahrin mencoba melihat ke sekitar hingga ia kembali melihat Changwook di sampingnya.

“Changwook-ah...” gumam Ahrin yang tampak berusaha keras membuka kelopak matanya.

“Em.. Tidurlah.. Matahari masih belum sepenuhnya naik,” bisik Changwook kembali merangkul Ahrin, namun kali ini tangan kirinya sudah benar-benar bebas.

“Kau mau pergi?” kata Ahrin yang lebih terdengar seperti sebuah rancauan.

Tidak ada sahutan dari pria itu. Ia hanya tersenyum melihat gadis yang ia peluk semalam suntuk kembali memejamkan mata. Lalu tangannya meraih selimut dan membenarkan posisinya agar tidak ada angin yang bisa membuat gadis itu terusik lagi. Tepukan dan usapan lembut ia jatuhkan pada lengan Ahrin. Sampai di rasanya gadis itu benar-benar masuk kembali dalam mimpi, barulah Changwook beranjak dari kursi itu—sepelan yang ia mampu. Begitu juga ketika ia membuka jendela kaca menuju balkon kamar, ia berusaha melakukannya tanpa menimbulkan suara bising. Ia membuka mulutnya seakan mengerang tanpa suara sambil memegangi lengan kirinya yang benar-benar kebas.

“Wah...” gumamnya pelan setelah menatap ke arah jendela kaca yang baru saja ia lewati, seolah dirinya bisa melihat sosok Ahrin di balik tirai coklat yang menggantung di dalam sana, “Untungnya kau tidak melihatku..”

Ya, Changwook masih berusaha menjaga image sok kuatnya di depan gadis itu. Selain itu, jika Ahrin melihatnya merasa kesakitan karena tangan itu harus menahan beban semalaman, ia takut jika Ahrin tidak akan melakukannya lagi. Menurutnya, itu hal paling menakutkan dan harus ia hindari dari pada harus menjaga kesan lelaki perkasa di depan gadis itu. Pemikiran itu membuat senyumnya otomatis muncul secerah sinar mentari hari ini.

Setelah pergi dari kamar Ahrin dengan cara yang sama seperti sebelumnya—melompat dari balkon lantai dua dengan begitu mudahnya, Changwook segera kembali ke paviliun. Membasuh diri dan menyalin pakaian, lalu membuat sarapan berupa kopi dan roti bakar. Membawa keduanya ke sofa untuk menemaninya membaca beberapa catatan yang Xukun berikan agar dirinya bisa lebih mendalami sosok Ahrin lagi. Sengaja tidak langsung pergi ke rumah utama demi memberikan waktu lebih lama untuk Ahrin tidur.

Namun kegiatan itu terusik oleh sebuah panggilan di ponselnya dari nomor tak di kenal. Alisnya mengerut sembari dirinya menerima panggilan tersebut.

Yeoboseyo..” ucapnya.

“Changwook-ah..”

Ji Changwook kontan membuka matanya sedikit lebar saat mendengar suara yang familiar baginya. Dengan spontan pula ia bangkit dari duduknya, “Eo..Eomma?”

“Changwook-ah.. Apa ini kau, Nak?” suara itu terdengar semakin parau dan mulai terisak.

“Eomma.. Eomma katakan, di..dimana Eomma berada sekarang, eo? Aku akan menjemput Eomma.. Eomma..” ujar Changwook gusar.

“Jangan khawatir, Ji Changwook-ssi. Ibumu baik-baik saja di bawah pengawasan kami,” suara di telepon berubah menjadi seorang pria, “Bagaimana? Apa kau sudah percaya sekarang jika ibumu ada padaku?”

Tangan Changwook terkepal di sisi tubuhnya, “Berengsek! Apa yang kau lakukan pada ibuku?!”

“Wow... Tenang, kawan. Aku tidak melakukan apapun pada ibumu,” suara berat di seberang sana terkekeh, “Uang yang kau kirimkan selalu kami gunakan untuk kepentingannya juga. Tapi, uang terakhir yang kau kirim sudah habis dan kami membutuhkan lebih banyak uang untuk ibumu.”

“Jika kau berani menyakitinya, aku tidak akan membiarkanmu lolos, bajingan,” ujar Changwook dengan mata di penuhi kebencian, “Katakan saja berapa banyak yang kau mau, aku akan memberikannya. Tapi, kau harus menyerahkan ibuku juga.”

Suara berat itu tertawa sinis, “Sepertinya pekerjaan barumu menghasilkan banyak uang. Kalau kau menginginkan ibumu kembali, kau harus membayar semua hutangnya padaku. Sementara selama ini kau hanya membayar hutang ayahmu saja. Bagaimana? Kau sanggup?”

Changwook mengumpat dalam hati. Mengumpati rentenir berengsek yang sedang berbicara dengannya, mengumpati ayahnya yang menghilang dan melupakan tanggung jawabnya juga meninggalkan setumpuk hutang pada lintah darat, juga mengumpat untuk jalan hidupnya yang selalu dikacaukan oleh pemburu uang keji karena semua hutang yang di alihkan padanya.

“Ya! Ji Changwook, ada apa? Kau tidak sanggup? Ya, baiklah_”

“Berapa,” Changwook mengumpulkan keberanian untuk menantang rentenir itu, “Berapa semua sisa hutang yang harus aku bayar padamu?”

“Seratus ribu,” jawab suara berat di sana menggantung, “Dolar..”

Mwo?!” pekik Changwook semakin emosi, tapi dirinya menahan untuk tidak menggebu-gebu agar tidak ada yang mendengar suara nada tingginya, “Ya! Kau gila? Bagaimana mungkin ada sebanyak itu? Kau mencoba menipuku, huh?!”

Tapi seorang pria yang menjadi lawan bicara Changwook melalui telepon itu sepertinya tidak merasa takut sama sekali. Terbukti dari suara tawa berat yang menguar. Hal yang membuat Changwook semakin pitam.

“Tentu saja sebanyak itu, Ji Changwook. Hutang ayahmu bahkan belum lunas, di tambah dengan hutang ibumu, dan juga semua bunganya. Semua sudah aku hitung dan angka itu yang muncul dalam kalkulatorku. Ya!  Bukankah seharusnya kau bersyukur? Aku menjaga ibumu yang kurang ajar ini dan merawatnya menggunakan uang yang seharusnya kau gunakan untuk membayar hutang,” terdengar suara rintihan seorang wanita kemudian, “Jadi, jika kau ingin wanita ini kembali padamu dengan nyawa yang masih menghuni tubuhnya, jangan banyak bicara dan berikan saja uangnya.”

Changwook tidak bisa mendebat. Dia tidak ingin membahayakan nyawa wanita yang menjadi sandera bagi para rentenir itu.

“Aku akan memberimu waktu selama seminggu. Jika kau tidak bisa mengantarkan uangnya, jangan harap kau bisa mendengar suara wanita ini lagi. Kau mengerti, Ji Changwook?”

Ji Changwook mengepalkan tangannya semakin erat saat sambungan telepon terputus. Ponsel yang tidak bersalahpun menjadi sasaran amukannya. Ia membanting benda pipih itu hingga hancur menjadi beberapa bagian. Rasanya Changwook ingin berteriak keras untuk meluapkan rasa emosi yang menyelimuti  dadanya, tapi ia tidak bisa melakukannya karena bisa memancing rasa penasaran orang-orang di rumah utama. Rumah ini tidak memiliki sistem kedap suara dan jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah utama, jika ia benar-benar teriak, maka suaranya pasti akan sampai ke gedung itu.

“Sial!” pekiknya pelan dengan napas memburu.

Till The EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang