Chap. 1. Kabar Duka

140 11 8
                                    

Hidup adalah helaan nafas, dimana suatu saat akan kita hembuskan untuk terakhir kalinya. Kematian sesuatu yang dekat maka persiapkanlah bekal

~Quotes


   Gadis kecil berusia tujuh tahun itu terus meraung, merintih dengan tangisan memilukan. Retina cokelat itu mamandang lekat sekujur tubuh ibunya dengan perasaan yang di liputi tanda tanya mendalam. Tidak lama kemudian, tangan mungilnya bergerak membuka perlahan kain putih yang menutupi wajah pasif  ibunya. Lanjut saja ia mengerakkan tangannya mengelus pipi jenazah yang telah dinyatakan tutup usia beberapa jam lalu.

Ia mulai bertanya ke orang disekitarnya, apa yang telah terjadi dengan ibu nya. Namun, yang ditanya hanya bisa menjadikan menggelengkan kepala sebagai jawaban.


Satu persatu para tetangga dan sanak saudara mulai memadati ruangan untuk bertakziah. Ibu Rifa dikenal sebagai orang yang ramah, lembut, pandai menempatkan diri ditengah lingkungannya. Sosok yang patut dicontoh. Terlebih dengan sandangan statusnya sebagai janda. Tak heran jika banyak orang yang berlaku baik terhadapnya.

Rifa masih saja menangisi sosok wanita yang amat disayanginya itu, meskipun umurnya masih terbilang anak-anak tapi pemikiran Rifa jauh lebih dewasa ketimbang anak seumurannya.

Rifa menunjukkan boneka kelinci yang tersenyum menampakkan dua gigi tepat diwajah pucat sang ibu.

"Ibu, coba lihat boneka ini. Kata ibu kita harus selalu tersenyum seperti boneka kelinci" Ucapnya polos

Asmi yang merupakan nenek dari Rifa terus menangis mendengarkan curahan hati cucunya, Ia mengelus halus punggung Rifa mencoba menguatkan cucu pertamanya itu.

Rifa berpaling dari wajah Ibunya "Nek, ibu kok diam aja? Ibu lagi gak mau bicara ya?"

Tangis para pelayat pecah menyaksikan anak yang begitu menginginkan ibunya membuka mata dan menjawab pertanyaannya.

Hingga tiba saat jenazah ingin dimandikan agar secepatnya dikebumikan, Rifa terus saja mengikuti kemana pun ibunya akan dibawa, tak lupa pula ia selalu memeluk boneka pemberian ibunya.

Hening! Itulah suasana ketika jenazah telah disemayamkan, hanya terdengar depakan sendal para takziah yang mulai meninggalkan jejak kakinya. Tinggal Rifa, Nenek serta beberapa kerabat disana. Tubuh mungilnya memeluk gundukan tanah yang masih membasah. Sedangkan Nek Asmi terus mengusap papan yang menancap dikuburan Anaknya.

إِنَّا لِلَّٰهِ وَإِنَّ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

Telah meninggal dunia

NAMA : ISMI HIYATI
LAHIR : 12-03-1977
WAFAT : 22-01-2007


Sepulang dari pemakaman Rifa terus melontarkan seribu pertanyaan kepada Nenek dan juga saudaranya.

"Ibu kok ditinggal?"

"Kenapa ibu gak bisa bangun?"

"Jawab Ifa" Ia terus meminta jawaban orang didekatnya

Santi yang merupakan Adik dari ibunya hanya bisa memeluk Rifa dalam-dalam, memberikan ketenangan bagi keponakannya. Ia masih terlalu kecil, dijelaskan pun ia tidak bakalan paham walau Santi tau anak semata wayang kakaknya ini adalah anak yang pintar, tapi belum tentu ia mengerti akan hal ini.

Suami dari Santi mulai sebal mendengar tangisan serta celotehan anak kakak iparnya tak kunjung mereda. Ia perlahan mendekatkan diri seraya mengucapkan kalimat cukup mengagetkan.

"Rifa dengar yah.. Ibu kamu sudah meninggal, mau kamu nangis darah sekalipun dia tidak akan pernah kembali" Ujar Adi tanpa memikirkan akibat dari ucapannya.

Jlebb. Semua tersentak tak menyangka Adi bakalan ngomong seperti itu.

"Apa-apaan sih kamu. Gak seharusnya kamu bicara gitu dihadapan nya" Sergah Santi, ia langsung mengangkat tubuh Rifa dan membawanya kekamar.

Beberapa lainnya masih mematung setelah kalimat itu terucap.

"Tante, benarkah yang om Adi bilang ke Rifa?"

Santi terdiam, tangannya membelai rambut panjang Rifa.

"Rifa istirahat dulu ya sayang.. Mau tante ambilkan air putih?" Santi hendak bangkit, namun suara Rifa menghentikan niatnya.

"Ifa gak mau minum tante, Ifa mau tante jawab" Cairan bening terus membasahi kedua pipinya

"Ya Allah apa yang harus aku katakan" Isak nya dalam hati, sejujurnya ia masih berat memberi tahu kebenarannya

"Rifa janji ya jangan terus nangis kayak gini. Tante gak mau Rifa sakit" Ia menghapus sisa air mata dipipi Rifa

"Iya tante" Ucapnya tak lagi terdengar seperti menangis

"Yang om Adi katakan benar sayang, Ibu udah pergi. Tugas Rifa do'ain Ibu agar dia tenang disana"

Rifa berusaha menahan tangisnya, kenyataan pahit harus ia terima dengan ikhlas. Kini hanya tersisa kenangan manis saat bersama ibunya.

Sejak lahir ia hidup bertiga dalam satu atap bersama Nenek dan Ibunya. Meskipun hanya bertiga ia merasa bahagia. Walau terkadang ia masih membutuhkan sosok Ayah.

Sewaktu ibunya mengandung dirinya, Ayah Rifa kepergok Santi tengah bermesraan dengan wanita lain disuatu hotel tepat pukul sebelas malam. Mengapa Santi bisa tau? Kebetulan Santi lagi menunggu ojol dihalte seberang hotel megah itu. Pada saat itu Santi baru pulang dari rutinitas nya setiap hari yang bekerja sebagai SPG di salah satu Mall Jakarta.

Mulai dari plat motor yang ia kenali hingga postur tubuh kakak iparnya, keyakinannya semakin bertambah bahwa yang dilihatnya itu benar. Hatinya seketika terenyuh mengingat kakaknya sedang mengandung, Bramto begitu tega menyakiti Istri dan juga buah hatinya.

Pertengkaran hebat terjadi sehabis Rifa lahir. Bramto terus membela diri dan tidak memberi secelah untuk Ismi berbicara. Terlalu sakit hati yang ia rasakan Ismi memutuskan pergi membawa Rifa meninggalkan rumah yang sudah ditempatinya cukup lama.

Sehari setelah kejadian itu Bramto menjatuhkan talak 3 langsung kepada Ismi.
Hati Ismi sangat hancur, sekarang anaknya tidak mempunyai seorang bapak.

Nek Asmi terus memohon untuk tidak menceraikan Anaknya. Hasil itu berbuah nihil Bramto tak menanggapi itu. Cerai secara syariat sudah sah tinggal nunggu dari Pengadilan Agama.

Konon seusai perceraian itu Bramto menggelar pernikahan besar-besaran di sebuah gedung mewah, kabar demi kabar didapat ternyata Istri baru Bramto hamil muda saat pesta itu diadakan. Ismi menyayangkan tindakan mantan suaminya, semoga saja ia bahagia dan tidak menyakiti istri barunya.

Kini usia putri kesayangan nya sudah menginjak 6 tahun. Ia senantiasa berada didekat Rifa entah itu mengantarkannya kesekolah, mengawasinya bermain. Itu semua dilakukan karena dalamnya kasih sayang seorang ibu terhadap anak.

Namun itulah hidup tak ada yang tau batas usia manusia selain Allah dan juga Malaikat yang ditugaskan mencabut nyawa anak cucu adam, Ismi terkena serangan jantung mendadak sepulang dari bekerja sebagai pembantu di rumah tetangganya.

TO BE CONTINUE

~Nurul Amalia Daulay

ASKARA LOVE[Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang