BAGIAN 1

738 23 0
                                    

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Seorang pemuda tampan berbaju rompi putih tampak tengah memacu kudanya dengan kecepatan tinggi. Akibatnya kuda hitam tunggangannya berlari bagaikan angin saja. Debu membubung tinggi ke angkasa, membuat seorang gadis yang juga menunggang kuda di belakangnya jadi tertinggal semakin jauh.
Pemuda tampan itu terus memacu kudanya. Sehingga, tubuhnya seperti terguncang-guncang turun-naik. Tampak pedang bergagang kepala burung yang tersampir di balik punggungnya seperti hendak mencelat, untuk kemudian tenggelam lagi. Melihat ciri-cirinya, tampaknya pemuda itu adalah Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara itu, gadis di belakang Rangga atau Pendekar Rajawali Sakti sudah begitu cepat menggebah kudanya. Tapi, tetap saja kuda putih tunggangannya tidak bisa menyamai kecepatan lari kuda hitam yang bernama Dewa Bayu. Maka, gadis yang memang Pandan Wangi semakin jauh saja tertinggal di belakang.
"Kakang, tunggu...!" seru Pandan Wangi sekuat-kuatnya, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Teriakan Pandan Wangi terdengar keras, menggema ke seluruh daerah kaki Gunung Brambang ini. Sementara, jauh di depannya terlihat Rangga menghentikan lari kudanya. Namun, debu masih cukup tebal mengepul tinggi di angkasa. Pandan Wangi segera menggebah kudanya, agar berpacu lebih cepat lagi. Kuda putih itu meringkik dan mendengus-dengus, memaksakan diri agar lebih cepat sampai pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Hooop...!"
Pandan Wangi langsung menarik tali kekang kudanya, begitu dekat dengan Rangga yang masih duduk di atas punggung kudanya. Kuda putih itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi, membuat Pandan Wangi jadi sedikit kerepotan dibuatnya.
"Hup!"
Gadis berjuluk si Kipas Maut itu cepat melompat turun, setelah kuda putih tunggangannya bisa tenang. Sementara, Rangga masih tetap duduk memandangi di atas punggung kuda hitamnya. Sorot mata Pendekar Rajawali Sakti dibalas Pandan Wangi dengan sorot mata yang sangat tajam.
"Kenapa, Pandan...?" tanya Rangga melihat Pandan Wangi memberengut.
"Kau jalan saja sendiri...!" dengus Pandan Wangi, tetap memberengut.
Rangga jadi tersenyum. Dia tahu, gadis ini kesal karena tadi sempat tertinggal jauh. Saat ini, mereka memang sedang memburu waktu. Sungguh tadi tidak disadari Rangga kalau kecepatan lari kuda hitamnya tidak ada tandingannya di jagat raya ini. Dewa Bayu memang bukan kuda sembarangan. Kecepatan larinya seperti kilat, sehingga sulit sekali terkejar.
Walaupun orang yang mengejarnya memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna, tapi tidak akan mampu menyamai kecepatan lari Dewa Bayu tunggangan Pendekar Rajawali Sakti. Rangga turun dari kudanya. Dihampirinya si Kipas Maut yang masih saja memberengut sambil memegangi tali kekang kudanya. Rangga tahu, hati Pandan Wangi tengah kesal.
"Maaf, Pandan. Tadi aku lupa," ucap Rangga lembut, seraya memberi senyuman manis sekali.
"Huh! Sekarang minta maaf. Nanti juga sudah lupa lagi!" dengus Pandan Wangi, masih tetap memberengut.
Namun Rangga jadi tersenyum geli. Walaupun wajahnya memberengut begitu, tapi Pandan Wangi sempat juga melirik padanya. Dia tahu gadis itu hanya menunjukkan kemanjaannya saja. Tapi patut diakui kalau sedang memberengut begini, Pandan Wangi jadi kelihatan cantik.
Rangga jadi ingat kata orang-orang. Kalau ingin melihat kecantikan wanita yang sesungguhnya, buatlah wanita itu jadi marah lebih dulu. Biasanya, kecantikan seorang wanita akan timbul di saat sedang marah. Dan memang benar, Pandan Wangi terlihat lebih cantik kalau sedang marah begini. Apa lagi, kemarahan yang disertai, kemanjaannya.
Perlahan Rangga mengulurkan tangannya. Disentuhnya lembut dagu gadis itu dengan ujung jarinya. Dengan sikap lembut dan perlahan, diangkatnya wajah Pandan Wangi. Dan kini, pandangan mereka jadi bertemu.
"Kau cantik sekali kalau lagi marah, Pandan...," ucap Rangga.
"Edan..!" dengus Pandan Wangi.
Wajah gadis itu seketika jadi memerah. Dan saat itu juga, Rangga malah tertawa terbahak-bahak, sehingga membuat wajah Pandan Wangi semakin bersemu merah dadu. Tanpa sadar, gadis itu mengayunkan pukulannya ke dada Pendekar Rajawali Sakti.
Duk!
"Ugkh...!"
Rangga jadi melenguh dan tawanya seketika lenyap. Tanpa disadari tadi, Pandan Wangi memukul cukup keras. Akibatnya tubuh Pendekar Rajawali Sakti jadi terdorong dua langkah, lalu limbung terhuyung-huyung. Dan seketika itu juga, pemuda yang selalu berbaju rompi putih itu ambruk ke tanah.
"Kakang...?!" Pandan Wangi jadi menjerit kaget.
Terlebih lagi, begitu melihat Rangga menggeletak dengan mata terpejam. Sedikit pun tidak terlihat gerakan pada dadanya, sehingga membuat Pandan Wangi jadi bingung seketika.
"Kakang...."
Pandan Wangi cepat menubruk tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Tapi pada saat itu juga, tangan Rangga bergerak. Langsung dipeluknya pinggang ramping si Kipas Maut ini.
"Eh...?!" Pandan Wangi kembali tersentak kaget.
"Ha ha ha...!"
"Sial...!" maki Pandan Wangi langsung memberengut. Tapi, Rangga terus saja tertawa terbahak-bahak, membuat wajah gadis itu semakin berlipat.
"Tidak lucu...!"
Pandan Wangi memberontak, mencoba melepaskan diri dari pelukan Pendekar Rajawali Sakti. Sekali sentak saja, pelukan tangan Rangga di pinggangnya sudah terlepas. Cepat cepat Pandan Wangi melompat bangkit berdiri.
Sementara, Rangga hanya duduk saja dengan tangan kiri menopang lututnya yang tertekuk. Senyum di bibir Pendekar Rajawali Sakti terkembang lebar. Sementara, Pandan Wangi semakin memberengut sambil bersungut-sungut. Wajahnya kelihatan kesal, tapi di dalam hatinya juga tetap geli. Gadis itu kemudian mengambil tempat, duduk di atas sebatang akar yang menyembul dan dalam tanah. Sementara, Rangga masih tetap duduk setengah tiduran di rerumputan.
Pandan Wangi masih saja memasang wajah masam. Sedangkan suara tawa Rangga sudah tidak terdengar lagi. Dan untuk beberapa saat, mereka berdua terdiam. Hanya saja sesekali mereka saling melemparkan pandang. Dan kalau pandangan mata satu sama lain bertemu, Pandan Wangi cepat-cepat mengalihkan ke arah lain.
Entah kenapa, walaupun sudah sangat lama mereka selalu bersama-sama, tapi Pandan Wangi tidak pernah bisa membalas tatapan mata Pendekar Rajawali Sakti. Dadanya langsung berdebar seketika, kalau pandangannya bertemu pandangan mata pemuda tampan itu.
"Sudah hampir sore, Pandan. Kita harus sampai di Padepokan Dara Wulung sebelum malam," kata Rangga mengingatkan.
"Tidak jauh lagi, Kakang. Aku masih lelah...," terdengar agak malas suara Pandan Wangi.
"Pandan...." Pandan Wangi hanya diam saja.
"Kenapa kau sepertinya tidak mau pergi ke sana? Apa ada sesuatu yang membuatmu enggan?" tanya Rangga, seakan-akan menaruh kecurigaan.
Namun Pandan Wangi hanya diam saja. Sesekali matanya melirik wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. Entah kenapa, dia sendiri tidak tahu kalau perasaannya jadi begitu malas pergi ke Padepokan Dara Wulung. Padahal, kedatangan mereka ke sana pasti sudah ditunggu-tunggu. Dan mereka memang berjanji akan sampai ke sana hari ini, sebelum hari gelap.
Pandan Wangi sendiri tidak tahu perasaannya sendiri. Semakin dekat ke Padepokan Dara Wulung, perasaannya semakin tidak enak saja. Malah sepertinya malas sekali pergi ke sana. Atau mungkin juga....
Pandan Wangi cepat-cepat menghilangkan sebuah pikiran yang tiba-tiba saja muncul di kepalanya. Kepercayaanya begitu bulat pada Rangga. Rasanya tidak mungkin Pendekar Rajawali Sakti mau berpaling dari dirinya. Dia kenal betul, siapa kekasihnya ini. Mana mungkin Rangga akan mudah begitu saja mengalihkan perhatian dan rasa cinta padanya.
"Ayo, Pandan. Sudah cukup kita beristirahat," ajak Rangga seraya bangkit berdiri.
"Sebentar lagi, Kakang...," tawar Pandan Wangi.
Rangga memandangi gadis itu dalam-dalam. Dirasakannya kalau ada sesuatu yang disembunyikan Pandan Wangi, hingga merasa begitu malas pergi ke Padepokan Dara Wulung. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti melangkah menghampiri, kemudian duduk di samping si Kipas Maut. Tangannya langsung bergerak, dan mengambil tangan gadis itu. Lalu, digenggamnya tangan halus itu erat-erat dan hangat. Pandan Wangi membiarkan saja tangannya digenggam.
"Aku tahu, kau menyembunyikan sesuatu, Pandan. Katakan, kenapa kau seperti tidak ingin ke sana...?" Rangga sedikit mendesak ingin tahu.
"Entahlah...," sahut Pandan Wangi mendesah, sambil menghembuskan napas panjang-panjang.
"Kau menyimpan persoalan di sana, Pandan?" tanya Rangga menduga.
"Tidak," tegas Pandan Wangi mantap.
"Lalu..., kenapa tidak mau ke sana?"
Pandan Wangi terdiam, tidak langsung menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa kali ditariknya napas dalam-dalam, dan dihembuskannya kuat-kuat. Seakan, begitu berat menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti tadi. Dan begitu berpaling, pandangan Pandan Wangi langsung bertemu sorot mata yang cukup tajam milik Rangga.
"Entahlah, Kakang.... Aku sendiri tidak tahu, kenapa begitu enggan datang ke sana," kata Pandan Wangi mencoba mengemukakan perasaan hatinya yang sejak dalam perjalanan menuju Padepokan Dara Wulung ini terus terpendam.
"Hanya itu...?" Rangga seperti tidak percaya.
"Apa aku harus bersumpah...? Aku tidak ada persoalan apa-apa dengan mereka di Padepokan Dara Wulung, Kakang. Aku hanya merasa enggan saja," tegas Pandan Wangi.
"Iya, tapi kenapa...?" Rangga terus mendesak.
"Aku tidak tahu. Mungkin hanya malas...!" sahut Pandan Wangi tegas.
Rangga menghembuskan napas panjang. Di pandanginya sekali lagi wajah Pandan Wangi dalam-dalam. Dari sorot mata, Rangga tahu kalau gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu tidak main-main. Bicaranya terdengar sungguh-sungguh. Dan gadis itu sendiri memang tidak tahu alasannya, kenapa jadi begitu enggan pergi ke Padepokan Dara Wulung.
"Maafkan aku, Kakang...," ucap Pandan Wangi terdengar lirih.
"Ah, sudahlah...," sambut Rangga lembut.
Entah kenapa, mereka sama-sama melempar senyum. "Pandan, aku tidak ingin memaksa. Kalau kau memang tidak ingin ke sana, aku juga tidak akan ke sana. Undangan mereka bisa kubatalkan," kata Rangga terdengar lembut sekali nada suaranya.
"Eh, jangan...!" sentak Pandan Wangi agak terkejut.
Kening Rangga jadi berkerut, melihat sikap Pandan Wangi yang terasa aneh ini. Sedangkan tingkah gadis itu sendiri jadi kelihatan serba salah. Sikapnya jadi kikuk dipandangi Rangga begitu rupa. Sebentar wajahnya memerah, lalu cepat-cepat dibuang, memandang ke arah lain. Dan beberapa saat, mereka jadi terdiam membisu.
"Ayo kita pergi, Kakang...," ajak Pandan Wangi seraya bangkit berdiri.
Tanpa menghiraukan Rangga yang masih keheranan, gadis itu segera saja berlalu menghampiri kudanya yang tengah merumput. Dengan satu lompatan indah dan ringan sekali, gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu melompat naik ke atas punggung kudanya. Kuda putih itu mendengus kecil, sambil menghentak-hentakkan kaki depannya ke tanah. Sementara, Rangga masih tetap saja duduk di atas akar pohon itu. Terus dipandanginya Pandan Wangi yang sudah berada di atas punggung kudanya.
"Ayo, Kakang. Katanya kau ingin cepat sampai ke Padepokan Dara Wulung," ajak Pandan Wangi.
Rangga mengangkat bahunya sedikit, kemudian berdiri. Kini kakinya melangkah menghampiri kudanya. Pendekar Rajawali Sakti lalu melompat naik ke punggung kuda hitamnya, tapi belum juga menghentakkan tali kekangnya. Sedikit matanya melirik Pandan Wangi yang tengah mengarahkan pandang ke tempat lain. Gadis itu seakan tidak ingin terus-menerus dipandangi dengan sinar mata yang memancarkan ketidakmengertian atas sikapnya.
"Hsss...!" Pandan Wangi langsung saja menghentakkan tali kekang kudanya sedikit. Maka kuda putih tunggangannya segera melangkah perlahan-lahan.
Sementara, Rangga masih saja tetap diam. Tali kekang kudanya baru dihentakkan, setelah Pandan Wangi cukup jauh darinya. Namun sebentar saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah mensejajarkan langkah kaki kudanya di samping kuda kekasihnya.

99. Pendekar Rajawali Sakti : Pelangi Lembah KambangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang