"Apa karena dengkuranmu? Kalau iya, bagiku tidak masalah."
Ucapan yang keluar dari bibir Fatih, membuat Nurul malu dan menyembunyikan dirinya di balik selimut yang menutupi tubuhnya.
Ya, Fatih memang mendengar dengkuran Nurul. Tepat setelah Nurul tertidur, Fatih kembali dari ruang Murni di rawat. Murni masih ditemani oleh buk Sarah, isteri dari Kepala Desa. Fatih tidah bisa berlama-lama meninggalkan Nurul sendirian. Dia merasa khawatir dan tidak tega melihat Nurul seorang diri tanpa ada yang menemani.
"Sudah, kau tidak perlu malu padaku. Kau tenang saja, selain saya disini tidak ada orang lain yang mendengar dengkuranmu!" Fatih mengulurkan tangannya menyibak selimut yang menutupi seluruh permukaan tubuh Nurul.
"Apa kau ingin memakan sesuatu?" tanyanya kemudian setelah diam beberapa saat. Matanya tidak lepas dari pada menatap wajah Nurul yang menurutnya sangat imut dan menggemaskan itu.
"Kau jangan melihatku seperti itu! Saya tidak suka melihat tatapan kasihan dari matamu itu." Nurul menunduk dalam-dalam menyembunyikan semburat merah di wajahnya. Dia malu dan risih bila di tatap seperti itu.
"Siapa yang menatap kasihan padamu?" Fatih mengernyit bingung, pasalnya dia tidak menatap Nurul seperti yang di tuduhkan itu.
Nurul tidak menjawab. Dia membenarkan hijabnya dan kembali beranjak duduk dari rebahannya.
"Apa kau ingin memakan sesuatu?" ulang Fatih menatap Nurul lekat. Hilang sudah rasa kantuknya tadi menghadapi wanita unik di depannya saat ini.
"Saya tidak lapar..,!"
"Krriiuuukk...!"
Mulut dan perutnya tidak singkron dalam memberi jawaban.
Fatih terkekeh geli. Dia tidak menduga akan bertemu dengan seorang gadis unik seperti sosok yang kini ada dihadapannya.
Beda halnya dengan Fatih, Nurul terlihat gelisah di tempatnya. Ia menggigit bibir bawahnya menyembunyikan rasa malu yang kian membuncah di hatinya terhadap Fatih. Banyak sudah kekurangannya yang diketahui oleh Fatih. Ia menyesal telah mengikuti Fatih ke klinik, andai ia tidak menyetujui usulan dari pak Salim, mungkin saja sekarang ia menikmati istirahatnya di rumah tanpa berinteraksi dengan orang lain.
"Sudah, akui saja kalau kau lapar, tidak usah malu-malu. Ini masih ada sisa roti yang saya makan tadi." Fatih menyerahkan roti isi coklat kepada Nurul.
Nurul menunduk dalam seraya mengambil roti di tangan Fatih.
"Terima kasih...," bisiknya pelan.
🌺🌺🌺
Di lain tempat, seorang pria berperawakan besar dan tegap menggebrak meja yang ada di hadapannya. Dia terlihat murka. Sumpah serapah keluar dari mulutnya dengan sangat lancar, seolah-olah itu adalah bahasa yang dia gunakan sehari-hari.
Beberapa orang yang ada di sekelilingnya mengkerut ketakutan. Seakan hukuman sedang menanti didepan.
"Kalian tidak becus, satu orang wanita saja tidak bisa kalian hadapi. Keparat...!"
"Maafkan aku, sebenarnya ini salahku. Aku tidak mengikut sertakan mereka dalam rencana ini, aku bertindak sendiri. Sekali lagi maafkan aku." ujar pria lain. Di wajahnya tampak beberapa luka yang masih segar. Sepertinya luka itu baru saja dia dapatkan.
"Sekali lagi kau gegabah seperti tadi, aku tidak akan melepaskanmu, ingat itu!" ancam pria berperawakan besar tadi pada pria yang luka-luka itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Getaran Rindu (Pindah ke Innovel/Dreame)
Fiksi UmumCinta sejati tidak hanya memandang fisik dan rupa, ianya hadir dalam hati karena iman dan takwa... 📝 13/03/2020