PMS

4.3K 617 20
                                    

Lisa masih belum mengeluarkan suara, begitu pun Arkana yang juga jadi bungkam. Biasanya Arkana tidak suka keheningan, ia akan menyalakan musik paling tidak. Tapi kali ini ia memilih tidak menyalakan apapun. Menunggu, karena Lisa mungkin akan mengatakan sesuatu.

Bisa saja sebenarnya Arkana langsung bertanya. Lu kenapa? Lu gapapa kan? Tapi dengan kemampuan dirinya yang selalu gampang menyulut emosi Lisa. Lebih baik ia yang diam dan menunggu.

Sampai mobilnya sudah hampir melewati gerbang keluar kampus, mereka masih hening. Antrian kendaraan membuat rasanya perjalanan tambah panjang. Saat itu lah Arkana mendapatkan telfon dari seorang temannya.

"Iya, yaudah ceritain." Kata Arkana pada orang diseberang sana.

Ia memang sebelumnya memberikan pesan di grup tongkrongannya dan menanyakan perihal kejadian di kantin. Mana tahu ada dari mereka yang kebetulan sedang di kantin saat kejadian itu dan meminta mereka untuk menelfonnya untuk menceritakan apa yang terjadi.

Setelah mendengar kurang lebih apa yang terjadi, Arkana menutup telfon pantas menengok ke orang disampingnya.

"... Sorry Lis." Entahlah Arkana hanya menyimpulkan kalau semuanya terjadi ada andil dirinya.

Ia masih menatap datar pada jalanan. Menghembuskan nafas beratnya sebelum akhirnya berkata.

"Ka,"

Arkana kemudian menengok lagi. Memperhatikan wajah gadis itu yang sepertinya lebih pucat dari biasanya.

"Bisa gak sih, lu kaya biasanya aja, kaya dulu?"

Arkana tidak lantas menjawab. Ia kembali memperhatikan wajah gadis itu. Eh beneran pucet. Bahkan ia bisa melihat titik keringat dipelipis gadis itu. Dan mungkin tanpa sadar gadis itu sedikit terlihat meringis, walaupun ia tetap bertahan untuk sedatar mungkin.

"Gue gamau terus di gosipin orang, Ka." Katanya lagi kali ini menengok Arkana yang sudah harus menjalankan mobilnya lagi.

Bahkan sampai memasuki komplek tempat kost Lisa, Arkana masih tidak menanggapi. Lisa juga tidak mau berkata lagi. Ia menghela nafasnya lelah, terlebih nyeri di perutnya tidak kunjung mereda. Ia mengeluarkan jamu di botol kaca yang tadi siang ia beli. Lalu meminumnya sambil memalingkan wajah ke arah lain.

Dan Arkana sempat melihat itu. Yah cukup tahu lah Arkana minuman macam apa itu. Terkenal banget soalnya dan iklannya seliweran.

Cuman ia kurang paham sih kalau orang datang bulan bisa sesakit apa.

Tangannya lantas ia tempelkan di dahi Lisa di balik poninya itu. Lisa yang masih menatap jalanan dari jendela sampingnya berjengit merasakan dingin dari telapak tangan Arkana.

"Lah, sampe demam." Kata Arkana lebih pada dirinya sendiri. Mukanya jelas sekali lebih khawatir dari sebelumnya.

Begitu sampai di kost, laki-laki itu juga ikut turun. Lisa ingin protes seperti biasa ketika Arkana mengampit lengannya dan berjalan disampingnya, tapi kepalanya yang berat dan keleyengan membuat dirinya tidak mengeluarkan kata-kata lagi, bahkan ketika laki-laki itu ijin ke Pak bono untuk masuk ke dalam. Dibayangan Lisa adalah segera membaringkan diri dan mengganjal perutnya dengan bantal.

Lisa bahkan tidak peduli ketika laki-laki itu masuk ke kamar kostnya, padahal harusnya laki-laki tidak boleh masuk. Untuk kamarnya paling dekat tangga jadi kemungkinan tidak terlalu mengganggu kakak S2 samping kamarnya.

Lisa kemudian merasakan tubuhnya yang diselimuti. Selanjutnya pintu kamarnya yang ditutup. Ia tidak merasakan ada ornqg lagi disekitarnya. Matanya, keningnya yang terkesan menahan sakit. Sudah biasa hampir tiap bulan, cuman selalu lebih parah ketika dirinya stress. Saat seperti ini ia selalu kangen Ibu. Dibuatkan minuman pereda nyeri, di usap-usap punggungnya.

ENIGMA - EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang