•09. Pertemuan yang Ketiga•

18.5K 2.1K 299
                                    

Yang paling ditakutkan adalah saat aku tidak merasa bersalah setelah melakukan kesalahan. Apa aku masih bisa disebut manusia? -Raden

 Apa aku masih bisa disebut manusia? -Raden

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Raden merenggangkan tubuhnya. Ia menghela napas lega saat jam ujian terakhir telah usai dan semua peserta ujian diperbolehkan pulang.

Rasanya lega.

Tinggal menunggu hasil ujiannya saja nanti.

Raden mengambil ponsel dari dalam saku celananya. Saat nama Ratih tertera di sana, ia langsung menggeser pop up chat yang beruntun itu.

"Caper banget nih cewek," ujar Raden kesal. "Spam chat nggak jelas, njir."

Ratih tidak akan mengirim spam chat pada Raden, jika laki-laki itu mau mengangkat teleponnya atau setidaknya mau membalas satu saja pesannya.

Raden menyempatkan diri ke toilet, tidak langsung pulang karena ia tiba-tiba ingin buang air kecil. Tanpa laki-laki itu sadari, Ratih sedari tadi memerhatikan gerak-gerik Raden dari belakang.

Ratih memberanikan diri masuk ke toilet khusus laki-laki karena tidak mau Raden menghindarinya lagi. Untuk menemui Raden, ia memang harus nekat.

Raden berjalan santai keluar dari salah satu bilik kamar mandi dengan rokok di tangannya. Ia tersentak saat mendapati ada sosok Ratih di hadapannya. Dan dalam hitungan selanjutnya, Raden merasakan pipinya panas.

Plak!

"Lo berani nampar gue?!" sergah Raden tidak terima. Ia mencengkeram tangan Ratih dengan kuat.

"Lo pantes dapet tamparan itu," balas Ratih dengan dua bola mata memerah.

Raden menggerutu dalam hati. Bagai hantu, Ratih tiba-tiba muncul di hadapannya. Bukannya selama ini mereka sudah tidak saling sapa? Sudah saling mencoba abai dan mengabaikan. Mengapa Ratih datang lagi ke kehidupannya, huh?

"Gila lo!"

"Gue hamil, Den."

"Nggak usah ngaco!"

Lelucon macam apa itu? Raden mendelik, tidak percaya.

"Gue udah test," ujar Ratih dengan nada sendu nan putus asa. "Nggak cuma sekali. Gue test berkali-kali dan hasilnya positif."

Killa membekap mulutnya, sangat terkejut mendengarkan percakapan itu. Ia sengaja mengikuti Ratih karena curiga dengan raut wajahnya yang pucat dan sering mual-mual.

"Lo udah minum pil itu. Nggak mungkin hamil!" gigih Raden tak mau ambil pusing.

Killa mengepalkan tangannya, menahan kekesalan dalam batinnya.

"Gue harus apa, Den?" dan kini Ratih menangis. Bukannya merasa bersalah, Raden malah semakin tidak tahu diri.

Harapan Ratih hanya Raden. Ia berharap, Raden bisa memberinya solusi. Karena janin yang ada di rahim Ratih adalah darah daging Raden, maka laki-laki yang harus bertanggung jawab. Itu kesalahan mereka berdua. Bukan hanya kesalahan Ratih saja.

BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang