*20. Restu*

17.5K 2K 184
                                    

Dia paling istimewa, ya, buat kamu? -Ratih

Meskipun masih diliputi kebingungan dan keraguan yang luar biasa, akhirnya Ratih menurut pada Raden. Pasrah saja. Mungkin, itu memang pilihan terbaiknya. Melepaskan mimpinya untuk sementara waktu demi melahirkan buah hatinya, yang Ratih sendiri bingung. Nantinya, bisakah ia menjadi seorang ibu?

Kata Raden, mamanya menginap di hotel terdekat sampai mereka menikah nanti. Barulah Dini akan pulang kembali ke Malang.

"Terus, Nyokap sama Bokap gue gimana?"

"Gue udah ke sana kemarin," ujar Raden dengan jujur. "Tapi, orang tua lo lagi nggak ada di rumah."

"Terus?"

"Ya, gue diusir lah dari sana," jawab Raden dengan ketus. Karena jujur, berkunjung ke rumah Ratih untuk yang kesekian kalinya- selalu berakhir dengan sebuah pengusiran tanpa hormat. "Emangnya keluarga lo selalu gitu, ya? Ngusir tamu? Padahal gue dateng baik-baik."

Ratih meringis, tidak bisa menjawab apa pun.

Sebenarnya, kalimat itu sudah biasa Ratih dengar. Dari teman satu sekolahnya, temas lesnya, atau saudaranya; mereka semua kalau bertamu ke rumahnya tanpa membuat janji terlebih dahulu, pasti akan diusir atau satpam rumah Ratih akan membuat sebuah kebohongan kalau di rumah itu sedang tidak ada siapa-siapa.

Pernah Ratih bertanya pada sang mama karena sangat penasaran.

"Ma, kenapa, sih, kita kurang berkomunikasi sama orang lain?"

Begitu tertutup dan sangat individualisme. Padahal, komunikasi dengan tetangga, teman, atau saudara itu perlu. Manusia 'kan tidak bisa hidup sendiri, pasti membutuhkan bantuan orang lain. Ya, 'kan?

"Alah, mereka itu cuma buang-buang waktu kita, Ratih. Pokoknya, jangan mau ngobrol sama orang yang nggak penting. Mending, kamu gunain waktumu buat hal yang lebih berguna. Contohnya belajar."

Ratih memejamkan matanya sebentar lalu membukanya dengan berat.

"Nanti deh gue ke sana lagi."

"Gue mau ikut," cicit Ratih pelan.

"Hah?" Raden menolehkan kepalanya pada Ratih. "Serius?"

Kepala Ratih mengangguk dengan samar. "I-iya. Gue kangen Papa sama Mama."

Entah mengapa, Ratih sangat rindu mereka berdua. Padahal kalau di rumah, Ratih memang sangat jarang mengobrol dengan papa dan mamanya. Namun, saat jauh begini- beda rumah, terasa sekali rindunya. Rindu bertatap muka barang lima detik saja sebelum ia tidur. Rindu bentakan papa atau mamanya karena selalu menyuruhnya disiplin mempelajari sesuatu yang baru.

Ratih terbiasa hidup seperti itu. Dan ia merindukannya.

"Oke, sekarang aja," ujar Raden seraya membungkus undangan pernikahannya. Undangan yang ada di tangan Raden saat ini sangat berbeda, membuat Ratih tertegun. Untuk apa?

"Itu undangan pernikahan kita?"

"Hm,"

"Katanya, private. Nggak ada orang yang diundang selain keluarga deket lo buat jadi saksi sama temen-temen lo yang cuma 3 orang itu."

Raden menghela napas. "Undangan ini khusus buat Killa."

Deg.

Khusus? Sespesial itu kah Killa? Hingga harus mendapatkan undangan khusus dari Raden? Lainnya tidak ada yang diberi undangan, hanya berita saja.

"Harus banget, ya, kalau buat Killa pake undangan?"

"Lo kenapa, sih?" kesal Raden, merasa pertanyaan Ratih itu membuatnya risi.

BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang