•14. Disaster•

20.3K 2.1K 283
                                    

Aku selalu salah. Bisakah ada satu orang saja yang peduli dan mengerti aku. -Ratih

Bagi Ratih, hari Senin itu masih lama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bagi Ratih, hari Senin itu masih lama. Masih ada waktu untuk dirinya berpikir tentang keputusan masa depannya mau seperti apa, mau mengambil langkah apa. Namun, badai ternyata datang lebih cepat dari dugaan Ratih.

Sore itu, baru saja Ratih selesai mandi. Keadaan rumah sepi karena Rudi baru saja mengantarkan Riyan ke bandar udara.

Adinda masuk ke dalam kamar Ratih, meminta surat yang menyatakan putrinya itu diterima di salah satu universitas negeri.

"Buat apa, Ma?" tanya Ratih baik-baik.

"Ya, buat Mama pamerin ke Budhe kamu lah," ujar Adinda sambil fokus pada ponselnya.

"Hah?"

"Budhe sama Pakdhe mau ke sini. Ada urusan katanya, nginepnya di rumah kita."

Ya, ampun....

Rati tidak suka saat-saat saudara keluarganya kumpul.

"Nginep di sini lama, Ma? Harus banget, ya, nginep di sini?"

"Kamu ini kebanyakan tanya-tanya," cibir Adinda, ia mengulurkan tangannya. "Cepet sini surat pernyataan kamu. Yang kemarin kamu tunjukkin ke Papa sama Mama."

"Iya, Ma. Ini masih Ratih cari," jawab Ratih seraya membuka laci meja belajarnya satu per satu. Mencari surat pernyataan itu yang entah ia taruh mana. Lupa atau tersisih dengan soal-soal ujian lain. "Em, di mana yak. Aduh."

Ratih menggerutu sambil terus memeriksa deretan buku-bukunya. Siapa tahu menyelinap di sana.

Perlu kalian ketahui, kalau Ratih ini pelupa. Benar-benar mudah lupa dan ia akan merasa sangat pusing saat berusaha mengingatnya.

Brak....

Ratih tidak sengaja menyenggol tumpukan buku di rak buku satunya. Secara otomatis, deretan buku-buku materi yang tebalnya mirip kamus itu terjatuh.

Adina berkecak pinggang. "Kamu ini ceroboh banget! Ck."

"Maaf, Ma."

Tunggu. Untuk apa Ratih meminta maaf?

Itu 'kan buku-bukunya sendiri. Ia yang tidak sengaja menjatuhkannya dan ia juga yang akan membereskannya kembali.

"Cepetan dong, Ratih. Mama habis ini ada urusan. Harus jemput Pakdhe sama Budhe kamu," omel Adinda lagi yang makin membuat Ratih bingung.

Sumpah kepalanya pusing melihat buku-buku di sekitarnya acak-acakkan dan sesuatu yang dicarinya tidak kunjung ketemu.

"Kamu ini masih muda udah pikun. Pantes aja kamu nggak bisa kalahin Barra," ternyata omelan Adinda masih berlanjut, kedua telinga Ratih dibuat berdengung jadinya. "Ya, karena otak kamu cuma sejangkal gini. Ceroboh. Pelupa. Lemot."

BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang