//Chapter 7: Bodyguard//
Ada yang nungguin gak? Wkwk
Tolong tandain typo-nya ya.
🍂
LULA tidak henti-hentinya merutuk dalam hati atas kecerobohannya hari ini. Terlambat, lupa membawa papan nama beserta beberapa persyaratan ospek lainnya, dan terakhir hal yang seharusnya tidak terlupakan justru dilupakan begitu saja yaitu membawa ponselnya. Lula semakin frustasi saat mendengar pengumuman kalau hari ini ospek dibubarkan pukul delapan malam.
Lula berulang kali melirik arloji dipergelangan tangannya. Matanya mengedar ke sekeliling. Ia mondar mandir tak tenang di depan gerbang kampus. Lambat laun kampus yang semula ramai oleh para calon maba yang menunggu jemputan, perlahan menyusut. Mereka satu persatu mulai meninggalkan gerbang karena sudah di jemput.
Setengah jam berlalu begitu saja.
Lula sama sekali belum mengabari abangnya supaya menjemput. Ia semakin gelisah ketika menyadari hanya tersisa beberapa orang lagi disini. Ia menghela napas gusar. Ini mungkin terlihat 'bukan' seperti dirinya, namun salahkah ia berharap kalau Girral kembali membantunya setelah tadi pagi dan tadi sore berbaik hati meminjamkan ponsel? Lula tahu ini memalukan dan terlihat seperti memanfaatkan, tapi ia tidak memiliki pilihan. Saat ini hanya lelaki itu yang dapat membantunya. Tidak ada orang lain selain Girral.
Dan salahkah bila sejak tadi Lula mengharapkan kehadiran Girral? Salahkah ia menunggu sebuah jeep melintas dihadapannya? Salahkah ia menaruh harapan kalau Girral dapat membantunya? Sebab saat ini, hanya Girral ... harapannya.
"Abang..." Lula mendesis takut. Berbagai ketakutan tanpa sebab tiba-tiba menyerangnya. Waktu semakin larut dan kini jarum jam mengarah pukul sembilan. Tentu saja semakin sedikit pula orang-orang di depan gerbang ini.
Lula nyaris menangis kalau saja seseorang tidak menegurnya.
"Belum dijemput, Dek?" yakin kalau pertanyaan itu tertuju untuknya, Lula menoleh, "Udah malam. Rumahnya dimana?" tanya perempuan itu lagi.
Anak BEM. Pikir Lula. Ada beberapa orang. Dua perempuan dan satu laki-laki. Lula yakin saat ini mereka sedang memastikan calon maba benar-benar sudah pulang mengingat hari sudah malam.
Lula menggeleng. Ia menatap mereka penuh harapan, seolah-olah baru saja mendapat bala bantuan.
"Udah minta jemput?" yang laki-laki buka suara.
Lula kembali menggeleng, meski kini dadanya mulai dijejali oleh udara, tapi sesak tetap menyumpal tenggorokan hingga tak mengeluarkan suara. Ketiga anak BEM itu justru membelakak kaget melihatnya.
"Loh, kenapa belum?" tanya salah satu dari mereka. Perempuan. Lula tidak tahu namanya.
Ditanya seperti itu, Lula justru ingin menangis. Namun berusaha menahan diri agar tidak kelepasan. Ia merasa terharu mendapat pertanyaan seperti itu setelah hampir satu jam menunggu.
"Nggak bawa hp." setelah berhasil menguasai diri. Suara Lula akhirnya keluar. Meski terdengar bergetar.
"Astaga," serentak mereka bertiga kompak bersuara. Salah satu dari mereka buru-buru menyodorkan ponsel, "Kenapa nggak pinjam hp temen? Nih, pake hp gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello A: Goodbye Memories
Teen Fiction[SEQUEL HELLO A] Hubungan mereka masih baik-baik saja hingga kelulusan SMA. Saat tahun pertama masuk kuliah di universitas berbeda, ada sesuatu yang salah. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau badai kali ini luar biasa. Bukan hanya Alula...