PROLOG

1.3K 164 60
                                    

Terimakasih antusiasnya menyambut cerita ini. Kalian luar biasa. I'm proud to have you guys! Ily🖤🖤

Boleh minta antusiasnya lagi?


Spam komen boleh?

Sebelum baca, vote dulu dong, nggak sampe dua detik kok.

• • •

Satu... Dua... Tiga...

Tidak ada jawaban. Dia bergeming dengan pandangan kosong setelah mendengar semuanya. Telinganya berdenging. Kata-kata itu terngiang-ngiang ditelinganya. Menyesaki isi kepalanya. Rentetan penjelasan yang sampai detik ini tidak dapat diterima apapun alasannya. Bahkan hingga detik mencapai angka tiga puluh, tubuhnya masih terasa kaku. Degup jantungnya memburu. Tangannya mengepal kuat, euforia mendadak pengap. Ada sesuatu yang menekan kuat dadanya, seperti dihimpit oleh dua karung besar setelah mendengar rentetan penjelasan itu.

Seperti ada yang meniupkan ruh ke tubuhnya, ia kembali mendapatkan kesadaran yang sempat memecah kemana-mana. Kepalanya yang sejak satu menit lalu tertunduk, susah payah mendanga, menatap nanar seseorang yang sampai detik ini masih begitu dicintainya. Dilepaskannya napas sesak yang sejak tadi menutupi rongga paru-parunya. Ia terkekeh samar. Kepalanya menggeleng kecil. Tidak percaya.

"Tega kamu." katanya pelan. Suaranya terdengar berat. Susah payah ia mengatakan itu. Ada tangan tak kasat mata mencekik lehernya. Ada pisau tak kasat mata menikam jantungnya. Demi Tuhan, rasanya lebih sakit dari luka-luka sebelumnya.

"Maaf."

Maaf? Ia kembali terkekeh sumbang. Ada luka, ada pedih yang tidak dapat dijelaskan. Seperti sesuatu berharga miliknya baru saja direbut oleh orang lain. Tangannya mengepal. Matanya menyorot seseorang yang baru saja mengucapkan maaf dengan kepala menunduk dalam. Gestur penyesalan telihat jelas. Menunduk memikul berton-ton ... pengkhianatan.

Benar, di dalam hubungan, ini sebuah pengkhiantan. Tak perlu berpikir dua kali kalau ini bukti kegagalan dalam hubungan mereka.

"Aku kecewa sama kamu." katanya lagi. Bibirnya menyeringai tipis. Sorot matanya begitu terluka. Ia meraup oksigen sebanyak mungkin, mengisi ruang paru-parunya, lalu dilepaskan napas itu bersama letupan api dibalik dadanya. Kakinya bergerak mundur, "Aku nggak bisa berpikir." lirihnya, dengan suara bergetar.

Kepala yang sejak awal menunduk tidak berani menatap lawan bicaranya, perlahan mendongak dengan tatapan penuh penyesalan dan ketakutan.

"Tolong," suaranya bergetar, seluruh tubuhnya bergetar. "jangan pergi." pintanya pelan sembari menggeleng kecil.

Sebelum punggung itu berlalu dan menghilang dibalik pintu. Samar-samar ia mendengar, "Maaf." dengan suara begitu kecil, seolah itu adalah akhir dari hubungan mereka.



***

Gimana prolognya?

Pendek ya?

Nggak uwu banget, ya? Hahaha


Excited nggak mau ketemu Alvino Alula lagi? Merapat sini dikolom komentar~

Siap lanjut?

Seperti biasa, liat respon uwu kalian dulu *kabur*

—16 febuari 2020—

Hello A: Goodbye MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang