Technic Faculty

582 89 44
                                    

//Chapter 11: Technic Faculty//

Yang puasa, udah buka belum?

Ada yang nungguin nggak? :(

🍂

ALVI tidak pintar dalam menghitung, tidak pula jago dalam mengingat sejarah, bahkan nilai ujiannya tidak pernah lebih tinggi dari enam puluh, dalam menghapal pun otaknya suka tiba-tiba buntu, tapi ada satu hal yang tidak pernah ditunjukkannya pada orang lain; kalau tangannya mampu menyulap kertas kosong menjadi sebuah gambar mengagumkan yang berasal dari luar kepala.

Bukan gambar gunung yang ditengah-tengahnya ada matahari, bukan pula gambar sawah dengan jalan setapak beserta gubuk sebagai pelengkapnya, melainkan gambar gedung-gedung pencakar langit, bangunan dengan banyak ruangan, atau desain interior sebuah rumah.

Waktu itu, Alvi bahkan berpikiran tidak ingin kuliah karena setiap kali ditanya "Mau lanjut kemana?" ia masih kebingungan menjawabnya. Lalu ada yang berkata "Jangan coba ambil jurusan yang lo bahkan nggak mampu. Jangan pilih jurusan yang lo bahkan nggak tahu ada apa di dalamnya. Jangan masuk ke jurusan yang akan lo sesali nantinya. Karena coba-coba... nggak selalu membuahi hasil baik. Sekarang, coba pikirkan, apa yang lo bisa? Atau apa yang lo suka?"

Satu-satunya jawaban Alvi saat itu adalah... "Gambar."

Setelah menganalisa dari semua gambar yang pernah dibuatnya secara random, Alvi berhasil menyimpulkan bahwa jurusan Arsitektur mungkin adalah jalannya.

Ospek hari pertama biasa saja. Seperti yang dikatakan Lula, tidak ada yang spesial. Ospek universitas terasa begitu membosankan. Begitu banyak mentor silih berganti memberikan materi yang Alvi rasa begitu cocok menjadi dogeng penghantar tidurnya di siang hari. Ia bahkan nyaris tertidur kalau teguran keras panitia ospek saat itu tak segera menyadarkannya.

"Cepat, Dek!"

"Lambat bener kayak ulat bulu!"

"Masuknya yang teratur Dek jangan desak-desakan! Kalo pingsan terus ke injak-injak nggak ada yang tanggung jawab!"

Alvi tanpa sadar berdecak mendengar pekikan sahut menyahut senior-senior yang suaranya bikin sakit telinga itu.

"BISA CEPET NGGAK WOII?!"

Telinga Alvi berdenging mendengar teriakan keras itu. Bahkan kepalanya sampai menoleh ke belakang mencari tahu siapa dalang yang telah berteriak sekencang tadi.

"Pada budeg apa ya? Masuknya teratur!"

"Minta cepat, tapi nggak sabar. Nggak boleh desak-desakan tapi neken mulu!" dumel salah satu maba disebelah Alvi.

Alvi melirik, menyetujui dalam hati, namun tidak begitu peduli.

"CEPAT DEK!"

Kali ini Alvi mengusap telinganya, teriakan itu berhasil membuat gendang telinganya kembali berdenging. Tanpa sadar ia mengumpat, "Teriak mulu dah, sakit kuping gue."

Kalau seperti ini hingga petang nanti, Alvi tidak yakin telinganya akan baik-baik saja. Hari ini hari kedua ospek, yaitu ospek Fakultas. Semua maba dari Fakultas Teknik dikumpulkan dalam satu aula. Belum apa-apa, senior-senior ini sudah terlihat bar-barnya. Mungkin karena merasa senior jadi berpikir bisa seenaknya dengan junior. Dan belum apa-apa... Alvi sudah merasa muak.

Hello A: Goodbye MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang