Vanilla Chocolate

845 80 104
                                    

//Chapter 14: Vanilla Chocolate//

Ada yang nungguin?

🍂

"Are you sure?"

Pertanyaan itu kembali berulang. Entah untuk keberapa kali dan bisa jadi mulutnya akan berbuih jika terus-menerus menjawab jawaban yang sama, "Yes, Mom. Mama udah nanya berkali-kali dan jawaban aku nggak berubah." gerutunya. Ia hampir saja memutar kedua bola matanya.

"Kamu bilang, sekolah yang sekarang adalah yang terbaik. Teman-temanmu juga baik-baik. Tapi kenapa mendadak—" Wanita paruh baya cantik dengan rambut lurus sedada itu memandang puterinya lekat-lekat, "—kamu ingin pindah?"

"Ma, please." yang bersikeukuh ingin pindah sejak kemarin mendesah lelah, menatap Ibunya jengah.

"Ganggika Maurin."

Helaan napas terdengar. Bahunya merosot begitu saja ketika Ibunya menyebutkan nama lengkapnya. Ia menyenderkan tubuhnya disandaran sofa sembari memainkan jemarinya dengan kepala menunduk.

Tatapan tajam Mama melunak dalam seperkian detik, Mama menunduk beberapa saat sebelum menatap anak semata wayangnya, "Aurin, terlepas dari apapun alasan kamu yang ingin pindah sekolah, silahkan. Mama bisa terima—"

"Jadi?" Perempuan yang dipanggil Aurin tadi menegakan punggung dengan mata berbinar, sorot matanya menatap Mama penuh harap.

Mama menghela napas, suaranya merendah, "Jangan Indonesia."

Garis wajah Aurin menurun, "Apa yang salah?" balasnya cepat, Mama membuka mulut tapi ia menyergah lebih dulu, "Aku lahir disana. Besar disana. Separuh hidup aku dihabiskan disana, Mama."

Dua belas tahun Aurin menetap di Indonesia sebelum akhirnya pindah ke Belanda karena faktor pekerjaan orang tuanya. Aurin tidak akan tersesat di negaranya sendiri meski lima tahun hidup di negara oranf lain.

"Aurin..."

"Kalo Mama takut Aurin kenapa-napa, Aurin bisa jaga diri." Aurin berusaha meyakinkan Mamanya.

Namun, Mama justru memberikan Aurin tatapan tidak percaya, "Kamu perempuan." sebisa mungkin Mama tidak menaikan suaranya.

"Mama udah setuju sebelumnya." Aurin menyergah lalu membuang pandang kesembarang arah, ia tidak ingin memperdebatkan sesuatu yang sudah disepakati sebelumnya.

"Belum dengan Papa." balas Mama langsung. Ketika mengatakan itu, ada secercah keyakinan kalau suaminya akan menentang keinginan puterinya.

Aurin balik menatap Mama, kali ini ada senyum kemenangan dibibirnya, "Aurin pernah bahas ini sebelumnya dengan Papa."

"Apa?" dahi Mana mengernyit, ekspersinya seolah meminta Aurin mengulang ucapannya.

"He said, apapun yang Aurin rasa terbaik untuk diri Aurin sendiri, nggak ada alasan siapapun melarangnya."

Mama sampai melonggo, "Luar biasa Ganggika Maurin," bibirnya membeo tidak percaya, kepalanya menggeleng kecil, "Jadi, kalian pernah bicarakan ini sebelumnya tanpa Mama?" kekehan terdengar diujung kalimat. Wajahnya terlihat begitu terluka seolah baru saja mendapat pengkhianatan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 08, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hello A: Goodbye MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang