-Tuh kan, bahkan hati ku ini
turut menyambut mu.
Tapi, Jika sehabis ini kamu pergi lagi.
Alangkah baiknya sekarang saja,ya.--anothers
°○°
Pernah mempunyai rasa yang sama. Mungkin itu sebabnya.
Deg
"Kakk... apa apan sih lo! Stop kak!"
"Sebentar."
"Kakk... lo gila?! Lepasin, Kak."
"Bentar, lima menit."
Saat Abraham mengeratkan pelukannya pada Dinda. "Hiks... hiks..."
Abraham mengurai pelukannya. "Dinda, L...lo kenapa? M...ma..maaf. Gue salah." ucap Abraham setelah sadar bahwa ini benar- benar salah
Nafas Dinda memburu dan emosinya tak stabil "Enggakk... bukan dia bukan... hiks... hiks... pergiii... pergiiii." Ucap Dinda histeris
Abraham panik bukan main, tapi justru Ia memeluk erat Dinda kembali. "Maaf Din, maaf, maaf,maaf. Gue salah. Ini gue Abraham. Lo kenapa Dinda???" balas Abraham dengan khawatir
Suara berdengung itu lagi. Sungguh menyiksa ketika dunia yang seharusnya telah lama hilang kini sering kembali.
Dinda memegangi bagian kepalanya. "Sesakk... sakitt... hiks... hiks.. sakitt." Ucap Dinda parau
Abraham mengelus punggung Dinda. Membawa kepala Dinda tepat di lehernya. "Dinda tenang ya... Ini aku... sstt... tenang yaa... aku disini." Bisik Abraham berusaha
Perlahan nafas Dinda kembali normal. Tapi telinga nya masih terus berdengung karna fikirannya berkelana entah kemana.
Dinda merasakan pelukan itu lagi. Pelukan yang selama ini selalu Ia rindukan. Masalahnya adalah Ia tak tau bagaimana membedakannya. Sekedar halusinasi atau memang nyata(?).
Beberapa puluh menit dihabiskan untuk menunggu Dinda kembali stabil. Seharusnya Ia meminum obatnya. Memang hanya obat itu yang bisa mengurangi rasa sakitnya. Tapi Abas tidak ada disisinya. Hanya Abas yang memahaminya. Ia butuh Abas. Ia butuh obat itu.
Abraham juga masih setia memeluk erat Dinda. Bukan rasa jijik atau semacamnya yang timbul ketika kejadian berlangsung. Tidak jelas. Buram. Susah digambarkan.
Kini Dinda sudah merasa lebih baik. Pelan-pelan tangan mungilnya mendorong Abraham menjauh. "Kak..."
Abraham mengurai pelukannya. Lalu menatap lekat wajah Dinda. "I... iya Din? Maaf gue nggak bermaksud kayak gini. Gue nggak tau akhirnya bakal kayak gini. Gue minta maaf Din." Ucap Abraham tulus
"Kenapa lo meluk gue?"
Abraham menundukkan kepalanya. "Gue.. gue cuman keinget seseorang Din. Lo persis banget sama dia waktu lo ngoceh tadi. Cara lo menyampaikan susunan kata di otak lo itu, sama persis kayak dia 10 tahun yang lalu." balas Abraham. Lelaki itu terlihat tulus mengucapkan sederatan kalimat itu. Mata nya yg tadi terlihat panik, kini mata itu memancarkan sirat kesedihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Abray (Slow Update)
Teen FictionTuhan telah menggariskan takdir bagi tiap insan. Hidup penuh luka bukan lah suatu pilihan. Tak hanya lahiriah kian dihujani pilu. Tapi jiwa pun tat kala membiru. Hatimu, berikut nalarku. Membaur di dalam semu. Abraham Prambayu Wibisono dan Aidinda P...