Paket Biru

260 14 5
                                    

Please,  vote and comment please..
Thank You...

    Love always makes people stupid

           Teeana Anulika , siap berangkat sekolah. Biasanya,  ia pergi dengan yanda.  Tapi pagi ini yanda berangkat siang,  jadi ia terpaksa pergi sendiri. 

            Sebelum pergi, tentu saja ia mendekati Ayah dan Bundanya, mengangsurkan tangan sambil pamit, "Teea pergi Yanda, Bunda...", lalu menyempatkan memeluk Bunda meski tak lama. Setelah itu bergerak menuju pintu.

           Ia sempat melirik cermin hias yang dipasang tepat di samping pintu. Kata Bunda, supaya kita bisa melihat untuk terakhir kali penampilan kita sebelum keluar rumah. Selintas dipandanginya bayangan di cermin. Kerudung rapi, seragam putih rapi, rok birunya pun tak bermasalah. Secara keseluruhan, seragam SMPnya selalu membuatnya merasa langsing, semampai.

           Dengan ringan Teea mancangklong tas ransel yang diletakkan di kursi ruang tamu, membuka pintu, dan pandangannya langsung menangkap sesosok tubuh di sebrang jalan. Kak Diar, yang senyumnya langsung tersungging lebar saat melihat Teea keluar dari pintu. Ia berdiri dengan bertumpu pada sebelah kaki. Tas ransel di sampirkan di sebelah pundak. Sweater rajut coklat favorit menutupi seragam putihnya. Celana seragam biru dengan pipa lebar, tersetrika rapi. Ia sering mengejek, kalau hidup Kak Diar, lurus selurus garis di celana-celana panjang miliknya. Rambut tersisih rapi, kulit wajah segar berseri, bersinar-sinar seperti mentari pagi... Ah! Teea mengusir pikiran itu. Ia menepuk pelan keningnya, berusaha untuk tidak merusak bagian ujung kerudung yang sudah dilancipkannya tadi.

           Teea sengaja memakai sepatunya dengan lambat. . Tapi Diar tetap saja dengan sabar menunggu. Akhirnya Teea selesai memakai sepatu. Ia berjalan tenang ke arah jalan raya keluar komplek, dan langkahnya langsung dibarengi.

           "Hei Skinny," Diar menyapa Teea dengan ejekan sayangnya. Entah sudah berapa tahun ia mengganti panggilan Teea dengan Skinny. Tapi itu hanya diucapkan saat mereka berdua. Diar tahu, kalau berani mengeluarkan panggilan itu di depan Bunda Teea, ia akan memulai perang antar tetangga sebelah. Bunda merasa sudah melakukan segala hal untuk Teea, sang anak semata wayangnya, tapi badan Teea tetap saja, kurus. Bunda Teea pasti langsung nangis-nangis ngadu pada ibunya, dan ibu pasti akan membelanya. Bagaimanapun, Diar selalu merasa sebagai anak kesayangan ibu. Nah, kalau sudah begitu, persahabatan Bunda Teea dan Ibu Diar mungkin akan berakhir. Lalu... ah, sudahlah. Mari cari aman saja.

           Teea tak bereaksi meski ia mendengar panggilan Diar. Tetap saja berjalan lurus, meski diam diam melirik ke wajah Diar di sebelahnya. Teea selalu menikmati wajah ceria Diar. Senyumnya, selalu bisa membuatnya ikut tersenyum. Tawanya, yang khas, juga selalu membuatnya ikut tertawa tanpa sadar.Benar-benar menghipnotis.

            Agak jauh dari rumah mereka, Diar menyenggol bahu Teea.

           "Manaaa?" tanyanya.

           Teea pura pura tak mendengar, dengan sengaja menatap pepohonan, memutar leher, menatap langit, lalu berbisik, "Kayak ada suara ... burung kali, ya? Hmm.. Suara apa sih? Brisik bener..."

           Tiba-tiba ia tersentak mundur. Tasnya ditarik Diar dari belakang.

           "Kaaaaak!" teriak Teea dengan kesal. Ia berbalik akan mengejar, tapi urung saat melihat Diar siap berlari dan berkelit sambil tertawa dengan irama khasnya. Perjuangan yang jelas tak berimbang. Diar jago futsal. Larinya kencang, ia paling jago berkelit, jadi percuma saja. Teea memilih untuk berbalik dan melanjutkan perjalanan.

           Tiba-tiba saja, Diar sudah berjalan lagi di sisinya. "Manaaaa?, tanyanya. Tangannya diangsurkan dengan telapak tangan menghadap atas ke depan badan Teea.

           Teea memasang wajah berpikir, lalu bertanya, "Wani piro?" Berani menebus berapa, dan gantian Diar yang berpikir.

           "Es krim? Nanti di kantin sekolah. Cukup?" Diar bertanya sambil memiringkan kepalanya, lalu tersenyum miring.

           "Oke. An eye for an eye. Ada es krim, ada surat." Teea menatap mata Diar sambil menaikkan alisnya.

           "Deal!" Mereka melakukan toss di udara tanpa bersentuhan, dan melanjutkan obrolan dengan ringan sebelum akhirnya menaiki angkot menuju sekolah.

                                                                                           ***

           Kantin pada jam istirahat selalu padat. Diperluas seperti apapun, kalau seluruh anak turun ke kantin pada saat yang sama, tetap saja akan penuh. Agak akan berkurang pada hari Senin dan Kamis. Karena pada saat-saat itu, sebagian siswa melaksanakan puasa sunah Senin-Kamis. Dan ini hari Senin, lumayan, kantin tak terlalu padat.

           Diar, Eggy, dan P - nama lengkapnya Pratama-  turun dari lantai 3,  tempat kelas-kelas 9 berada. Mereka menuju kantin di seberang gedung kelas dengan santai. Sesampai di kantin, Diar mengedarkan pandangan, mencari Teea di antara puluhan anak yang ada di situ, tapi tak ditemukannya. Akhirnya, ia mengajak dua sahabatnya ke perpustakaan.

           Tapi baru saja mereka keluar dari area kantin, orang yang dicari Diar muncul dan langsung menuju ke arah Diar. P langsung tersenyum manis sambil mengangkat tangannya dan mengembangkan jemarinya sebagai pengganti salam pada Teea. Teea membalas dengan cara yang sama. Eggy hanya menatap dingin pada Teea, dan Teea dengan berani mendekatkan badannya pada Eggy lalu membelalakkan mata, bertanya, "Apa? Lihat-lihat?!" Eggy segera mundur menjauh sambil bergidik.

           Diar tertawa, dengan suara tawa khasnya yang selalu berirama sama, dan selalu secara otomatis membuat Teea tersenyum. Diar memberi isyarat pada dua sobatnya untuk menunggu di perpustakaan. Kedua orang itupun beranjak ke perpustakaan.

           Diar berbalik ke arah Teea.

           "Man-naa?" Diar bertanya. Teea mengangkat sebuah bungkusan bersampul biru, warna kesukaan Diar. Mata Diar berbinar, tangannya langsung bergerak hendak mengambil, tapi Teea lebih gesit menyembunyikan bungkusan paket itu ke belakang punggungnya. "Es krimku?" tanyanya.

           Diar mencebik, lalu mendorong punggung Teea ke kios minuman, dan membiarkan Teea memilih es krim paling mahal yang ada di situ. Sedikit merasa rugi, tapi akhirnya, Diar berdamai dengan dirinya sendiri. Teea harus pergi cukup jauh untuk mendapatkan paket itu. Tepatnya, demi menjadi tukang pos diantara ia dan Aini. Seminggu sekali kadang dua minggu sekali, mereka bertukar buku diary, yang diisi selama seminggu penuh, dan Teealah yang bertugas menukar buku-buku diary itu.

           Sudah zaman smartphone, dan mereka masih menggunakan teknologi kuno? Yups. Aini, gadis yang tengah dekat dengan Diar itu tak punya handphone. Tak diberi, dan merasa tak perlu punya. Ia tinggal di pesantren dimana ia bersekolah, dan keluarganyapun tinggal di situ. Jadi, untuk apa punya handphone, katanya.

            Maka terpaksa jalan ini ditempuhnya, demi seorang Aini yang telah mencuri hatinya bahkan sejak mereka bertemu pertama kali di rumah Teea. Iya, Aini adalah sahabat Teea di SD. Teea dan Diar, sekolah di SD yang berbeda. Selepas SD, Aini pindah ke Pesantren keluarga, karena ayahnya harus menggantikan Kakeknya memimpin pesantren tersebut.

           Waktu itu, Aini datang ke rumah Teea untuk pamitan karena akan pindah rumah. Ternyata di saat yang sama, ia disuruh Ibunya mengantar sesuatu ke rumah Teea. Mereka pun bertemu. Dan hatinya langsung terpikat pada Aini. Akhirnya perpisahan yang dibayangkan Teea akan menyedihkan, gagal. Mereka bertiga mengobrol dengan seru sampai akhirnya Aini harus pulang. Ia dan Aini lalu berjanji untuk tetap berteman dan saling memberi kabar. Hal itu terjadi, sejak saat itu, hingga sekarang.

            Segera sesudah Diar membayar uang es krimnya, Teea memberikan paket berwarna biru itu. Dan segera, Diar menghilang dari kantin menuju ke perpustakaan. Teea memegang es krimnya dengan kelu, sambil menatap punggung lebar Diar dari belakang sampai menghilang saat ia masuk ke perpustakaan. Ia menghela nafas panjang, menunduk, menyembunyikan perasaannya dan mulai membuka bungkus es krimnya sambil mencari kursi kosong.

Lelaki di Tengah Hujan (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang