The Sick Girl

37 4 4
                                    

Yanda, Bunda, Abah dan Ummi, mengobrol di ruang tamu, sementara Teea segera naik ke lantai atas dimana kamar Aini berada. Ketika ia membuka pintu, Aini tengah menunggunya, dan segera tersenyum saat melihat Teea datang.

"Teea!" teriaknya, seperti yang sangat rindu. Padahal, mereka baru bertemu minggu lalu.

Teea segera berlari ke tempat tidur, duduk di pinggirnya dan membuka lebar tangannya. Aini bangun dan balas memeluknya. Teea agak kaget, badan Aini terasa sangat panas menempel di kulitnya.

Teea akan melepaskan pelukannya, tapi Aini berkeras tetap memeluk Teea. Tiba-tiba, Teea merasa pundaknya hangat. Aini menangis? Pikirnya. Ia memaksa Aini melepaskan pelukannya.

Ternyata wajah Aini basah oleh air mata. Anak-anak rambutnya kusut menutupi kening. Teea mengguncang pelan pundak Aini. "Ain, kamu kenapa? Ain... sakit? Kenapa menangis? Ain..."

Aini hanya menggeleng pelan. Ia mengangkat tangannya,meletakkan tangannya ke pundak Teea, dan meneruskan tangisannya.Teea tahu, percuma bertanya saat Aini seperti ini. Jadi dibiarkan saja Aini menangis, sambil ia usap-usap punggungnya.

Lama kemudian, akhirnya isakan Aini berhenti. Tapi ia masih membiarkan dirinya tersandar lunglai di bahu Teea. Teea masih terus membelai-punggung Aini. Setelah benar-benar tenang, Teea menjauhkan tubuh Aini agar ia bisa memandang wajahnya.

"Ain, ada apa? Ceritalah... Kamu sakit seperti ini, pasti bukan sekedar radang. Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu. Pasti ada! Kamu kan suka begitu. Sakit, kalau memikirkan sesuatu terlalu banyak. Ada masalah apa?" Teea bertanya dengan nada serendah mungkin.

Aini menghela napas panjang. Diambilnya sebelah tangan Teea dan digenggam dengan kedua tangannya. Ia memandang Teea dengan mata yang masih basah berair.

"Maaf Teea."

Teea mengernyitkan kening. "Maaf apa? Aku nggak apa-apa kok... Lagipula aku senang disuruh menginap di sini. Kita sudah lama tak buat acara girls night. Iya, kan? Sudahlah, nggak usah minta maaf."

Aini tersenyum samar. Teea masih sama seperti dulu, ceria, cerewet, sok tahu, susah menghentikan dia dari bicara. Tapi Aini tahu satu sikap baik Teea yang nggak banyak orang tahu. Teea selalu siap berkorban apapun untuk orang-orang yang disayanginya. Mungkin karena ia anak tunggal, tak punya saudara. Kesendiriannya bukan membuatnya menjadi seorang yang egois justru sebaliknya menjadikan ia seorang yang rela mengorbankan apa saja untuk orang-orang yang disayanginya.

Dan ia tak pernah membayangkan kalau pada akhirnya, ia, Aini, orang yang mengaku sahabatnya, ternyata membuat Teea mengorbankan sesuatu yang sangat penting.

Air mata Aini mengembang lagi. Selama seminggu, ia berperang dengan perasaannya sendiri, dan akhirnya tubuhnya tak kuat. Ia mulai panas. Teea benar, ia sakit karena terlalu jauh memikirkan masalahnya, memikirkan rasa bersalahnya.

"Sudah, jangan dipikirkan lagi." Kata Teea menenangkan. Ia menggeserkan jemarinya di atas pipi Aini yang basah. "Sudah...," bisiknya. "Aku ambilkan air minum dulu, ya..."

Teea berdiri dan berjalan ke meja belajar. Ada sebotol air dan gelas kosong di situ. Ditahannya air matanya. Ia tak boleh ikut menangis. Dulu, waktu SD, seringkali Teea ikut menangis ketika Aini menangis, tapi cara itu hanya membuat tangisan Aini semakin parah dan semakin lama. Jadi, meski saat ini hatinya hancur melihat sahabat kesayangannya menangis sesedih itu, ia tetap berusaha keras tak menunjukkan air matanya.

Ketika ia menuangkan air ke gelas, secarik kecil kertas menarik perhatiannya. Ada tulisan dikertas itu, namun kemudian dicoret-coret hingga tulisannya hampir tertutup seluruhnya. Tapi ia masih bisa melihat tulisan samar di bawahnya. "MAAF TEEA". Teea menggigit bibir, perasaannya sungguh jadi tak nyaman. Ini apa?

Teea menengok ke arah Aini yang juga tengah menatapnya dengan tatapan sedih. Ia menghela napas panjang lalu pura-pura tak melihat apapun. Sesudah gelas penuh, dibawanya kembali ke tempat tidur, memaksa Aini menghabiskan minumnya.

"Ayo, Ain, minum. Barusan kamu nangis sudah ngabisin air seliter. Jadi sebagai gantinya kamu minimal harus minum nol koma delapan liter, supaya nanti ada bahan air mata buat nangis lagi." Aini terkekeh pelan, meskipun air matanya masih membayang.

"Iya, beneran, nggak bohong," Teea melanjutkan dengan wajah serius seribu persen. "Nanti aku minum juga, biar kita bisa sama-sama nangis. Kamu nangisnya seliter saja, kan minumnya cuma nol koma delapan liter. Kalau aku minum lima ratus mili, berarti boleh nangisnya cuma setengahnya kamu."

Aini tertawa sedikit.

Teea mengangsurkan lagi gelas ke wajah Aini. "Minum!" katanya memaksa.

Aini mengeleng. Teea mendorong gelasnya ke bibir Aini, ditempelkan, melotot, lalu bilang, "Minum!"

Aini tertawa lebih lepas. Teea senang berhasil membuat Aini tertawa.

"Iya, iya, aku minum," kata Aini. Diambilnya gelas di tangan Teea dan mulai diminumnya. Pelan diminumnya seteguk demi seteguk sambil menatap Teea.

Teea masih diam menatap matanya. Mereka sering melakukan hal ini, dulu waktu masih SD dan duduk sebangku, saling bertatapan mata sambil menebak pikiran. Kata Teea, ini cara kita melatih bahasa kalbu. Dan Aini tak pernah berhasil menebak apa yang ingin Teea sampaikan lewat tatap matanya. Aini yakin, Teea mengada-ada. Tapi minggu lalu, ia melihat bagaimana Teea dan Erin berkomunikasi, ia akhirnya percaya bila hubungan kedua hati sudah sangat erat, mereka bisa melakukannya. Tak perlu kata-kata, bisa saling berkomunikasi, saling mengerti.

Aini menggenggam gelasnya erat-erat. Ia beberapa kali menghela napas panjang menguatkan tekad. Ada sesuatu yang harus ia katakan pada Teea.

"Teea," suara Aini serak, tersendat, "sebenarnya.. aku..."

Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Bunda dan Ummi masuk ke dalam kamar.

"Aini, ini Bunda Teea ingin melihatmu." Aini terkejut memandang ke pintu. Ia memaksakan sebuah senyum menghias bibirnya. Aini menganggukkan kepala dengan sopan.

"Bunda, terimakasih sudah mengizinkan Teea datang dan menginap. Terima kasih sudah menyempatkan datang dan menengok Ain..." katanya dengan suara pelan. "Maaf Aini sudah merepotkan."

Bunda tersenyum lembut, Ia mendekati Aini. Diusapnya rambut Aini, kepalanya teraba panas, dan basah oleh keringat. "Nggak kok Aini, nggak merepotkan. Lagipula Bunda sudah lama sekali nggak ketemu Ummi. Sekalian saja silaturahmi. Dulu mah, waktu kalian SD, kita ketemu hampir tiap hari ya Ummi, tiap ngejemput anak-anak kan kita ketemu. Sekarang mah... wah.. kalo nggak nyengajain, susah..."

Bunda melirik pada Ummi. Ummi membalas dengan tertawa. "Iya, betul Bunda Teea. Mungkin Aini sakit, dan mendadak ingin ditemani Teea juga jalan Allah supaya kita bisa silaturahhmi."

Keempat perempuan itu tertawa bersama.

"Ya sudah atuh, Aini..," Bunda menggenggam jemari Aini. "Cepat sembuh ya... Bunda dan Yanda pamit dulu. Anak Bunda yang cantik ini mah Bunda tinggal saja. Buat nemenin kamu. Lumayan, dua hari, Bunda bisa istirahat atau jalan-jalan sama Yanda." Kata Bunda bercanda. Aini terkekeh.

Sesudah mengecup puncak kepala Aini, Bunda memeluk Teea dan berpesan untuk tidak merepotkan Ummi selama menginap. Lalu Bunda dan Ummi keluar kamar, Teea juga menyusul ke bawah untuk menyalami Yanda dan mengantar mereka pulang. Setelah itu, Teea kembali ke kamar Aini.

Mereka berdua duduk lagi berhadapan.

"Jadi tadi kamu mau bilang apa?" Tanya Teea. Aini menatap mata Teea. Skarang ia ragu untuk menyampaikan apa yang ingin disampaikannya. Tekad yang tadi sudah ia kumpulkan seolah menguap begitu saja.

"Eh, nanti saja," kata Aini sambil tersenyum sedih. Ia menghela napas berat, berusaha menyembunyikan pikirannya. Ternyata, sungguh tak mudah mengungkapkan apa yang ingin diucapkan meskipun ia sudah mengulang-ulang di kepalanya kalimat yang harus diucapkannya.

Teea mengangguk paham, Aini tak ingin meneruskan. Jadi disuruhnya Aini tiduran sementara ia akan berganti pakaian, lalu mereka solat isya berjamaah. 

Lelaki di Tengah Hujan (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang