Teea, Kamu Suka Padanya?

52 4 17
                                    

Malam semakin larut. Seluruh lingkungan pesantren telah sepi. Teea dan Aini tidur bersebelahan. Panas tubuh Aini telah berangsur-angsur turun. Tampaknya kehadiran Teea benar-benar membuat hatinya lebih tenang.

Kedua gadis itu telentang sambil menatap langit-langit kamar. Tadi mereka sudah mengobrolkan banyak hal, tentang sekolah, tentang anak-anak asuh Aini yang lucu-lucu, tentang perubahan iklim dunia, mengingat-ingat makan apa saja Aini yang mungkin jadi penyebab sakit, sampai akhirnya mereka lelah dan memutuskan untuk tidur.

Tapi tentu saja, dua gadis dengan banyak pikiran itu tak mungkin bisa tidur. Mereka hanya diam, menatap langit-langit sibuk dengan pikiran masing-masing.

Aini memecah keheningan. "Teea, sudah tidur?" tanyanya sambil masih menatap langit-langit.

"Belum." Jawab Teea pelan, nyaris seperti bisikan.

"Boleh kucerita?" tanya Aini.

"Tentu," jawab Teea. Ia menoleh ke arah Aini, tapi Aini segera melarangnya.

"Jangan lihat ke aku, lihat saja langit-langit itu."

"Hmm..." Teea mengurungkan niatnya, kembali menatap langit-langit kamar Aini yang berkilauan. Di atas sana ada stiker bintang-bintang kecil yang bisa bercahaya di tengah kegelapan.

"Teea, kmu tahu, Ummi menemukan diary yang kusembunyikan di bawah kasur," bisik Aini.

"What?!" Teea bangun dengan gerakan mendadak, dan menatap mata Aini, "Lalu, bagaimana?" Ia benar-benar khawatir. Mereka berusaha menutupi hal itu selama hampir dua tahun.

"Ummi... nggak bilang apa-apa. Diarynya dikembalikan lagi ke tempatnya..." jawab Aini berbisik.

Teea membaringkan diri lagi. Mungkin itu yang membuat Aini sakit.

"Tapi Teea, Waktu hari Minggu, Kak Ahmad juga memergoki  Kak Diar yang mengantarku pulang." Kak Ahmad adalah Kakak sulung Aini. Seorang mahasiswa UNPAD. "Hari itu, kebetulan Kak Ahmad pulang dari kos-kosan. Dia melihat aku turun dari mobil, yang ada Kak Diar di depannya."

Mata Teea membesar kaget. Kenapa semua harus terjadi pada saat yang bersamaan. Pantas saja Aini sampai sakit.

"Terus, bagaimana?" tanya Teea.

"Hmmm..". Aini hanya bergumam. "Kak Ahmad langsung datang ke kamar, bertanya, siapa laki-laki yang mengantar pulang. Mengomeli, mengingatkan lagi sifat Abah, dan bagaimana Abah akan mengamuk kalau sampai tahu." Aini menghela napas panjang. "Kubilang, ya.. bagaimana caranya Abah nggak boleh sampai tahu." Jeda sejenak, Aini menatap bintang-bintang berwarna kehijauan di atas. "Kata Kak Ahmad, pikirkan baik-baik, bagaimana Abah dan Ummi akan kecewa sekali. Kalau tahu anak gadisnya, Sang Malaikat Kecil Abah, mulai pacaran."

"Kamu nggak pacaran." Sergah Teea. "Kamu Cuma berteman."

Aini menghela napas panjang lagi. "Teman dekat, Teea. Aku kan harus jujur pada perasaanku. Aku suka Kak Diar, dan aku merasa kalau Kak Diar juga suka sekali padaku. Tulisan terakhirnya..." Aini tiba-tiba berhenti melanjutkan kalimatnya karena teringat sesuatu,. "Yah.. Kak Ahmad minta aku memikirkan baik-baik. Apalagi Ummi juga sudah tahu ada diary itu."

"Ain..." Teea ingin mengatakan sesuatu, untuk menghibur atau apalah, tapi ia benar-benar tak tahu harus bicara apa.

"Tadinya, egoku ingin sekali meneruskan, mempertahankan Kak Diar... Kamu kan tahu, aku tipe perempuan yang kuno, nggak cocok dengan globalisasi. Kak Diar seperti the best match buatku. Dia selalu bisa mengikuti jalan pemikiran kunoku. Sampai-sampai Aku bilang pada diriku sendiri, apa salahnya ingin melakukan yang aku inginkan? Mencari dan merasakan bahagia. Nggak banyak orang seperti Kak Diar. Aku mau Kak Diar." Aini menghela napas berat, yang membuat atmosfer ruangan tiba-tiba dipenuhi aroma kesedihan. "Tapi itu...egois sekali." Diam lagi sejenak. Teea pun diam, berusaha menyimak sebaik mungkin tanpa mengganggu dengan pertanyaan atau komentar.

"Tapi pikiran paling berat adalah... aku sedih sekali. Aku berubah, Teea. Aini yang baik seolah hilang kemarin... Aini yang suka memikirkan kepentingan umat, tiba-tiba berpikir, bodo amat orang lain, yang penting Aku, Aku! Sampai-sampai dengan tega aku bilang, aku nggak mau peduli lagi sama perasaan...." Aini menolehkan kepalanya memandang Teea,  lalu menghela napas panjang lagi. Kembali menatap ke atas. Hening sejenak. Teea pun tak tahu harus mengatakan apa. Di bawah selimut, tangan kirinya mencari tangan kanan Aini, lalu digenggamnya erat.

"Teea... jawab jujur, ya..."

Teea menjawab dengan hu-uh.

"Kamu suka Kak Diar?" Genggaman tangan Teea mengencang karena Teea kaget ditodong pertanyaan macam itu. Tanpa sadar,  ia menelan ludah. Keringat dingin tiba-tiba membasahi di telapak tangannya.

"Pertanyaan macam apa itu?" Teea menjawab kaget seperti tercekik. Ia mengatur napasnya setenang mungkin, agar tak terdengar emosi. "Tentu saja aku suka Kak Diar," Teea benar-benar menjaga intonasi kalimatnya,"bahkan sejak umurku tiga tahun. Sama seperti Erin, tentu saja aku suka pada kak Diar. Kak Diar seorang kakak yang hebat, sayang dan sangat melindungi adik-adiknya."

Aini ber hu-uh. "Aku sudah melihatnya sewaktu kita di mall. Ia sangat mengkhawatirkanmu." Aini tertawa pelan lalu berbisik, "Aku sempat cemburu padamu!" Aini tertawa lagi. Teea ikut tertawa meski sadar, suara tawanya terdengar sumbang.

"Tapi maksudku bukan suka yang itu, Teea..." Aini memaksa.

Teea melepaskan genggaman tangannya dari jemari Aini. Ia memiringkan tubuhnya menghadap  Aini.

"Maksudmu, apa?" Teea bertanya galak,  menyembunyikan kegugupannya.

Aini ikut memiringkan badannya ke arah Teea. Karena kamar sudah digelapkan, mereka hanya bisa melihat kilatan mata lawan bicara dan sedikit bayangan wajah, karena seberkas cahaya lampu di luar yang masuk ke dalam kamar.

"Maksudku... mm..." Suara Aini kembali menjadi ragu. "Waktu itu, di toilet food court aku mendengar...mmm... Kamu suka Kak Diar sebagai... "

Jantung Teea serasa tiba-tiba berhenti berdetak.  Ia berteriak,  "Kakak! Aku suka Kak Diar sebagai kakakku!" Teea cepat memotong. Tak mau mendengar kelanjutan kata-kata Aini. Tepatnya, ia tak berani. Karena mungkin, jika Aini mengatakan kata itu, benteng pertahanannya akan meleleh.

"Ayo, tidur! Nanti panas lagi!" katanya sambil menarik selimut menutupi leher Aini dan dirinya sendiri. Ia membelakangi Aini,  berusaha memejamkan mata, pura-pura tidur. Percakapan itu berhenti, namun berganti dengan dua pasang mata yang mengembang basah.

Lelaki di Tengah Hujan (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang