Kantin padat hari ini. Ini hari ke tiga, tiap istirahat Teea sendirian. Sundari sahabatnya sakit sejak Senin. Otomatis, ia kemana-mana sendirian. Seperti layangan putus, keluyuran tak tentu arah. Dua hari sudah ia lalui di perpustakaan.
Hari ini, ia ingin menikmati keteduhan pohon mangga di taman samping lapangan. Saat seperti ini betapa ia berharap Erin masuk sekolah yang sama dengannya. Tapi Ibu dan Ayah Erin memasukkannya ke sebuah sekolah menengah khusus putri. Meskipun Bunda Teea membujuk mereka memasukkan Erin ke sekolah ini, Ibunya tetap pada pendiriannya.
Jadi, sesudah ia jajan di kantin, ia lalu menuju taman. Ada bangku-bangku di sana, tapi semua penuh. Ia lalu memilih duduk di birai pembatas lapangan dan taman. Dibukanya bungkus es krim kesukaannya dan mulai menjilatinya.
Tiba-tiba bayangan gelap menutupinya. Teea mengangkat kepala. P, sahabat Kak Diar duduk di sebelahnya. Berjarak tentu saja, perempuan dan laki-laki bukan muhrim, dilarang berdesak-desakan, bertempel-tempelan, apalagi berdua-duaan.
"Kenapa, Kak? Seperti orang bingung?" tanya Teea, sambil tetap menjilati es krimnya. P memandangi Teea sambil diam-diam tersenyum geli, melihat betapa cueknya "adik" Diar ini. Luar biasa cuek. Sementara anak perempuan lain berusaha menjaga imagenya, ingin selalu terlihat sempurna, anak ini selalu tampil apa adanya. Begitu saja, tak pernah dibuat-buat. Lucunya, marahnya, kesalnya, semua asli. Seperti iklan minuman, semua bahannya, asli!
Tiba-tiba Teea menengok lagi ke arahnya. P tergagap, segera mengalihkan pandangan ke lapangan.
"Kamu lihat Diar? Sejak mulai istirahat dia hilang. Sudah dicari nggak ketemu." P membuka percakapan.
"Hah? Kak Diar?"
P mengangguk. Teea ikut mengedarkan pandangan ke lapangan. Kalau tidak di perpustakaan atau di kelas, maka Kak Diarnya pasti ada di lapangan futsal. Jadi dengan cepat, ia menemukan bayangan Diar diantara seliweran anak-anak kelas 8 dan kelas 9 yang sedang berebut bola.
Dicoleknya pundak P. "Kak P, itu, Kak Diar," katanya memberi tahu. P menengok ke arah yang ditunjuk.
"Oh iya benar. Di situ rupanya," tapi P tetap duduk manis di birai. Teea yang bingung akhirnya Memilih menghabiskan es krimnya. Tadinya ia kira P akan menyusul ke lapangan.
"Teea, kamu lihat Eggy?" tanya P sambil matanya tetap melihat anak-anak yang futsal.
"Lho, bukannya tadi sama kakak? Pasti di perpustakaan. Kak Eggy kalo nggak di kantin, paling di perpustakaan." Dalam hati Teea makin bingung.
"Kak P sehat?" Teea mengeluarkan pertanyaan itu dengan ekspresi wajah yang meragukan kewarasan P.
P menoleh pada Teea, "Sehat dong. Sehat banget."
Saat itu tampak olehnya, ada sisa lelehan es krim di pinggir bibir Teea. "Teea, itu," ia menunjuk ke arah bibir. "Ada es krim di pipi, dekat bibir kiri"
Teea masih sempat menghabiskan dulu semua es krimnya, sebelum ia mengelap pipi yang ditunjuk P. Caranya mengelap membuat P geli karena Teea menggunakan punggung tangannya. Ia sering melihat anak perempuan lain, jika membersihkan sesuatu dari wajahnya, biasanya menggunakan jari. Anak ini, menggunakan seluruh punggung tangannya, dari pergelangan sampai ujung jarinya diusapkan ke pipi. Dan tak tahan, meledaklah tawa P.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lelaki di Tengah Hujan (Completed)
Teen FictionKisah Teeana, sang cupid yang bodoh, yang melukai hatinya sendiri, dengan panah yang akan ia tancapkan ke hati gadis lain .