2. Bulu Mata

27.9K 2.5K 93
                                    

Happy reading 🤗
.
.
.

"Kan udah sering gue bilangin, Nes, ubah kebiasaan lo yang suka menyingkat panggilan orang seenaknya."

Itu adalah komentar Rasti setelah puas tertawa bersama Kiara, atas ceritaku. Siang ini kami sedang berada di toko roti yang dikelola pacar Dio ini, untuk makan siang bersama.

"Banggi buat Bang Gio. Bangpan buat Bang Panji. Untung Bang Kevin lo panggil Bangkev. Kalau Bangke? Alamat diomelin Tante Intan, lo!" Aku dan Kia tertawa kecil. "Dan sekarang lo kena batunya karena seenaknya panggil Bang Dave dengan sebutan Bangcat!"

"Salahnya di mana, coba? Kan biar praktis. Dua suku kata lebih gampang diucap daripada empat suku kata. Ini namanya penghematan." Aku mengambil sebutir kue klepon dari piring dan memasukkannya ke mulut. "Bangcat aja yang kelewatan galaknya kayak tiger pregnant."

"Apaan tiger pregnant?" timpal Kia.

"Macan bunting!"

Rasti mendengus keras-keras. Kia terkikik. Kuulurkan tangan ke arah bayi lima belas bulan yang duduk di pangkuan istri Bangpan ini.

"Bimbim Sayang, sini sama Aunty."

Dan anak manis itu dengan cepat berpindah ke pangkuanku. Sekeping biskuit susu di tangannya sudah berpindah ke perut, dan aku segera mengambilkan yang baru. Balita kesayanganku ini memang sedang aktif-aktifnya. Dia sudah bisa berjalan meskipun sedikit-sedikit. Dia juga mulai bisa memanggil Bangpan dengan sebutan 'Baba' dan Kia dengan sebutan 'Bubu'. Itu adalah bahasa cadelnya Bapak dan Ibu. Sepupuku itu lebih memilih panggilan itu daripada panggilan-panggilan modern lainnya.

Tangan Bima pun ikut bergerak aktif dengan selalu mencoret-coret, sehingga Kia selalu membawa buku gambar kosong dan krayon setiap pergi ke manapun. Ah, dan jangan lupakan hobinya yang sangat mirip denganku. Apa itu? Yup, makan! Makanya tidak heran kalau tubuh anak ini cukup gendut, sama sepertiku dulu. Bahkan karena tidak bisa mengubah hobi itu, tubuhku tetap berisi bahkan hampir sampai lulus kuliah.

Untungnya, tiga tahun lalu Mama pelan-pelan membimbingku untuk melakukan pola hidup sehat. Bukan yang diet sampai membatasi asupan makanan, sih. Tidak sampai se-menyiksa itu. Aku hanya disuruh rutin olahraga, dulu setiap hari tapi sekarang cukup weekend saja. Sarapan pun sekarang aku hanya mengkonsumsi aneka kombinasi buah-buahan, entah dibuat salad, dimakan begitu saja, atau jus. Lalu sebisa mungkin menghindari makan berat lebih dari pukul tujuh malam. Hanya itu, dan alhamdulilah berat badanku kini mendekati ideal. Aku juga merasa lebih sehat.

"Oke, penghematan kata." Aku mendesah. Rasti ternyata masih mau membahas ini. "Tapi kan lo bisa panggil nama depannya aja. Lagian bukannya nggak ada yang manggil dia Catra? Jadi 'Bangdev', aja. Kayak yang lain lebih milih 'Dave'."

"Ogah. Berasa manggil mantan!" Aku bergidik, saat wajah menyebalkan si kampret berkelebat di kepala.

"Dave sama Bang Dave beda, Agnesia!" Saking gemasnya, Rasti merebut biskuit dari tangan Bima dan memasukkan ke mulutnya sendiri. Membuat balita itu berteriak protes dan aku segera menggantinya. Calon tunangan Dio itu tiba-tiba mencondongkan wajah ke arahku. "Atau lo berharap punya kisah kayak Kia sama Bang Panji, makanya kasih panggilan spesial buat Bang Dave?"

"Gila lo!"

"Agnes!" Kia menatapku protes, sambil menutup kedua telinga Bima dengan telapak tangan. "Language, dong."

"Sorry, Bubu." Aku menyengir. Lalu menoleh kesal pada Rasti. "Gue masih waras, ya. Gue cuma nggak mau kalau panggil dia 'Dave', bakal jadi emosi. Karena inget si kampret dan nggak ada yang bisa jamin kalau nanti gue nggak bakal mutilasi dia. Kan berabe kalau salah sasaran. Belum lagi, kalian kan tahu kalau gue selalu jadi kelinci pengecut tiap berhadapan sama Bangcat.

Aww-dorable You (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang